Tuesday, December 15, 2020

Merona dan Dilatasinya.

Merona tersesat, di hadapannya membentang lautan dan gunung pasir. Kakinya tak kunjung melangkah. Ia pikir ini mimpi yang jauh membuatnya lebih hidup. Kegelisahan demi kegelisahan menjadi raut asah. Kepalanya pening, dadanya sesak, kulitnya dilabur ruam. Ombak yang sedari dulu menjadi sahabat, kini menciptakan ruat. Ia pikir ini labirin, waktu sedang mengoloknya. Ia berlari, di tiga dini hari.

Merona membutuhkan Petang. Lelaki delapan tahunnya. Sebelum memutuskan untuk pergi, Merona titipkan beberapa kunci. Termasuk kunci ke dalam jiwanya. Kunci berwarna abu kehitaman karena karat. Celakanya, Merona tak pernah berencana untuk menduplikat. Satu tahun lalu, Petang menelan kunci itu dan menyimpannya rapat.

Senja hari ini sedikit tidak membantu, Cuaca Jakarta kadang menipu, namun lari ini tak bisa diganggu. Merona gelisah, penuh peluh. Petang masih dengan cangkir kopinya, duduk dengan tenang.

“Persinggahan memang selalu seperti itu, Petang. Ia akan menyatu dengan perpisahan. Entah berujung pilu, entah akan berakhir haru. Terkadang persinggahan juga menyelamatkan, untuk sementara waktu, hingga akhirnya bertemu dengan waktu untuk memulangkanmu.”

Di luar jendela, tidak banyak warna selain jingga, putih dan biru. Selain itu cuma ada derau. Merona kembali berapriori.

“Berhenti berpikir, Perempuanku.”

“Aku tak merasa rugi dengan masa lalu. Tidak pernah sekali pun begitu.”

Angkasa menjadi riuh bagai taman bermain. Klakson-klakson terdengar bagai klarinet, ritmis. Tanpa notasi.

Petang, kisah kita bukan kompendium. I’m afraid…” tanpa menyelesaikan kalimat, perempuan itu menenggelamkan wajahnya ke bahu lelaki. Petang mendekapnya dalam-dalam.

“Katakanlah ini pertemuan terakhir, Kau ingin apa, Merona?”

“Selembar surat, dilipat, dimasukan ke dalam amplop ungu.”

“Itu saja?”

“Saya minta sertakan satu lagi.”

Petang mengerenyitkan dahi, Ia tahu betul permintaan perempuannya kadang tak masuk akal.

“Saya minta sepotong matamu di sana, tanpa darah. Masukan ke dalam amplop yang sama

....sehingga ketika nanti waktunya saya baca surat ini, Saya akan lepas bola mata, dan akan saya ganti dengan milikmu.”

"Boleh. Apapun untukmu."

"Agar saya bisa ingat, bisa melihat, bagaimana kisah ini bahagia dari sudut pandangmu."

Di apartemen sempit ini, nasib sedang tak ingin berbagi ruang kecuali dengan kenangan. Menanti harap pertemuan di pintu kedatangan. Dan sama seperti engkau yang sedang mencari makna dalam tulisan ini;

Percayalah, Merona pun tak mengerti.


Desember 2020

Wednesday, July 22, 2020

Kembali

hatiku berkelukur, menjadi daif
ketika kita tidak berjarak
bahkan sempat mengira
ada perempuan yang mengirim airmata
dengan belati
di tangan kanan
berusaha memecah kenangan;
demi kenangan

gema yang digenggam
melesap ke lengkung langit
darah dipulas hingga merah jadi buih
ada yang tetap tak rela
menyusuri sakit

lantas,
dengan dingin Ia bertanya:
siapa yang mampu
merawat luka?

2020

Friday, June 12, 2020

Setelah Kisah ini Selesai: Hal-hal yang Merona dan Petang Tidak Mengerti

Kamu adalah orang yang saya tidak pernah perhitungkan. 
Untuk menjadi..”
Sungguh Ia menahan tangis untuk menyelesaikan kalimatnya
..yang terdalam.”

Akhirnya Merona benar-benar paham akan ketakutannya. Takut lukanya tak pernah benar bisa-bisa hilang. Waktu menyembuhkan, katanya. Namun butuh berapa lama? Lelaki yang menciptakannya sekarang di depan mata.
Benar-benar ada.

Sambil sesekali menyalakan pemantik, Petang merokok. Bertanya tentang hal yang menurutnya masih menjadi tanda tanya. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat bising. Merona hanya bisa memberikan airmata sebagai jawabannya. Andai bisa Ia peluk lelaki itu, semua mungkin akan luruh. Ternyata hatinya tak pernah jauh. Petang selalu menyimpannya. 

“Saya kehilangan pelipur lara.”

Lelah sudah Petang mengusir kabut-kabut. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah berdua menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah Merona tilik dengan seksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari luka. 
Sejauh ingatannya, Petang tak pernah menitiskan airmata. Namun malam ini, dari matanya mengepul tebal,  yang tak pernah Ia pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari perih yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya? Entahlah. 

Dingin menyeruak melewati dada. Beberapa menit Merona dan Petang tenggelam dalam hening. Seakan-akan udara memberangus mulut mereka berdua. Sungguh Merona ingin memeluk lelaki delapan tahunnya untuk yang terakhir kali. Gelisah terus merangsek, menusuk, menusuk, menusuk, hingga tertahan sesuatu yang lunak seperti ombak. Ombak itu bergulung-gulung dan memercikkan sesuatu yang hangat dan berdebur sampai ke telinganya. Merona menghela napas. 

Malam-malam berbintang, Petang menghitungnya. Hari-hari pelarian yang tidak Ia tahu kapan akan berakhir.

"Petang. Melupakanmu sama saja seperti saya berusaha menangkap cahaya. Tak akan pernah bisa."
Perempuan itu menyeka pipinya. Tahu bahwa lelaki itu tak layak mendera. 

“Banyak hal di dunia ini yang sama-sama kita tidak mengerti..
..Saya sayang sama kamu Petang. Entah sampai kapan. Mungkin selamanya.”

Friday, April 10, 2020

Elang

Kau dara, cantik kaya raya
Kekasih para dewa
Kabar pernikahanmu tersiar seluruh Jawa
Pada dua belah samudera yang lain,
aku berpesta pora
dengan rintih dan air mata
Kau naik tahta
Jiwaku porak poranda

Kemana larinya janji kita berdua?

Mengubah Warna Langit

Kuceritakan Ia berulang, padamu
Ini masih tentang Petang dan hangatnya yang tak pernah hilang

Ternyata dalam kisah kita, karsa mengalah pada takdir
Mengikat luka pada tulang punggung dan membiarkannya selalu hadir
Entah hingga dimensi waktu yang keberapa
Kau akan selamanya ada

Akhirnya Merona harus percaya
Dengan paksa dicangkokannya ke dalam dada
Sebelum akhirnya gagasan ini bertambah tua

10.4.20

Friday, January 10, 2020

Bulan itu terbingkai di jendela
Bertengger di langit
Manik-manik matanya dihisap cahaya
Sang Perempuan menari sepanjang malam
Hingga terlupa
Akan luka yang disesah timah panas
pada sebuah zaman
Begitu gelap
Begitu lelap.

Januari

Di penghujan
Melepas yang meranggas
Menghapus yang terlampau aus
Di penghujan
Kau dikenang
lama tergenang,
Aku dibunuh sebelum jatuh



Penghujan

Bingar. Jakarta berkelakar. Celakanya hanya suaramu yang aku dengar, untuk menghabiskan malam dan menggenggam pagi. 
Walau kau sesaat, kau mengingatkanku akan sesuatu. Aku sempat candu meminum teh pekat. Hingga kebiasaan itu membuat tukak lambungku rusak. Namun bagaimana lagi? hal itu membuatku tenang ketika hidung mencium aromanya. Sama seperti tubuhmu. Kau mungkin adiksiku yang baru. Kota ini berisik, dan hal pertama yang kutunggu adalah menunggu bibirmu berbisik. Jauh melihat sesuatu yang kecil. 
Jam berhenti. 

Kiranya itu berlebihan?

Dan kau?
Setelah beradu kita, dalam ketidakpastian dan malam seakan menyuruh bergegas, aku sangat menikmati tiap jengkal tubuhmu. Kau beda, kau tidak beraroma, tanpa parfum menyengat khas lelaki di seantero dunia. Kau tawar. Namun pelukanmu ternyata adalah penawar.
Kau sapu aliran darah, separuh liarku kau redam. Anggur itu, tanpa pembuka. Waktu yang tergesa, pesan singkat tanpa warna. 
Kita berbahaya jika bersama. Terbit matahari tak membuat kita bergegas pergi. 

Lets don’t think too much…
As long as we keep this.

Kau tak suka senja.
Oh ya? Tahu dari siapa?
Don’t make me have to spell it all night.

Cuddle? Is it too much?
No. 
Great. Spoon me after.

Entah aku yang lantang atau kau terlalu lancang, kita bertaruh bersama. Pada malam yang terlihat penat dan angin tidak sedang bernubuat. Lalu kita terduduk, menunggu penggenapan demi penggenapan. Dan kali ini, mataku tidak berharap. Saat kita menderu, bintang perak dan bulan emas jatuh di antara buih peluh. Aku memohon, tolong biarkan aku meliuki pinggulmu untuk meluruskan liku. Semakin larut, sepi menggigit lebih dari sebelumnya. 

Lekaslah terlewati malam-malam insomnia yang merebut tidur. Atau kau tidak boleh pulang sampai pagi, aku merengek manja. Kau mengiyakan dalam setengah lelap. Lenganmu melingkar ke perutku. Memaksaku menjadi sedikit dalam dekap.  Kemudian kita berdua hilang. Mencari mimpi masing-masing. Kau sama sekali tidak menjinakkan imajinasi. Ada yang belum selesai dari kita berdua sejak empat tahun silam. Bandung dan Jakarta, dua kota yang menggugurkan kecanggungan. Suara televisi memecah sepi. Saya tersenyum. Hanya sebentar di antara kami sebelum kata-kata meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin. 

Ada diksi yang tak kumengerti namun tertawa denganmu renyah rasanya.