Tuesday, December 31, 2013

Selamat Tahun Baru

Tepat jam duabelas malam, waktu bercerita, ia sedang sedih katanya. Dia merasa semakin lelah, semakin berat punggungnya untuk berdiri lama, sadarkah waktu bahwa ia semakin menua?
Waktu tidak bisa lagi bercanda, tidak bisa lagi bersia. Ia susah payah berusaha untuk tetap muda, menyeimbangkan irama dengan apa yang dipangkunya di dunia. Di usianya, waktu terus belajar hidup berdampingan dan berdamai -dengan ramai, dengan hingar bingar moral dan dengan hiruk pikuk percepatan kemajuan penduduk. Waktu sesak pengap, adakah yang dapat membuatnya duduk tenang?
Waktu bertanya kelimpungan, adakah tempat yang hening dan tak membuatnya pening? Karena kembang api ketika waktu berulang tahun malah membuat ia makin sesak kepala, waktu tidak menginginkan perayaan yang membuat jiwanya gempita.

Oh waktu, tetaplah kau menua dengan bijaksana.
Oh waktu, selamat tahun baru!

Thursday, December 19, 2013

Membelukar (1)

Kenangan-kenangan itu terus tumbuh, menjalar, dulu hanya ada di ujung kepala, sepertinya kenangan-kenangan itu bertunas, tumpukan-tumpukan foto kita yang memupuknya rajin. Adakah sesudut rumah ini yang tidak mengingatkan aku padamu? Seperti sore ini, tunasnya muncul jadi daun, masih hijau segar, satu kelopak daun kenangan mengingatkan wangi napas yang kau embuskan, kelopak yang lain menimbulkan wangi rokok berkhas kau di setiap helanya. Sisa-sisa baju di lemari seperti musim penghujan, setelah tunas itu berdaun, batangnya mulai terlihat dan semakin kuat.
Kemudian tangisku membuat tunas kenangan itu kegirangan, 
Ia semakin cepat tumbuh..

Dan pada saat matahari jatuh di barat, gelap bukan membuat kenangan itu lantas tertidur. Ia bersama kawan-kawan lainnya menciptakan pesta semalam suntuk di otak. Wallpaper ponsel anak-anak yang lupa diganti, seolah-olah menjadi satu shot tequila yang kenangan tenggak. Wajahmu meliar di kepala, suara batuk, teriak hingga tertawamu acap masuk syaraf. 
Lantas aku masuk ke dalam rumah.

Semakin melandai dan akhirnya rata.  
Namun kenangan-kenangan semakin mencuat. Adalah kau yang membetulkan permukaan tanah di halaman belakang hingga akhirnya aku dapat menanam jambu, mangga,  juga manggis. Ingatanku tiba-tiba tumbuh di gundukkan tanah. Ada cangkul yang biasa kau gunakan setiap akhir pekan. Andai kenangan-kenangan itu juga bisa aku kubur dan dimasukkan ke dalam tanah, lalu membiarkannya rata dimakan ulat. 
Sebaliknya, layak akar, kenangan itu terus tumbuh kuat dan menghujam waktu demi waktu sejak kau pergi.

Oktober selalu dingin. Melewati taman, perapian di ruang tengah menunggu untuk dinyalakan.
Setelah bertunas dan mengakar, ingatan kini muncul berbuah dari kayu-kayu yang lambat laun menjadi bara. Kepalaku menjadi hutan rimba, hening di ruang ini membuat suaramu seakan berayun dari pohon-pohon kenangan yang semakin tak berjarak.

Kaki-kaki mungilku memaksa
Hujan turun dari awan, berlarian
Senja yang lama, masih di sana
     masih di sana masih di sana
di kolong langit, di  merah awanku
Kaki-kaki mungilku berjalan
Tersandung sore yang kian hilang

Kaki-kaki mungilku memaksa
     membawa
separuh senyum yang kau punya
ke trotoar trotoar jalan, ke bisingnya knalpot motor malam
Kaki-kaki mungilku memaksa
     membawa
separuh kicau burung yang bersuara
ke telinga-telinga, ke jiwa jiwa yang tenang

Kaki-kaki mungilku memaksa
berhenti sejenak,
berat katanya, Ia membawa
cerita pahit dari jingga kelabu sampai ungu

2013


Thursday, November 14, 2013

Andai Matamu, Melihat Aku.

Sudah terlalu lama kau menunggu untuk aku sapa, untuk aku mulai bertanya
Karena aku wanita, karena aku tak biasanya jadi yang pertama
Untuk mengungkap,
untuk sekedar mengutarakan rasa yang mengendap

Tadi malam aku memimpikan kamu lagi, mengenakan kemeja yang sama, seperti biasa kancingmu penuh sampai leher atas. Kau tampak seperti bapak-bapak tigapuluh tahun. Namun kau senantiasa mempesona. Mataku selalu ingin melihatmu. Menengok ke mana kau berjalan. Ya, di meja ujung itu lagi.
Kau mengambil kopi, tenggakmu pertama.
Andai matamu, melihat aku.

Setelah itu kau pasti berjalan ke depan kasir, mengambil beberapa koran lokal dan membawanya kembali duduk. Kau mulai membaca, duapuluh menit kemudian, kacamatamu mulai turun, dan kau membenarkannya kembali dengan ujung telunjuk. Kau benar-benar indah karena sederhana.
Kau meraih ujung cangkir, tenggakmu kedua.
Andai matamu, melihat aku.

Terkadang kau batuk-batuk, wajah seriusmu tampak selalu menarik. Kala ini lah kau mulai tersadar ada yang memerhatikan, rokok ditanganmu kau matikan, melipat koran koran dan menyelipkannya di samping meja makan.
kau menoleh ke arahku
Sedangku menunduk. Malu.
Setelahnya,
Kau mengaduk kopimu, tenggakmu ketiga.
Andai matamu, melihat aku.

Memang dasarnya aku yang cerewet, aku yang gegabah, yang paling tidak bisa menyembunyikan jika sesuatu terjadi, yang heboh sendiri. Kau tersenyum ke arah sini. Tortilla di tanganku tumpah semua. Kali ketiga kau senyum. Sisa paprika dimulutku terkulum. Bibirku membalas. Lesung pipiku amblas, kecil senyumku, namun lepas.
 Aku selalu berharap kau berlama-lama di sini.
Kau menghabiskan sisa kopimu, tenggakmu terakhir.
Andai matamu, melihat aku.

Lalu aku terbangun.
Memimpikan kamu, mimpi hampir empat tahunku.

Sudah terlalu lama, setelah itu. Kita berdua dijebak perasaan. Entah kita namakan apa segala sesuatunya,
karena aku wanita, aku menunggu diminta
aku masih menunggu kau bersuara,
      datanglah,
belahan benua yang berbeda tidaklah apa,
untuk sekedar mengungkap,
untuk sekedar mengutarakan rasa yang mengendap

andai matamu, melihat aku.
andai kau tahu.


2013

p.s:
Rahasia Hati - Nidji, beautiful song, beautiful lyric.
and for my best, thank you. your love life inspired me.

Wednesday, November 13, 2013

Jangan Pernah Mencibir Caraku, Mencintaimu.

Jangan pernah mencibir caraku mencintaimu
Kadang sembap pipi mengingatkan
di malam meja makan
seringnya kau aku ribut
hanya karena ketan kesukaan
lupa kubelikan dan kau cemberut

jangan pernah mencibir caraku mencintaimu
saat kau dan aku beradu sampai datang amarah
misal di ruang tengah
Kau aku bicara tentang hewan sampai pemerintah
bagaimana singa tak sakit perut makan bangkai mentah-mentah
atau impor sapi dan korupsi ;
sehingga kau gelisah
dan bilang negara kita seperti sungai penuh sampah

jangan pernah mencibir caraku mencintaimu
walau jarang kubilang sayang
atau berbisik mesra lewat daun daun telingamu
walau jarang kukata cinta
atau merayu sampai hari menutup sayu
di malam setelah kau tertidur
aku berbisik mesra pada Tuhan
aku merayuNya

namamu selaluterselip dalam tiap doa
untukmu untukku
asal kau tahu

jangan pernah mencibir caraku, mencintaimu
walau jarang aku mengalah, katamu
atau memohon maaf, padamu
tiap tangis diamku, untukmu
aku merasa sangat bersalah, karenamu
lalu kau menggerutu berkata salahku, ungkapmu
menangis sejadi-jadinyalah aku, di depanmu

aku kekanakkan, pencemburu, bawel dan  egois, menurutmu
namun jangan pernah mencibir,
caraku mencintaimu

asal kau tahu
kau yang selalu jadi pertamaku
nomor satu
bukan aku, bukan diriku
adalah kamu, kamuku.

Monday, November 4, 2013

5/11/2013

satu persatu matamu jatuh dari atap
terguyur hujan pagi-pagi
lalu kau membangunkan aku yang masih

satu persatu bulu matamu jatuh dari atap
terguyur hujan sore-sore
lalu kau menungguku yang masih

sampai kapan jari-jariku juga terjatuh
hingga jari-jarimu
dapat bertemu aku
di bawah jendela

lalu jempolku jempolmu
bersama sama
membersihkan halaman rumah kita


tangan kaki kita tersenyum,
akhirnya

2013

Thursday, October 24, 2013

Just Ask!

Iseng sekali bikin account ask.fm, kalau ada pertanyaan, lagi gabut, lagi iseng lagi bebaslah, mau tanya hal pribadi.. boleh. feel free to ask :)

so, any question? click here

Monday, October 21, 2013

Kau Selalu tak Mau Aku Pulang

Kau paling suka di saat aku menanyakan pukul berapa padamu,
Padahal tepat di atasku;
Ada jam dinding kayu
Kau paling suka di saat aku menanyakan pukul berapa padamu,
Padahal tepat setelah itu
Ibumu mengunci pintu dan menegurku
Kau paling suka di saat aku menanyakan pukul berapa padamu,
Padahal tepat setelah itu
Kau memukul bahuku; tertawa
Lalu gigi-gigimu muncul
Pipimu naik dua mili, matamu hilang karenanya
Kau paling suka di saat aku menanyakan pukul berapa padamu,
padahal setelah itu, mukamu sedetik berubah kusut
sibukku menjemputku, dia datang di depan pintu, kataku
lalu matamu jadi alasan aku betah berlama-lama
dan menjadikanku tak berjanji
untuk pergi
Lalu,
Kau paling suka di saat aku menanyakan pukul berapa padamu
dan tepat setelah itu
Kau memelukku
di bahu yang katanya jadi rumahmu selalu
Jangan dulu pulang, 
lalu aku menjadi tamu
yang menjamu
manjamu.

Aku berkejaran, di antara waktu, dan denyutmu

Monday, September 30, 2013

Sebelum Kau Pulang

Kau bilang duniaku ada di sana. Di sampingmu. Lalu biarkanlah aku menetap, di tepi. Pusing aku, semakin hari semakin bising. sama seperti hari-hari yang makin padat, kau tenggelam dalam kesibukan jam kerja yang jadi ketat.

Sama seperti hari ini, malam minggu yang mestinya kita makan berdua di restoran langganan tengah kota, aku malah jadi tertumpah kuyup hujan. Lagi-lagi menunggumu. Kulihat sekeliling, halte tempat meneduh, sudah penuh. Salahku tidak pakai jas hujan sedari tadi, karena memang saat berangkat awan masih bermain teka-teki.

Mulai jengkel aku, kuketiklah pesan singkat bertuju nomormu. Kutanya berapa lama lagi kau selesai. Tiga puluh menit tak juga kunjung ponselku bergetar. Jemariku makin dingin. Hujannya makin besar. Cuaca benar-benar mengusik. Kalau saja aku tega meninggalkanmu, kalau saja aku lebih memilih untuk tidur lelap dibalik selimut, kalau saja aku lebih memilih membiarkanmu dijemput taksi seperti biasanya, kalau saja aku tidak pernah merasa khawatir akan kau, kalau saja wanita  yang larut malam pulang sendirian di tengah ibu kota itu bukan istriku.  Kesalku akan hujan malah jadi makin tercurah. Kau yang membuatku jadi kehujanan, seolah-olah.

Andai saja kau tahu, di balik gedung tinggi kantormu itu, adalah aku yang setia menunggu kau pulang. Badanku semakin ringkih badan karena basah air dari mana-mana, dari langit, dari selokan tumpah, dari cipratan bus, dari mikrolet lewat, dari mobil-mobil mewah yang jalan cepat.

Sepatu  yang kupakai juga sudah tak jelas bentuknya, sudah kumel dan bulukan, kaus kakinya kebasahan. Jempol kakiku sudah pasti bau tak karuan. Kalau sudah begini, semua terasa tidak mengenakkan. Giliran perutku minta dikasih makan. Mataku kesana kemari mencari warung nasi yang mungkin buka, atau warteg ibu Mus yang biasa ada di bawah itu jembatan. Memang sedang tak beruntung aku, di jalan malam ini tidak ada lagi lampu menyala selain berasal dari bohlam penerangan.

Kumasukkan kedua telapak tanganku ke dalam jaket. Sesaat sebelum biji mata melirik arloji. Satu jam aku menunggu, pesan singkatku mungkin tertutup berkas-berkas dari bosmu yang sedang bernyanyian di atas gedung sana. Jalan sepi memaksa aku untuk termenung. Jika trotoar-trotoar dapat berujar, mungkin mereka sedang memaki dan menyindirku dengan nyiyir.

Aku lembur, maaf baru bilang. Kau di mana? Lumayan dapat uang tambah, bos sedang ada proyek sampingan. Teleponku berdering. Layarnya kedip-kedip.
Di rumah. Menunggu kau minta jemput. Ini malam minggu. Padahal mau kuajak kau makan di tempat biasa. Ingatku.
Renyah suaramu dari sebrang tak pernah berubah. Ah maaf aku lupa! Makannya nanti lagi saja. Baru kemarin kau belikan aku vas bunga baru
Aku menghela. Ya sudah, nanti kuhubungi lagi.

Kalau begitu aku pulang dari tadi. Menunggu di hujan yang menderas malah bikin penyakit, mau marah padamu pun percuma. Kau akan membalas dengan argumen yang memang tak akan pernah bisa aku bantah. Kasihan kau jika tahu aku sudah sampai tepat di bawah kantormu sejak satu jam yang lalu. Jika seperti itu kau selalu dirundung rasa bersalah. Aku tak makan malam ini dari hujan yang juga turun dari matamu.

Maaf jika aku belum bisa memberikan apa-apa, hanya sebuah kontrakan kecil sederhana yang tak berpendingin ruangan. Maaf jika setiap malam setelah lembur kau harus kedinginan karena kujemput dengan motor tua yang mudah mogok. Maaf juga jika sudah dua hari ini kau terus saja kubohongi; bosku memecatku karena aku ketahuan mengambil guci kesayangannya yang ternyata harganya jutaan.

Kau bilang duniaku ada di sana. Di sampingmu. Lalu biarkanlah aku menetap, di tepi. Pusing aku, semakin hari semakin bising.

Maafkan aku membawamu dalam duniaku. Lalu terpaksa jadi semuamu. Jikalau kau tak kuat, tinggalah saja untuk sesaat. Memusingkan kamu, membisingkan hidup dan sejiwamu.


2013


Gedung Kesenian

betapa kayu merindukan dirinya diinjak didentam dentam, ditapak kaki pekerja seni yang jiwanya tak lelah dan tak mati, kayu menunggu sang seni yang menyetubuh manusia memecah-mecah bagian dirinya yang telah tua dimakan usia.
berpuluh tahun kayu dijatuhi keringat-keringat bau hasil raga estetika. kadang melongok sedikit ke atas mengintip peran apa di sana dan siapa yang sedang ambil peran
penjudi sampai bang haji pernah duduk sila di atasku, kata kayu.

kayu tertawa sendiri melihat mata-mata penonton di seberang sana, menatap terpana atau kadang mengerengut karena tak paham akan mulut seni bicara. bisa jadi menangis sampai matahari datang dari batas pagi. sekedar menyeruput kopi-kopi, berdiskusi.

karena gedung itu tak pernah sepi. di dalamnya ada kayu-kayu yang terus saja menanti, walau lampu lampu sorotnya telah lama mati

kadang ada beberapa sejoli yang sesekali mampir,
untuk kali ini lebih baik tutup mata saja, malas ku lihat mereka berpagutan, kata kayu.

2013

Thursday, September 12, 2013

di Beranda

rinduku dimakan telepon-telepon umum pinggir jalan,
tak tahan berkabar, Bu!
bahwa aku di sini baik-baik saja,
tidak beku karena salju, tidak kehausan karena matahari musim panas,  dan tidak kelaparan karena uang kiriman yang pas-pasan

Kota ini benar-benar cuek. Benar-benar tidak peduli;
gedung-gedungnya sibuk sekali. hanya satu dua orang yang duduk di luar kantor, menyesap satu atau dua batang rokok, dan kembali tenggelam kerja lagi

kekasihku di Bali apakabar bu? tolong sampaikan;
tunggulah aku, baru saja setahun kerja di negeri orang, 
sudah terkumpul uang nanti bersiaplah kau kulamar

Awas kalau ku dengar kau mau diajak kabur oleh anak pak Lurah


2013
(p.s Terimakasi Banda Neira - di Beranda)

Akuisisi

Kecintaanmu kecintaannya kecintaanku
Apa yang jadi perasaanku;
Perasaanmu perasaannya
Apa yang meletupku
Meletup di kamu;
meletupkannya

Kecemasanmu kecemasannya kecemasanku
Apa yang seolah diukur jadi rindu
Milikmu miliknya
Apa yang disilakanku
merebutkannya

Luntur di tepi luntur kini

2013

Sunday, September 8, 2013

aku rindu wangi tanah belakang rumah yang kadang
tertabur biji cabai dan tomat, bekas
malam tadi ibu mulai bertanam lagi
aku rindu suara dari surau sebelah, saat
menuju subuh adzan terdengar pecah
tidak akan lupa setelahnya kukecup
kening ibu yang masih
basah; air wudhu rumahku dingin sekali

dengarkanlah;

2013

Tuesday, September 3, 2013

Rektorat Tujuh Pagi

dan ia menyapa, bertanya apa pandora ada dari balik itu mata
dan semburat kuning tadi, apakah ia jadi perona
mama bilang, biarkan langit pucat pasi
tercuri birunya dari pesisir senggigi

dan ia menyapa, bertanya apa pandora ada dari balik itu punggung
dan semburat kuning tadi, apakah ia tercekik gunung
mama bilang, biarkan langit tetap membalik
tercuri tamahnya dari malu malu tiap detik

September 2013

Thursday, August 22, 2013

Amin

semoga semua cinta tidak menghasil tepukan. cinta yang sebelah, cinta yang tak kesampaian, pedih, kan?
Di sekitar matamu
Ada sajak yang terbang-terbang
Yang memisahkan aku; kamu; titik dan koma
Di sekitar matamu
Ada kamus yang bebal umur tak tergerus
Yang tertuang tanda dari kau di ujung halaman pertama
Kertasnya bau tua
Hampir jadi remah dimakan rayap

kau menungguku di musim gugur
di sorga

2013



Monday, July 22, 2013

lancang aku bercerita
tentang aku dan kamu
pada tetangga-tetangga
pada sanak saudara
lancang aku bercerita
tentang aku dan kamu
pada bulan dan cahaya
pada kelimpah ruahan
malam

sehingga anak kecil rumah sebelah tertidur dalam ayunan ketika aku masih saja bercerita

2013

Saturday, July 13, 2013

Mawar Africa

Tidak akan pernah sesederhana bunga mawar di ujung jendela. Bagiku hal lain yang kucintai selain menulis adalah kamu. Dan bagaimana bisa, jikalau kamu satu-satunya alasan untuk aku tetap menulis, telah hilang?

Minggu sore kemarin. Aku masih ingat betul. Aku tengah bermain dengan kecipak hujan, di atas kursi roda, di teras luar kamar yang jauh dari suara televisi dan hingar bingar. Kau datang dengan pakaian lusuh.
Kedua mataku memejam. Bau mawar busuk menyengat lewat cuping hidung. 

Sudah berubahkah pikiranmu?

Kuputar tuas-tuas kursi, berbalik menghadap pegangan teralis  kayu. Memunggungi kamu. Dan angin menjilat-jilat wajahku dingin. Sejuk.

Belum.  Mungkin tidak akan pernah. 

Jika percakapan ini datang, aku selalu berharap kaki-kakiku sembuh, tenagaku kembali utuh, supaya bebas aku berlari. Masuk kamar dan kukunci dari dalam. Apapun caranya agar terhindar dari kamu. Tidak lagi seharian hanya termenung. Kembali menulis. Kembali ke kantor gedung lantai limabelas bersama editor-editor lain. Tenggelam dalam email dan tumpukan naskah. Ya, bagaimanapun caranya agar terhindar dari kamu.

You’re being hard on your self.
Am I?
....
What did you expect of me?
.....
Kau seperti melumat wajahmu sendiri.  Matamu seperti dicelup rebusan bawang merah panas.

What if I said no?

Ah, aku benci berargumen. Aku benar-benar tidak suka.

Africa, aku benar-benar minta maaf. Sekali lagi.

Kali ini namaku kau sebut. Kedua kakimu merapat, bahumu merendah. Lututmu menyentuh lantai-lantai. Oh well, aku biarkan kau seperti tahanan penjara. Meringkuk. Kau meringis. Entah menahan rasa yang mana.

Mendapati  kenyataan aku sering kau kecewakan, membuatku amat sangat bingung bagaimana menjelaskan dan membuatmu setidaknya, sedikit saja mengerti. Demi membuat bibirmu tersungging senyum, misalnya, rela kukesampingkan sakit yang selalu datang kencang sekali. Duakali menemukanmu dengan wanita lain, misalnya lagi, rela kukesampingkan gemuruh rasa yang akhirnya membuat kantung di pelupuk mata. Bosan aku kau jadikan pelabuhan, terkadang kau pergi, mencari bahagia-bahagia muda. Dan beberapa bulan setelahnya, kau datang kembali membawa beberapa mawar untuk kau sematkan di ujung jendela kamar. Rasa yang semula mau mati jadi benderang lagi. Tak terhitung, sekian malam mulutku komat-kamit merapal doa-doa demi permohonan. Adakah sekiranya kau sedikit  malu. Hingga peristiwa lalu, yang membuat aku tersungkur tak sadarkan diri di lantai dan bangun setengah jam kemudian, terasa sungguh mengeruk. Mengerontangkan perasaan.

Setelah malam itu, aku berjanji tidak akan pernah ada lagi.

Africa, aku mohon. Kau terjerambab. 

Di depanku, ada lelaki yang pasang matanya tak berani menyala. Berluahkan airmata. Angin masih menjilat-jilat wajahku sama. Aku beringsut mundur, menekankan dada pada teralis kayu pinggir teras. Sehingga bisa kurasa rongga ini ikut mengerut keras. Sungguh aku sangat berharap betismu lelah dan kesemutan, hingga kau beranjak berdiri dan pergi sendirinya. Tapi kau masih saja mematung. Entah rasa yang mana yang sedang kau arung.
Aku ingin segera menyudahi kasak-kusuk ini. Jika aku berteriak mengusirmu pergi, kau akan semakin menderita.
Tuhan, mengapa aku tidak pernah kian tega?

Ini, aku bawakan mawar untuk kamu lagi. Simpan di ujung jendela kamar. Tetap menulis. Karyamu tersendat dimana-mana. Oh, mengapa akhir-akhir ini kisahmu terasa sangat luka, Africa?

Tak ubah sifatmu. Dan bodohnya aku, mencinta orang setengah sakit jiwa.

Aku akan, tengah, selesai, dan selalu menuliskan kamu, dalam hidupku. Kau akan selalu jadi lakon utama yang muncul dimana-mana. Kini, bagian ceritamu menuliskan luka. Dan sekarang, aku menuliskannya dalam plot kisah berdurasi ekstra panjang.

Hendaklah aku melantur. Kudengar terus dadaku berdentam.


2013


Monday, July 8, 2013

Kamu dan Bidadari

Sebagai kawan, aku tak pernah bosan kau menceritakan tentang bidadari yang tinggal satu atap denganmu. Serentetan gigi kecil itu selalu gemetaran jika kau bicara tentang dia. Kau mencintainya, kau menyayanginya, kau mengasihinya dengan limpah ruah. Semua orang di sekitarmu tahu itu. Gedung kantormu pun acap mendengarkan kau membanggakan Bidadari.
Dikisahkan olehmu, bidadari itu cantik , lemah lembut, rambutnya lurus halus sampai punggung, suaranya selalu kau bilang seperti orkestra raksasa, dadamu terkatup jika mendengar Bidadari bicara.Bidadari punya Mata menyala seperti sihir, kedua biji matanya gemulai kala melirik.  Dan wangi tubuhnya seperti blueberry pancake, manis. Dan ketika bidadari melahirkan malaikat perempuan kecil, angkasa terlihat penuh warna.

Kesukaan bidadari adalah teh pekat, dan itu juga yang sekaligus membuatnya megap-megap.  Sebagai suami kau tidak pernah lengah untuk protes dan marah-marah tentang candu yang entah darimana muasalnya.  Bidadari tidak senang dibatas, ia akan cemberut, dan ngambek seharian jika menemukan kotak teh di dapurnya tidak ada. Bidadari juga suka lilin dan termenung. Katamu, Ia betah berlama-lama. Bidadari tidak banyak bicara. Menunggumu pulang, Bidadari dan malaikat perempuan kadang berlomba membuat istana.

Tak ada satu penggal cerita tentang Bidadari yang kau kisahkan dengan mata tak  bergairah. Pun di depan sejawat kantor, Bidadari untukmu adalah cahaya yang diberikan oleh Maha Cinta. Tak ada satu hari terlewat. Kau dimabuk cinta, kawan.

Hingga tiba, suatu waktu, kudapati kopi di meja ruang kerjamu masih penuh. Ku tanya kemana kau pada hari ini lewat ponsel, Bidadari sedang marah besar, kau terdamprat dan ditodongnya pistol ke arahmu, itu suara kau dari sebrang. Aku memutuskan pembicaraan dan segera mangkir ke rumahmu.

Halamanmu acak-acakan, semrawut. Ada air merah keruh tergenang ketika aku sampai ke tengah rumah. Kudapati Bidadari separuh wajahnya tenggelam di bak mandi. Bergelut dengan busa deterjen. Nihil pistol atau pisau, yang ada hanya suara televisi tetangga, musik, iklan dan sebagainya.
Bidadarimu seketika bangun, tatapannya tajam menelanjangi aku. Kemudian Bidadari melolong berkali-kali, hela napasnya kian berat. Tangisnya menjadi-jadi.  Mana dia, kuberanikan bertanya pada Bidadarimu, urat matanya tak lagi terlihat bahagia.
Bidadari masih saja diam. Tak kutemukan mata sorga seperti apa yang sering kau bilang.
Dia tahu aku karibmu, mulut bidadari mulai bicara
Aku minta maaf. Dari mulutnya jutaan kunang-kunang keluar.
Panggil dia pulang. Aku minta maaf. Seminggu dia tidak pulang. Tolong suruh dia pulang, aku benar-benar mencintainya. Tolong.
Bidadari menangis lagi, dari lolongannya ada berjuta-juta luka berkepanjangan. Di antara airmatanya, Bidadari menyesap udara. Kerinduan Bidadari padamu benar-benar membuatnya gulita.
Aku benar-benar minta maaf. Aku mau rumahku. Suruh dia pulang.Bidadari kembali masuk kamar mandi. Sekarang aku memilih untuk tidak mengikuti. Dari balik pintu terdengar kran menyala. Takut bidadari macam-macam, aku berlari dan setengah kepalaku melihatnya.
Bidadari terjun lagi. 

Kurogoh saku celana, kakiku merapat.
Cepat pulang, bidadarimu sekarat. Iya, iya. Bukan sekarang waktunya berdebat. Bukan juga saatnya kau berang. Bidadarimu terjun, malaikat perempuan juga hilang.
Aku mematikan ponsel.

Separuh jam diam aku di sofa. Malaikat perempuan pulang,
Mana mama, aku ditanya
Ada di kamar, sekarang kau tidur siang. Dia mendengar aku berbisik gemetar.

Takut bidadari mati berbusa sendiri, aku berharap ia keluar dari bak mandi. Aku kembali  melihatnya. Bidadarimu duduk mengambang. Kuamati kaki-kaki. Membiru.
Ku bopong bidadari keluar. Ia bernapas lagi.
Aku benar-benar minta maaf. Kamu jangan pergi. Cepat pulang. Bidadari meracau, selama tiga hari.

Bidadari menantimu pulang. Di ruang makan. Rambutnya kusut tak karuan.

2013

Saturday, July 6, 2013

Penyanyi Kamar Mandi

Sila dilirik dibagian kanan, ada link baru.  Hehe, iya, soundcloud saya :)

https://soundcloud.com/annisaresmana

Friday, July 5, 2013

Straw to My Berry

Sesederhana kacamata longgar yang selalu turun
dan kukembalikan ke posisinya semula
sesederhana naikan nada-nada yang selalu tak sengaja
dan kuturunkan ke irama semula

sesederhana hidung bulat yang selalu kau kecup
dan kutepis karena kegelian di atas mata



Bahwa Akhirnya

Aku masih ingat, betapa sakitnya berpisah dan sakitnya dipisahkan secara tiba-tiba, ketika cinta menumbuhkan kebun bunga dan seketika datang pemangkas pisau kepala dua meratakan semua, ketika waktu mengurung kita akhirnya memisahkan, atau ketika keadaan yang asalnya membuat kita bersama, malah meniadakan.
Kalau sudah kehendak dan keadaan yang bicara, kita bisa apa?
Untuk manusia seangkuh aku, merindukan seseorang dan mengenangnya adalah hal yang paling sulit dilakukan. Dan untuk manusia sesibuk aku, mengulang-ngulang ingatan dan menjadi sentimen bukanlah jadi prioritas. Seperti sekedar meluangkan waktu di ujung hari dengan sesenggukan menangisi orang. Untuk manusia sepertiku, cukuplah untuk menerima apa yang ada, bukan mengevaluasi takdir mengapa hidupku harus begini harus begitu. Bukan untuk meratapi, untuk merasakan dikecewakan.

Setelah tiga tahun kau pergi, aku rasa aku sudah mampu berdiri, lagi. Kau bisa lihat sendiri. Aku berusaha makin baik. Semakin hari aku cepat memulih. Dan kau pasti bangga padaku. Aku terjun bebas pada kesibukan-kesibukan aneh. Pulang larut malam dan setumpuk meeting jadi teman akrab. Sering juga pada Jumat malam aku berkencan dengan piano sudut restoran. Hal banyak berubah. Aku dengan susah payah menghapus manja dan cengengku. Bertekad untuk menjadi seseorang yang tak perlu lagi sandaran. Sesekali ibu dan ayah menelpon, mereka khawatir aku tak bisa mengurus diri sendiri. Adikku  juga kadang datang berkunjung. Dengan tujuan yang sama. Mengajakku mengobrol, mengamati kehidupanku dari jauh. 

Dua pekan sebelum hari besarku, masih saja otak ini terculik dan terkudeta, dirapuhi.
Aku mengerling pada cincin yang kupakai, pada isi bingkai foto ujung meja, pada rumah yang kutempati. Pada calon manusia yang sekarang tidur nyenyak di rahim.
 
Itulah mengapa aku memilih untuk pura-pura lupa, Ran. Karena memang benar-benar rapuh dan sakit. Sebab benar-benar aku tidak rela tanpa kamu. Aku harus merasakan kehilanganmu dan sakitnya berkali-kali, sampai kering airmataku meminta pada Tuhan untuk tidak melakukan itu. Untuk meringis, meronta, supaya Ia menukarkan takdir. Tapi sekeras apapun tangis, tak akan pernah bisa membawamu kembali. Aku menyelipkan doa pada malam-malam, betapa benar aku menyayangi kamu, menginginkan kamu, dan kadang menunggu Ia memberi ijinnya untuk aku ikut bersamamu, Ran. Dan ketika Ia malah mengirimkan aku pengganti, aku lebih memilih untuk menunggu kamu kembali. Menjerit-jerit lagi untuk kesekian kali. Memohon, supaya apa yang kualami tak lebih dari sekedar mimpi. Semestinya Ia tahu, cinta manusia bisa melebihi yang dikira. Dan ada yang harus Ia mengerti, 
kau jelas tak ada gantinya.

Perasaan ini kian egois Ran.

Begitulah, kadang perasaan ini pasang surut sesuai waktunya. Mungkin sekarang ombaknya sedang kencang. Pasang yang kau kirim hampir saja menghancurkan kapal yang sedang berlaju denganku sekarang.
dan menurutku, mendua denganmu adalah hal yang selalu sah-sah saja.

*** 

“De? Lagi apa kamu di kamar?  Ini mama datang.”
“Iya Mas tunggu.  Aku turun.”


2013

Wednesday, June 26, 2013

Yogyakarta

Yogyakarta memberikan saya karma, lagi.

Lima hari ke belakang, saya datang ke kota ini, dan kunjungan kali ini cukup memperbaiki hubungan saya dan Yogya yang tidak pernah baik-baik saja. 
dari dulu Yogyakarta tidak pernah berhasil memikat hati saya, tidak pernah membuat saya kerasan, tidak pernah memberikan saya kenangan yang istimewa. Tiap saya ke sana, ya.. gitu-gitu aja.

Entah kenapa, dari dulu hubungan kami tidak pernah bisa harmonis. Saya tidak pernah suka kota itu. Kalau ada perbincangan tentang liburan dan Yogya ada di opsi itu, saya selalu akan menjawab, "Enggak! Kalo liburannya ke sana aku enggak akan ikut." dan orang-orang yang saya ceritakan tentang hal ini pasti selalu bertanya;
1. apakah ada hal buruk yang pernah terjadi di sana?
2. apakah ada kenangan yang bikin galau? putus misalnya, atau apapun tentang percintaan?

nomor satu dan dua jawabannya sama, tidak.

3. Jadi kenapa  bisa segitu sebelnya?

Jadi kenapa? ya gitu aja. Jawaban saya beserta alasannya akan selalu 'ya gitu aja.' Gitu aja, karena saya enggak suka panas dan enggak suka manis. Sebenarnya, first impression saya lah yang membuat hubungan ini memburuk. Saya enggak pernah suka gudeg, udara panas, dan makanan manis, yang justru dengan mudah bisa ditemui di sana. saya selalu tersiksa makan di sana kalau makan, selalu dengan catatan berulang "Mas jangan manis ya." atau, "bisa minta garam?"

Dan liburan sekarang, setelah dari pantai, papa saya ngajak liburan, alih-alih Bali yang diharap, telinga saya malah mendengar "Teh ke Yogya yuk, lima hari." 
Iya, lima hari. Langsung terbayang betapa saya akan mengeluh selalu ingin pulang.
Karma lagi.  Destinasi yang (sebenarnya) paling saya hindari untuk (setiap) liburan, malah dikunjungi.
Dengan alasan kesibukan Papa yang super, akhirnya saya mengiyakan. 

Dan kami memutuskan untuk sedikit mencoba memperbaiki hubungan ini.

Selain dari hotelnya yang memang, amat-sangat-super-pewe, saya memperhatikan sedikit tentang Yogyakarta yang bikin saya bangga. Kota pelajar memang pantas disandang untuk dia, serius. Tidak ada satu baligo, pamflet, papan-papan ruko yang tulisannya typo. Mau warung nasi atau kios rokok sekecil apapun. Saya tidak menjumpai kesalahan-kesalahan penulisan yang acapkali dilihat di Bandung, tidak ada vermak jins, gorden, fhotocopy, tehniker gigi, dan lain lain. Sepertinya, kalau masuk kelas bu Rosida, Yogya bab EYD lulus dengan nilai A. Senang lihatnya, well educated semua. Terlepas gimanapun caranya. Yap, sedikit menggambarkan bahwa memang di sana pendidikan enggak pandang bulu, ya merata. semua sepertinya tahu penulisan yang baik dan benar.
Candi-candinya yang cantik. Sudah jelas. Saya kemarin ke Prambanan. Akhirnya. Setiap ke Yogya candi ini tidak pernah dilirik sama sekali. Sebenarnya mungkin karena enggak ada kesempatan. Pengecualian, karena pada dasarnya saya cinta kebudayaan, sendratari dan sebundel kisah perwayangan yang Ia punya, memang selalu bikin horny. Saya betah berlama-lama diam ngelihatin emak-emak lagi nge-batik, atau khas bau dupa dari Mirota dan Raminten, juga debu museum-museum, keraton, ya pokok'ne yang gitu gitu...

Sebalnya, tahun ini, Yogya punya hal yang saya cintai. Satu-satunya.

Kedua sahabat saya kuliah di kota ini. Dan itulah yang membuat saya bertujuan dan akhirnya mau liburan ke Yogya. Iya, cuma ini. 'Cuma' sekedar mengunjungi mereka yang memang akan-selalu-jarang-sekali dan amat-sangat-susah-sekali diberi kesempatan untuk bertemu. Mungkin terakhir kali kami berkumpul, kurang lebih setahun yang lalu. Dan kemarin, kami mengadakan pertemuan kecil. Hanya makan malam sederhana.
Tenang rasanya melihat kedua sahabat saya menggemuk di Yogya, sahabat saya yang satu naik tujuh kilo, yang satunya lagi mengeluh jerawatan. Yang satu mengeluh susah move on, yang satu masih awet LDR karena pacarnya sekarang ada di Jambi. Selebihnya tidak ada yang berubah. Dekat dengan mereka, satu sofa, satu kota, nyamannya masih dan akan tetap selalu sama. Bahagianya, melihat mereka yang juga bahagia dan betah di Yogya. Selalu ada takdir kecil yang entah darimana datangnya, tiap pertemuan, selalu saja kami mengenakan hal yang sama. Dan untuk makan malam kali ini, softlense kami sama, dan warnanya sama juga. Saya sadar dan kami pun tertawa.

Tidak ada yang lebih hangat dari sekedar tertawa dan curhat-curhat kecil dengan sahabat.

Yogya, saya minta kamu rawat, kamu jaga kedua sahabat saya baik-baik, ya. Saya makin sebal sama kamu, saya cemburu, kamu sekarang punya apa yang saya cinta. 
Huh.

Kabar baiknya, hubungan saya dan Yogya sedikit baik, sedikit saja, ya. Kabari kalau semua makanan di sana sudah asin, dan udaranya sesejuk Bandung.



Wednesday, June 19, 2013

Renung

Jadi waktu itu, di sebuah cafe di Bandung, saya pesan satu Chamomile  Tea, dan saya bilang ke mbak-mbaknya untuk pisahin gulanya, berhubung saya  enggak suka (banget) teh manis, saya ngewanti-wanti mbaknya sampai duakali. Saya selalu rewel kalo masalah mesen minuman teh. Semua harus pas, rasanya, pahitnya.
Dan pas dateng... rasanya manis. Banget.
"Mbak kok manis?"
"Eh iya lupa dipisah.."

Ya mau digimanain lagi? Udah nunggu lama dan kehausan, saya minum aja tehnya. Terlajur bete banget, kesel. karena saya bilang ke mbaknya sampai dua kali. "Mbak gulanya pisah ya." Dua kali diulang, bayangin. Saya minumnya sambil  murang-maring, muka sebel saya kelihatan banget kayaknya, soalnya sampai pacar saya waktu itu bilang, “Yaudah pesen lagi aja atuh. Ganti.”
“Enggak usah deh. Udah diminum juga, kagok.”

Walaupun akhirnya satu gelas teh manis itu habis, tetep aja nyisain rasa gondok.  Pengen aja ngerutuk ke mbaknya kenapa bisa lupa, padahal udah di tekankan berulang ulang.
Terus saya diem, yah.. semua momen ada aja yang bisa direnungi.

Yap, Ada kalanya, di hidup ini, enggak semua yang kita ingin, yang kita mau, HARUS selalu datang dengan sempurna seperti yang diharapkan. Meskipun kita udah berusaha keras untuk itu, ada beberapa hal-hal di dunia ini yang harus diterima seperti itu adanya. Yang kalau diubah, udah telat, atau ngebuat hal itu jadi enggak enak, malah ngerusak.
Yang saya rasain sih, gitu.
Ada kalanya kita "kejebur" aja, rasain semua perasaan (yang kalau kata saya)  "pasrah-yaudahlah" itu seperti apa.

Jadi? Kalau sudah berusaha untuk mendapatkan, tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, ngapain?
Saya sih, berusaha lagi, belajar lagi.
Berusaha menerima. Belajar menerima

Ya, Terima aja.

#bukanperkuliahan #celotehandoang #romantisitubukanParis
"Pernah lihat sepotong semut membawa beban begitu berat, tetapi karena tahu itu makanan dan bermanfaat untuknya, sejauh apapun ia akan terus jalan."

Wednesday, June 12, 2013

"Kau bisa lihat, Lohomora. Bahkan matahari di tanganku tak dapat membakar urat-urat pembuluh. Sebenarnya, matahari, saat senja ia tenggelam di arteri."

Tuesday, June 11, 2013

Sempat Bicara

Hallo,
Bandung hujan lagi, siang-siang.

Macet dimana-mana, pengemis di jalanan makin banyak, air got membludak, sampahnya keluar kemana-mana. Entah kenapa saya suka memperhatikan semuanya dari dalam mobil. Di luar, banyak bulir air bekas hujan menempel, seperti kecebong-kecebong kecil. Dan entah juga, saya suka menyentuhnya dari balik kaca, Pak Supir di depan juga tenang-tenang saja.
Tiba-tiba disebelah jok saya, ada kamu. Kamu yang mukanya selalu tidak pernah mau tampak. Kamu yang selalu saya sebut si dari-leher-ke-bawah. Kamu yang bicara tapi tidak pernah saya tahu darimana asal suaranya. Memang si-kamu-pendiam, selalu mengikuti di saat-saat tertentu.
Kali ini suaramu parau, entah kebanyakan bicara atau memang sengaja tidak mau saya dengarkan seksama, tapi semua percakapan pendek kita, terasa sangat intim. Seperti... saya mengenalmu dalam-dalam.

Kau pasti akan memberikan kuliah-pendek lagi, kamu pasti akan betah di jam macet ini, seperti guru, dari mulutmu muntah nasihat-nasihat panjang. 
Baiklah,  tentang apa sekarang?

“Menunggu macet ya? Bosan?”
“Tidak, malah suka. Kenapa kamu di sini lagi?”
Mau mendongeng.”
“Ceramah lagi?  Come on..”
“Ringan kok, tentang cinta saja.”
Aku melotot, aneh.
“Jenis cinta apa yang kau suka? Pernah dengar bahwa rupa dan kata punya jenis cinta yang indah? Seperti... visual dan lingual, cat dan bahasa, lukisan dan prosa, atau antara pengarang dan ilustrator. Jika mereka jatuh cinta dengan benar, mereka akan membuatmu takjub dengan estetika yang tercipta.”
Dan kau memulai.
“Kenapa?”

“Karena dua-duanya punya cinta yang membangun. Yang menjadikannya lengkap satu sama lain.  Sedikit yang tahu, karena masing-masing sisi memang sudah dapat dilihat indahnya jika mereka sendiri. Fitrahnya, rupa selalu egois, dan kata memang terkenal rumit, jadi malas yang mau berkenal dengannya. Andai rupa sedikit saja menengok kata, dia bisa memperkaya dirinya sendiri. Bahkan jauh bernilai.”
“Dan kata?”
“Iya, dia sibuk juga. Seolah seperti punya latar sendiri, dan tulisan selalu pelit pada lukisan. Bangga dengan kerumitan yang ia miliki, harus ditelaah satu-satu. Setiap rupa mau datang, kata menutup diri rapat-rapat. Berita bagusnya, orang-orang mulai mencoba menikahkan mereka.”
"Seperti.. rumah seniman Iran itu ya?”
“Iya, dikemasnya memang seperti itu, antara lukisan dan cerita. dijadikan rumah karya..”
“..Kalileh va Demneh."
“Iya maksudnya itu.”


Bahkan apa yang kamu maksudkan, saya sudah tahu jelas. Saya bisa rasa, kau sedikit sebal karena ternyata saya, ehm... cukup pintar.

“Kenapa? Kau kaget karena saya juga tahu tentang apa yang kamu bicarakan?" 

“Kamu bukan perempuan biasa. Di darahmu memang mengalir darah Lohomora, saya selalu tahu. Cantik, pintar, agak sedikit gila...Cerdik.”


“Jadi, analogi lukisan dan tulisan yang kamu ceritakan sekarang sebenarnya menuju kemana?” 
 “Kau benar-benar lupa?”

 Aku mengerling, di luar masih hujan.

“Tentang sesuatu yang kita kerjakan bersama, dulu. Sedikit lagi kita berhasil membuat pameran tunggal. Kita telah undang banyak orang. Akan menjadi sesuatu yang sangat besar. Kau benar-benar lupa?”


..Bahkan saya datang mengunjungi kamu tiap harinya, hanya supaya kau tidak mengusangkan aku. Bandung semakin tua, dan saya tidak mau ingatanmu kian renta.”


***

“Hallo Bu, iya ini Neng bicara sendiri lagi siang-siang. Iya. Saya ke kantor ibu sekarang.”

Hallo, Bandung hujan lagi siang-siang.
Saya memang mengenalmu, dalam-dalam. 

2013



Sunday, June 9, 2013

When I get upset, I shut down. I feel like I should be crying or screaming or something, but I can’t because I’m turned off. I go silent and don’t talk very much. I just sit there and think.

She has her days when she feels like breaking down  
 and crying until her eyes hurt because she feels like 
everything is falling apart and there isn’t one thing she can do about.
Like she has no say whether or not her life goes well. 
Life isn’t an easy ride. 
There are ups and downs, twists and turns, but in the end, 
she smiles and tells herself that it’s alright.
Dear God, Please give me the strength and faith to help me get through each and everyday for it is a challenge. My heart is heavy and my soul aches. Give me the courage to go on and fight to make me well again. Amin.

know not everything I wished and hoped for will come true. Please give me strength to let go and entrust everything to You. I understand You won’t allow me to be in pain for the sake of hurting but for the sake of learning. You know me more than I know myself that even when I feel alone and unloved, there is still someone who knows all my flaws yet loves me unconditionally like no other human can.
aku hanya ingin berdoa
semoga senja yang selalu kubagi dua
tidak sia-sia

“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”

Hole

merinding tidakbisatidur sakit tidakbisamenangis airmatakering kedinginan hampirpagihari jamempatsubuh luarrumah berjalankaki masalalu kejam jahat kalah egois jiwa setia berhenti takut lubangbesar lumpuh hilang akal cemburu dendam emosi jilbab masak duatahun gendut pecah duaribusepuluh kenangan darah akhir bohong bohong bohong bohong bohong

tidakadakata
tidakberkalimat

ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang

Matahari terbit dan hari segera memagi. mataku belum juga senja.

semoga makin nikmat perihku.



05.38 A.M

Friday, June 7, 2013

Khusyuk aku membaca pembuluh di balik rambut-rambut kakimu
Di dalamnya ada sungai darah panjang
Yang selalu kering
Karena kau tak juga segera bertemu aku

di bawah pohon mangga

di bawah pohon mangga
aku tak banyak meminta
semoga kau cepat datang, bawa cita-cita dan bawa anak kita
yang lahir dari jari-jari perdu
yang selamanya akan tetap begitu

Anak Bumi

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari rahim wewangian hutan kayu, tangis serak serai ombak laut dan tawa nyala matahari

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari tungku berani, tangkup angkuh dan gelas marah

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari kerlip malam, jentik hujan dan beranda waktu

hingga sampai tangan mungilku keluar
aku ; dari semak-semak bumi yang makin renta


Balada Kuda

kakimu dampal kuda, nampak lelah seharian dipaksa bekerja
kakimu dampal kuda, ada bekas tanah basah bukit senja
kakimu dampal kuda, keletak-keletuk 
besi tebal tua karat dimanamana
kakimu dampal kuda, kau berair liur, menetes nanah
kakimu dampal kuda, tidakkah tuanmu merasa kau lelah?

Lohomora II

nyala matanya tidaklah semerdu api
nyaring suaranya jauh seterang mega
lohomora melara
kakinya digeser lewat barak demi barak
tidak lantas mengaduh
harumnya bermula dari bibirku
yang meracau
lohomora kau diperbolehkan menginap
tidur saja; kau tanya di mana
boleh di sebelah gurat lelahku, atau jika kau mau
di samping rasa kantukku yang terkucur

sepuluh menit kemudian, lohomora mendengkur
suaranya serak tipis
ah! aku tergoda

Wednesday, June 5, 2013

Geo(love)gi

seperti episentrum, tegak lurus, diatas fokus. dan ia menjalar layaknya gelombang seismik, terus menerus.
atau mungkin seperti endapan karbonat, yang masih belum terkonsolidasi dan aku akan menunggu ia melebur menjadi satu.

ini tak sebanding dengan kristal hexagonal, yang dengan mudahnya dapat terjadi akibat pergantian mineral kalsit dan dolomit, atau sering terjadi akibat dari rombakan batuan. maaf, aku permanen atas rasaku. tidak dapat dirombak, diubah, maupun dipecah.

aku tak mengenal iderit, ankerit, maupun rodokrosit, yang sering di anak tirikan atau disepelekan dalam satuan karbonat. satupun dari sifatmu, tidak. semua penting untukku. apapun.

p.s: dari tumpukan notes facebook tahun 2011. Ceritanya saya dan Arya lagi lomba nulis puisi dengan bidang OSN masing-masing #eaaaa

Hadiah

“Jadi mau kado apa nanti ulang tahun?”
“Apa ya? Belum kepikiran.

Tiga bulan kemudian, kamu masih mengucapkan pertanyaan yang sama, namun bedanya umurku sebentar lagi berganti.
Tepat satu hari lagi. 

Aku tidak percaya kamu masih kebingungan mencari apa yang akan menjadi persembahan untukku. Kamu biasanya selalu lengkap dengan kejutan-kejutan kecil, waktu itu saja, sebelum aku memulai hari, kamu sudah menghujani kamarku dengan awetan bintang laut, favoritku. Kau sahabat paling romantis seumur hidup. 

“Jadi, mau kado apa nanti ulang tahun?” 
“Berisik.”
Lalu kita tertawa lagi.

Tidak ada bedanya, usiaku lima, tujuh, sepuluh, tiga belas,  lima belas, sembilan belas, bahkan dua puluh sekali pun, aku masih memiliki kamu sebagai sahabat romantis nomor satu. Jika boleh kubocorkan sedikit, kamu itu sedikit berlebihan, biarlah kuanggap karena kamu memang perhatian, tapi tanpa kamu beri apapun, kau akan tetap mendapatiku sebagai sahabat perempuan tigabelas tahun-mu.
Matahari terbenam sekarang, seperti biasa, pasir menjadi alas kaki kita jam-jam begini.
Aku pemerhati ulung, kau tak pernah sadar. Itulah cerdiknya aku, tigabelas tahun. Aku senang menjadi pemerhati kamu.
Aku takut diujung laut sana, kau akan menjadi matahari yang perlahan turun tenggelam, dan hanya beberapa detik setelahnya, langit ikut berubah. Gelap. Aku ingin menahan waktu, agar tak berjalan membawamu, yang entah kemana.

“Tujuh jam lagi, dan aku masih belum tahu. Kamu mau apa nanti?”

Aku memilih untuk tidak menjawab. Pertanyaan itu selalu terdengar terlalu tinggi. 
Melihat matahari perlahan dimakan laut adalah hal yang indah sekaligus mengerikan. Dan selalu berhasil menjadi tontonan yang membuat aku nikmat menganga. Mengisi pikiranku dengan milyaran hal baru. 

“Diam dulu mataharinya sebentar lagi hilang.”

Gelap.

“Aku ingin warna langit tadi, yang itu. Di antara batas senja dan malam.”

Setelahnya. ketakutanku memang terjadi.

Hau(mim)usah(api)

Hausaha   
    usah    hausaha
haus             s
   usaha         a
                      h
mimpi
mimpi
mimpi 
mimpi 
mimpi 

Kemudian mimpi disuruh berlari, ia yang memilih tidak mau melepaskan diri
tidak usah katanya, tidak usah
jangan usaha 
nanti haus



"mimpi tak berlengan, tetapi akan selalu ada jika engkau menginginkan. ketika badai datang atau api menelan bangunanmu, batu-batu itu tak akan hancur atau jadi abu. mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru." -filosofi kopi.

Depresan

Lonceng tengah kota berdentang dua belas kali, gagak-gagak betina datang untuk tidur, setelah memberi makan anak-anak hitamnya di belakang gedung tua pinggir jam raksasa. Lolongan serigala tua yang tinggal di pinggir bukit saling sahut dengan puluhan klakson jalan raya pusat perbelanjaan, merasa tidak disambut, serigala turun ke kota;
Lohomora sedang bermain lilin dan korek api pada saatnya
jalan di pinggir gorong-gorong gelap, yang acapkali datang mafia; sekarung mayat di tangannya dan dibuang begitu saja
lantas ibu gagak-gagak tadi mengacak mayat, yang kadang pengemis dari kota tetangga
kaki-kakinya dampalan, tebal dengan kudis, atau hanya bulu lebat yang terlihat
bukan jadi makanan sehat untuk anak-anakmu, Ibu Gagak!
Lohomora menyalakan sebatang lilin dan menjatuhkannya di atas bau-bauan
mungkin kesturi,
atau mungkin
bau busuk datang dari minyak rambut mayat pengemis yang berbulan-bulan tak ditemukan  
Serigala tengah separuh jalan, matanya mengecil pusing melihat banyak bongkah besi penghasil asap monoklorida bulak-balik di jalan raya

Lohomora jelmaan serigala, setelah lilin di tangannya mati, seluruh penghuni kota akan menjelma menjadi lolongan panjang

Tuesday, June 4, 2013

Anak Perempuan Papa

Ijinkan anakmu, Pah, untuk menceritakan sedikit rasa bangganya memiliki Papa yang romantis. Saya adalah sosok perempuan yang kekeuh bahwa keromantisan dan keindahan bisa datang dari kesederhanaan. Dan memang sebenarnya romantis itu, sederhana. Seperti hashtag di twitter #BahagiaItuSederhana. Yap bukan hanya Bahagia, tapi Romantis juga! 
Papa bukan datang dari keluarga bangsawan, atau  milyuner yang uangnya bisa datang darimana saja, papa juga bukan tipe orangtua yang gampang beliin ini itu untuk anak-anaknya. Dan saya juga setuju, romantis tidak datang dari hal-hal seperti itu. Adalah kembali, bahwa romantis bisa datang dari kesederhanaan, 

Yang selama ini papa lakukan selama 19 tahun.

Sedikit tentang Papa, papa itu tegas, perfeksionis, pekerja keras, introvert, tapi romantisnya bukan main. Ada beberapa momen yang akan selalu saya ingat, dan i'll swear, hanya Papa lah lelaki satu-satunya yang pernah melakukan hal se-sweet itu.

Ketika itu, kalau tidak salah saya masih duduk di bangku kelas 5 atau kelas 6 SD saya lupa persisnya, sepanjang jalan menuju rumah, saya merengek minta Papa untuk membelikan parfum baru, sebut merk saja ya, Anna Sui. Ya, saya masih ingat. Karena siangnya Papa dan aku jalan-jalan ke suatu pusat perbelanjaan di Jalan Gatot Subroto Bandung. Dan papa dengan kalemnya menjawab  “Nanti ajalah, minggu depan ya...” mendengar papa yang tidak berhasil saya enyuhkan hatinya, saya makin rewel dan pulang dengan muka murung. Dan papa tidak ubahnya cuek bebek, flat selurus-lurusnya rambut rebonding dari jalan sampai rumah. Beberapa hari setelahnya, entah hari keberapa, saya pulang sekolah dan terkejut melihat di atas tempat tidur saya terletak sebuah kotak kecil hijau yang tidak lain adalah parfum yang saya inginkan, dan ternyata terdapat kertas di bawahnya, bertuliskan, "Dipakai ya Teh Parfumnya. Love, Papa."
                                                                                                                
Itu adalah hal yang sangat romantis menurut saya, dan nilainya bukan terletak pada materi bahwa papa akhirnya membelikan parfum. Tetapi niat beliaulah yang menge-set, membentuk suasana, untuk tetap terlihat cuek bebek mendengar rengekan saya, padahal ternyata diam diam dibelakang beliau malah membelikan parfum, lalu dengan sengaja menyimpan parfumnya di atas kasur, bahkan menuliskan surat di bawahnya.

Atau misalkan, hal yang sebenarnya papa mungkin mengganggap saya tidak tahu (sebenarnya saya tahu betul hehe) Sampai sekarang, sampai tahun ini,  papa tidak pernah lupa untuk mencium kening saya di saat (yang mungkin papa kira) saya sudah terlelap tidur. 

Romantisnya Papa juga terlihat, ketika saya berulang tahun ke-19 kemarin, karena ada rezeki, papa menghadiahkan saya sebuah mobil. Bukan, sekali lagi yang ditekankan bukan hadiah mobilnya  Sehari setelahnya, di pagi hari papa membangunkan saya dan dengan khas-nya,  oh iya... Papa adalah orang yang sangat prosedural, bagaimana Ia mengingatkan dalam setiap hak, tentu ada kewajiban. Papa mengajak saya untuk “mengenal” mobil itu lebih banyak. Beliau menyuruh saya untuk membuka segala macam kotak yang ada di bagasi belakang, dongkrak, ban, dan segala macamnya.  Tangan kami sampai kotor pada saat itu, karena Papa juga mengajarkan saya bagaimana caranya mengganti ban (ternyata ban itu berat sekali, haha). Hingga sebagai perempuan, saya bisa mengganti air wiper, mengetahui dan memasang klakson, mencuci mobil hingga bersih sesuai dengan tata cara, hingga mengantre untuk servis onderdil. Haha lumayan lah, ya?

Saya sempat berpikir, “Apaan sih, ginian doang.”  Tapi Papa hanya ingin anaknya nanti tidak kenapa-napa di jalan, ya kan?
Kami menghabiskan waktu setengah hari hanya untuk mengotak-atik hal-hal seperti itu. Dan Papa itu detailnya minta ampun.  “Ini Teh,  obeng ini.. coba cek di operational book nya ada engga?” lalu, “Nah ini segitiga pengaman, cara pakainya gini. Kamu nanti kalau bannya kempes atau apa-apa usahakan cari yang jalannya rata... sepi, dan jangan di  pinggiran yang padat.” Atau, “Nih coba, kalau lampu ini menyala, artinya apa yang belum?”
Papa sampai segitunya, ya? Iya. Memang. Tapi menurut saya, itu keromantisan papa dengan kemasannya yang lain.

Dan yang baru-baru ini, pada saat saya mau Ujian Akhir Semester, saya sering kesulitan belajar di malam hari karena lampu belajar saya rusak. Entah apanya, karena sudah berulang kali diganti bola lampunya pun tetap tidak menyala. Saya sampai seempat rebutan lampu belajar dengan adik pertama saya, menyebalkannya lampu itu bukan pertama kalinya mati, papa sudah dua kali membetulkan lampu itu dan pasti dalam waktu sebentar akan rusak lagi. Dan hal romantis antara papa-saya-dan lampu itu adalah, papa niat membetulkan lampu belajar saya, (sampai beliau bawa keluar kota dan membetulkannya di sana lalu kembali dengan lampu yang sudah betul) Padahal kalau ingin tidak ribet, papa bisa membelikan saya lampu belajar baru ketimbang mengganggu pekerjaan beliau di sana. Rasanya, papa ingin memberikan hasil “buah-tangan”-nya kepada saya. Ah, Papa memang selalu menyimpan effort di mana saja. Saat papa pulang, papa masuk ke kamar saya, dengan sederhana papa memberitahu, "Nih Teh, lampunya udah jadi, tapi warnanya kuning, enggak apa-apa ya?"

Romantis untuk saya bisa datang dari hal sekecil apa saja, dan hal terabsurd sekalipun. Romantis bisa datang dari menyempatkannya Papa di sela kesibukannya, untuk sekedar BBM, telepon, ataupun kalau papa sudah kangennya keterlaluan, Papa menyuruh anak-anaknya untuk dadah-dadah ke CCTV (semua saluran cctv di rumah saya terkoneksi langsung ke handphone beliau) Romantis bisa datang saat Papa sama sekali tidak gengsi untuk mengekspresikan cintanya untuk keluarga, rindunya, saat Papa supersibuk. Satu waktu, papa pernah tiba-tiba BBM saya di siang hari "Teh kita serumah tapi kok belum ketemu dua hari ya? Kangen." Romantis bisa datang dari emote-emote kiss dan hug yang tak pernah lupa Papa simpan di akhir kalimat pesan singkat. Atau, konyolnya lagi, romantis bisa datang dari teganya papa yang menjeburkan saya ke kolam setinggi 1,5 meter, empat belas tahun lalu ketika saya belum bisa berenang. Walaupun pada akhirnya ternyata saya hanya tidak pede dengan kemampuan diri sendiri, dan malah renang dengan lancarnya. 
"Apa Papa bilang, kamu tuh sebenarnya bisa, tapi enggak pernah mau coba. Jadi papa sengaja jeburin."

Romantis juga bisa datang ketika Papa tidak pernah mau mengambil centong nasi ketika ada anggota keluarga yang belum turun ke meja makan, keromantisannya dilanjut ketika Papa dengan senangnya mendengarkan saya bercerita apa saja. Romantisnya juga pernah mengejutkan sekolah, Papa berniat menjemput saya pulang sekolah, dan beliau datang dengan ambulans pembawa mayat. Guru-guru panik dan menanyakan siapa yang meninggal di sekolah pada saat itu. Papa..papa...yang penting anaknya dia jemput. Takut menunggu lama, takut anaknya kenapa-napa. Lagi-lagi itu alasannya.
Romantis bisa datang ketika Papa membetulkan jendela kamar saya yang rusak, atau sekedar memasangkan jam dinding di kamar saya. Romantisnya Papa juga datang saat... beliau tidak pernah memaksa saya untuk masuk ke fakultas kedokteran. Katanya, biarlah anak perempuannya ini mengambil keputusan penuh akan kehidupannya, sehingga nanti dapat membuktikan dan bertanggungjawab atas pilihannya terebut.
Dan yang membuat saya menjadi perempuan pecinta bunga, apapun bunganya. Adalah Papa. Selama saya bisa mengingat, sepanjang ulang tahun saya, Papa tak pernah absen mengirimkan buket bunga, biasanya mawar merah, namun ketika mengetahui saya menyukai warna ungu, pada ulang tahun ke enambelas hingga sekarang, digantinyalah bunga itu, menjadi mawar atau lily, apapun, asalkan warnanya ungu,

Saya sayang papa. 

Saya jadi ingat, sekali waktu saya pernah mengobrak-abrik dompet Ibu dan menemukan sebuah foto sunset, karena bingung saya bertanya untuk apa ibu menyimpan foto sunset di dalam dompetnya, bukan foto mereka berdua,  Ibu langsung membalikkan lembar foto tersebut, dan di belakangnya terdapat tulisan tangan papa. Papa menuliskan puisi untuk ibu, dan foto sunset tersebut adalah hasil jepretan papa.
Saya jadi membayangkan, seromantis apa Papa untuk ibu, ya...


"Wujudku adalah patung terbengkalai
cinta telah mengukirnya
dan jadilah aku manusia.
 'de keinginanku hanyalah satukan cinta dan perasaan kita."

                                              Pangandaran 1990. Love
                                                                       DadanR.

Sunday, June 2, 2013

Ketika malam bertanya pada ombak, hati siapakah yang dibawa berlayar ke tengah sampai jauh; ombak makin mengguyur tepi dengan buih, menjilat dengan pecah
Malam tertegun dan sakit mendengarnya, kedua kali ditanyakannya hati siapakah yang dibawa jauh sampai tengah, ombak menjawab dengan air pasang surut bulan, sedikit tersenyum tafsir agar bingung
Malam dengan berkuda ditanyakannya lagi, pada siapakah hati terjauh yang ombak bawa sampai tengah; samudera sekarang acap menjawab dengan gelontor-gelontor sekumpulan tuna, terjaring sampai pinggir, nelayan sukacita, ombak mengalihkan perhatian tanggahnya pada malam

2013

Sunday, May 26, 2013

Oksimoron

ketika aku berpuisi
aku mengawinkan kata dengan dirimu
mungkin aku sedang oleng
mabuk wiski
di sekitaran lereng
kaki kaki
hingga diksi sederhana
dari sutardji atau alisyahbana
menenggelamkan aku
serindu
putik-putik bunga
mekar
menunggu

ketika aku berpuisi
aku mengawinkan kata dengan jiwamu
ruh ruh keluar dari sepatu
hujan menenggelamkanmu
lantas apa dan bisa mengaduh; berlari rindu berpeluh
lelah lesu; kau uyup salju cair itu
segera kenang yang akan hilang
segera buang yang tak kau juga lelang
di tanganmu ada sebuku
bau tinta dan bau debu
tolong coba kesinikan!

ketika aku berpuisi
aku mengawinkan kata dengan sore-sore
jiwa dan dirimu selalu baru pulang jalan-jalan
mereka buka sepatu kotor cepat-cepat
dan sambut aku yang sedang duduk-duduk
di depan televisi hitam putih abu-abu

ketika aku berpuisi
aku mengawinkan kata dengan merpati
       ah sudah!
nanti kalau terlalu lama, pasti aku dikencingi


tunggulah aku di sana, kukawinkan bibirmu dengan secawan anggur


Mei 2013

Saturday, May 18, 2013

Namaku Cinta I

Namaku Cinta. Di dunia, keberadaanku bisa kau temukan di mana saja, tetapi sekarang, aku tepat berada di antara kedua nama. Fabiana dan Kalhan, dan mereka telah hidup denganku selama delapan tahun,

Aku tengah mengamati mereka dari pojok kopi yang cukup sepi. Tempat Fabiana berlama-lama diam, dan berjarak 30 meter dari kantor Kalhan. Untuk pertemuan yang kali ini, mereka tidak menyertakan aku. Karena penasaran, diam diam aku mengikuti mereka hingga sampailah di sini.

“Kenapa baru bilang Mas? Kan rencananya dua tahun lagi?”
“Dipercepat Na, saya ternyata disuruh kesana. Ibu enggak ada yang nemenin.”
“Loh? Terus bagaimana? Aku ngikut baiknya saja. Nanggung Mas, sekolahku sebentar lagi juga selesai.”
“Inilah kenapa saya ingin ketemu dan bicara, Na. Saya juga bingung. Enggak bermaksud untuk nyuruh kamu berhenti kuliah... Tapi...”
“Kan rencananya setelah aku beresin ini, aku ikut Mas dan doktoralku dilanjutkan di sana.”
“Kalau pernikahan kita dipercepat? Atau kalau bisa di sana saja. Saya tahu ini serba mendadak dan pasti kamu kaget, Na. Cuma ibu bilang begitu. Ibu kemarin sakit lagi dan ingin saya segera boyong Nana ke sana, sama ibu. Ibu yang minta, Na.”

Ternyata aku menguping percakapan yang cukup rumit. Muka mereka berdua lebih semrawut daripada jalanan macet ibukota jam pulang kantor. Sambil menyeruput frappucino ukuran ekstra, aku kembali mendengarkan.

Semoga mereka tidak melupakan bahwa mereka telah hidup dan menghadirkanku selama delapan tahun.  Fabiana dan Kalhan membangunku dan selalu menyertakan sebagai perekat mereka berdua. Aku juga jadi saksi atas pertengkaran, debat, tangis, tawa terbahak, cemburu, setia, rindu,  senang, pelukan, ciuman, kebahagiaan mereka. Bahkan aku akan diagungkan oleh mereka di atas altar dua tahun lagi, hidup bersama dengan mengikatku selamanya. Kadang permasalahan datang untuk menguji manusia, untuk tetap memilih bersamaku, atau malah meniadakanku.

Namaku Cinta, dan aku tidak mau dihilangkan.

***


Lagi-lagi di taman ini, kau lelaki yang selalu mengikuti dan hapal betul jam makan siangku, dan di mana tempatku membuka bekal. Kau lelaki yang entah secara kebetulan, selalu tepat berada di kursi depan. Kemarin wajahmu kau tutupi oleh majalah otomotif, dan sekarang? Kau terlihat serius membaca dan membolak-balikkan koran.
Entah aku yang geer, atau memang seperti itu keadaannya, tapi di saat aku  mulai membuka kotak bekal dan mengambil sendok, mengiris-ngiris daging ayam, lalu menyuapnya, aku suka merasa kau suka memperhatikanku. Dan di saat aku penasaran ingin melihat kamu, kau memalingkan muka. Tidak terhitung sudah berapa kali seperti itu. Namun bukannya risih, aku malah senang diperhatikan kamu seperti itu.

Nah, lima menit lagi dia pasti datang. Bawa menu bekal apa ya dia hari ini? Kenapa kamu lucu sekali sih? Tuhan beranikan lah aku untuk sekedar pindah tempat duduk dan bertanya siapa namanya, pada sore hari ini saja. Sudah lima hari saya hanya duduk diam dan memperhatikan wajahnya yang manis itu.  Apa dia merasa, ya? Okay, dia datang. Mana? Mana koran yang barusan saya bawa? Saya terlihat rapi kan? Lebih baik saya berpura-pura membaca saja, barang sepuluh menit, mungkin saya tahan untuk bersikap biasa saja dan tidak jadi salah tingkah Ah! Kenapa dia lucu sekali sih? Caranya menyuap dan pipinya yang nanti menggembung itu membuat saya ingin mencubitnya. Jangan ketinggian, namanya saja saya belum tahu. Apalagi mencubit pipinya...Sial! Sepertinya dia sadar aku perhatikan, pipinya memerah walau dia berpura-pura sibuk dengan makan siangnya. Dia tersenyum!!! Serius Duh, bodoh! Lebih baik saya baca koran lagi. Dan tetap bersikap tenang.

Lelaki itu kenapa sih? Ada yang aneh denganku ya siang ini? Apa ada yang salah dengan bajuku? Atau... ada nasi yang menempel di pipiku? Atau aku bau badan dan tercium sampai sana? Kenapa aku sering merasa matanya terus mengamatiku, ya? Tapi di lihat-lihat dia lumayan juga sih,
Ah! Bodoh! Kenapa aku tersenyum barusan? Aduh! Pasti pipiku memerah dan aku disangka kegeeran... Ah Bagaimana ini? Tenang Ra, tenang... Habiskan makananmu ini...

Mungkin saatnya sekarang,

Kenapa dia jalan mendekat?

Bismillah. Tuhan, saya cuma ingin berkenalan. Berikan keberanian..

“Siang, saya Rama. Boleh duduk di sini?”

“Eh... mmm... Saya Arla, silakan. Kosong di sini.”

“.....”

Namaku Cinta. Di dunia, keberadaanku bisa kau temukan di mana saja, tetapi sekarang, aku tepat berada di antara kedua nama. Rama dan Arla. Sepertinya mereka memang menunggu kedatanganku, dan sekarang, dirasa pas waktunya. Hallo Arla, Rama, selamat datang. Selamat bertemu denganku.

Namaku Cinta. Dan aku bisa datang kapanpun semauku.