Wednesday, January 25, 2017

Menunggu Tamu

Sore ini,
Kau menuang Macallan 18 ke dalam satu gelas bening dan menyimpannya di meja. Kau masih menungguku pulang, Sayang? Gelas itu berinisial namaku. Kenapa kamu masih saja? Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.   

Kau memutar Is You Or Is You Ain’t My Baby, piringan hitam itu sudah sering diakrabi oleh Cab Calloway and His Orchestra. Kau masih menunggu aku menggamit tanganmu dan kita berdansa di tengah rumah, Sayang? Lagu itu lagu kesukaanku. Kenapa kamu masih saja? Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.  

Beberapa jenak kau menyiram semak-semak, perdu krokot, sirih, srigading, geranium, dahlia, petunia, dan mawar kuning yang tertanam di halaman. Kau masih menunggu aku mengambil selang dan membantumu, Sayang? Tanaman-tanaman cantik itu koleksiku. Kenapa kau masih saja?  Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.
 
Aku mendengarkan sambil terus mengamati bibirmu bergerak. Juga membaca, dalam benak. Di sana masih tumbuh rimbun kenangan saat kita tertawa tergelak. Dalam duniamu waktu dapat terhenti seperti gambar, tergetar-getar dengan daya semesta yang tertahan. Jika saja bisa, kita menangis sambil berpelukan.

Jangan, sayang. Kumohon.

Jika kau masih membujukku untuk pulang, dadaku ini seperti di mural. Permanen rayumu menjadi warna di dinding jantung. Seberapa kencang kau tersedu, tidak akan pernah kembali membawaku. Mending kau bersamaku, dari sini, aku menyusuri ingatan-ingatan yang menyenangkan. Sambil berjingkat-jingkat melompat menghindari lubang-lubang memori hitampahit. 
Angin berembus tak kencang, tak pelan. Beda dengan airmatamu yang menghambur terhuyung-huyung. Aku mengerti, Sayang. Ada sesal dan ngilu yang tak terkatakan. Ada luka yang terus mengintip di selip ingatan. Menyakitkan.

Ketika senja menepi di antara langit-langit, aku hanya berharap tangismu berhenti.


 ilustrasi;lakonhidup.com


 
25.01.2017

Wednesday, January 18, 2017

Asa

jangan buang mimpi-mimpi itu!
kalau mau
kau kubur saja,

di langit.

Prelude

Ketika dadaku mendadak kaku
Pasti itu kamu
Bergelayut;senyummu seraut
Namun kubiar
Hingga biru, tak lagi berdebar
jantungku

Karena
Kau merasa denganku seraga
biarlah aku menata airmata