Saturday, July 13, 2013

Mawar Africa

Tidak akan pernah sesederhana bunga mawar di ujung jendela. Bagiku hal lain yang kucintai selain menulis adalah kamu. Dan bagaimana bisa, jikalau kamu satu-satunya alasan untuk aku tetap menulis, telah hilang?

Minggu sore kemarin. Aku masih ingat betul. Aku tengah bermain dengan kecipak hujan, di atas kursi roda, di teras luar kamar yang jauh dari suara televisi dan hingar bingar. Kau datang dengan pakaian lusuh.
Kedua mataku memejam. Bau mawar busuk menyengat lewat cuping hidung. 

Sudah berubahkah pikiranmu?

Kuputar tuas-tuas kursi, berbalik menghadap pegangan teralis  kayu. Memunggungi kamu. Dan angin menjilat-jilat wajahku dingin. Sejuk.

Belum.  Mungkin tidak akan pernah. 

Jika percakapan ini datang, aku selalu berharap kaki-kakiku sembuh, tenagaku kembali utuh, supaya bebas aku berlari. Masuk kamar dan kukunci dari dalam. Apapun caranya agar terhindar dari kamu. Tidak lagi seharian hanya termenung. Kembali menulis. Kembali ke kantor gedung lantai limabelas bersama editor-editor lain. Tenggelam dalam email dan tumpukan naskah. Ya, bagaimanapun caranya agar terhindar dari kamu.

You’re being hard on your self.
Am I?
....
What did you expect of me?
.....
Kau seperti melumat wajahmu sendiri.  Matamu seperti dicelup rebusan bawang merah panas.

What if I said no?

Ah, aku benci berargumen. Aku benar-benar tidak suka.

Africa, aku benar-benar minta maaf. Sekali lagi.

Kali ini namaku kau sebut. Kedua kakimu merapat, bahumu merendah. Lututmu menyentuh lantai-lantai. Oh well, aku biarkan kau seperti tahanan penjara. Meringkuk. Kau meringis. Entah menahan rasa yang mana.

Mendapati  kenyataan aku sering kau kecewakan, membuatku amat sangat bingung bagaimana menjelaskan dan membuatmu setidaknya, sedikit saja mengerti. Demi membuat bibirmu tersungging senyum, misalnya, rela kukesampingkan sakit yang selalu datang kencang sekali. Duakali menemukanmu dengan wanita lain, misalnya lagi, rela kukesampingkan gemuruh rasa yang akhirnya membuat kantung di pelupuk mata. Bosan aku kau jadikan pelabuhan, terkadang kau pergi, mencari bahagia-bahagia muda. Dan beberapa bulan setelahnya, kau datang kembali membawa beberapa mawar untuk kau sematkan di ujung jendela kamar. Rasa yang semula mau mati jadi benderang lagi. Tak terhitung, sekian malam mulutku komat-kamit merapal doa-doa demi permohonan. Adakah sekiranya kau sedikit  malu. Hingga peristiwa lalu, yang membuat aku tersungkur tak sadarkan diri di lantai dan bangun setengah jam kemudian, terasa sungguh mengeruk. Mengerontangkan perasaan.

Setelah malam itu, aku berjanji tidak akan pernah ada lagi.

Africa, aku mohon. Kau terjerambab. 

Di depanku, ada lelaki yang pasang matanya tak berani menyala. Berluahkan airmata. Angin masih menjilat-jilat wajahku sama. Aku beringsut mundur, menekankan dada pada teralis kayu pinggir teras. Sehingga bisa kurasa rongga ini ikut mengerut keras. Sungguh aku sangat berharap betismu lelah dan kesemutan, hingga kau beranjak berdiri dan pergi sendirinya. Tapi kau masih saja mematung. Entah rasa yang mana yang sedang kau arung.
Aku ingin segera menyudahi kasak-kusuk ini. Jika aku berteriak mengusirmu pergi, kau akan semakin menderita.
Tuhan, mengapa aku tidak pernah kian tega?

Ini, aku bawakan mawar untuk kamu lagi. Simpan di ujung jendela kamar. Tetap menulis. Karyamu tersendat dimana-mana. Oh, mengapa akhir-akhir ini kisahmu terasa sangat luka, Africa?

Tak ubah sifatmu. Dan bodohnya aku, mencinta orang setengah sakit jiwa.

Aku akan, tengah, selesai, dan selalu menuliskan kamu, dalam hidupku. Kau akan selalu jadi lakon utama yang muncul dimana-mana. Kini, bagian ceritamu menuliskan luka. Dan sekarang, aku menuliskannya dalam plot kisah berdurasi ekstra panjang.

Hendaklah aku melantur. Kudengar terus dadaku berdentam.


2013


3 comments:

  1. bikin penasaran!! hahaha. pemilihan katanya buat kita berimajenasi, keren ca, kembangin terus yaa :)

    ReplyDelete
  2. Over all... Nice writing, Ca. #BRAVO!

    Jenis tulisan di atas itu termasuk monolog, soalnya dipresentasikan sama 1 karakter yang mengekspesikan atau mengungkapkan perasaannya ke orang lain. Biasanya monolog itu emang dibuat sedramatis mungkin, itu yang bikin bernyawa.

    Buat diksinya udah bagus deh, penyampaiannya bikin yang ngebaca kebawa suasana.

    Good work!

    Tetep semangat nulis ya, Ca.
    cheers, :*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oya, tulisan di atas keren banget buat dijadiin ide cerpen atau novel. Seriussss... hehe...

      Keep your spirit burning, sweety girl :*

      Delete