Tuesday, October 30, 2018

Petang dan Pertemuan yang Sengaja.

Petang merangkul pinggul perempuan itu yang telah menjadi miliknya. Bangku-bangku banyak tanpa isi, Lelaki itu mendongakkan wajah. Langit oranye polos dengan gemawan berwarna merah bersolek dengan warna kuning tua.

“Tidak secara sadar aku menyayangi kamu.”

“Tapi secara sadar kau mencari aku,
…menerus.” jahil senyum simpulnya. Merona terkekeh, naik tulang pipinya.

Matahari masuk lewat ranggas pepohonan. Dua bola mata perempuannya itu lebih rindang dari angin sore yang berjelanak, dan Petang selalu memeluknya seperti bagaimana Bernini menggambarkan kisah Persephone.

Kenapa mengajak bertemu di sini?”

“Supaya romantis. Kamu perempuan paling manis yang aku pernah kenal.”

Merona mengerling, “Di… sini? Romantis? Dudley Garden?”

Petang terbahak seraya mengelus rambut Merona.

“Sebetulnya karena saya ada kelas lagi. Dan kamu sangat sibuk akhir-akhir ini.”

Perempuan yang di dalam pelukannya itu ikut tertawa, seraya menenggelamkan wajahnya di dada Petang.

“Memang bukan jarak itu benar yang memisahkan. Sebab, sejauh apa pun jarak, jika hatimu masih utuh untuk aku, setelah sekian lama ini, semua bukan halangan untuk kurengkuh. Kamu ingat malam di mana aku secara tetiba datang dan berbicara kita hingga pukul tiga?
…Namun kemudian…Memang kau seperti angin, Merona. Kadang aku tak bisa membaca apa-apa yang kau ingin.”

Seperti biasa, perempuan itu lebih banyak bergeming. Mendengarkan lelaki dengan wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan. Membuat Merona menampik pikirannya sendiri. Ia ingin percakapan sore yang disengaja ini, membuat segalanya menjadi jelas. Ia melonggarkan tubuhnya dari Petang. Sebetulnya, Merona lebih ingin diam dan menikmati gugurnya semua laku satu demi satu bersama deru. Ia kembali melihat daun-daun pohon diembus angin. Beberapa rontok dan rebah ke tanah.

“Yang benar-benar kuinginkan adalah kau menemukan kenyataan bahwa pelukanku adalah satu-satunya tempatmu untuk jatuh tertidur.”
  
Petang tersenyum. 
“Kau ingin aku menjawabnya?”

Si perempuan pergi beberapa langkah, memain-mainkan kelopak krisan di hadapannya dengan ujung jarinya. 
“Bunganya bagus,
…boleh aku tinggal di sini?

“Kamu? Yang selalu telah-menyiapkan-segala-sesuatunya?”

Merona bergeming. Ia mengibaskan rambut yang menutupi pipi kanannya dengan menggerakan kepala searah jarum jam dan diusapnya pelipis Petang. Otaknya entah mengapa membawa banyak memori kembali. Bagaimana beberapa bulan lalu, Ia masih duduk di tepian sungai Thames. Satu tahun ternyata begitu cepat. Seperti baru kemarin Merona meninggalkan London. Suasana masih terekam sama: langit petang yang mirip lembayung di Lembang, kemilau riak air diterpa mentari, London Aquarium, kafe tempat menyambut malam dengan kursi dan meja berbahan kayu oak merah, ikon kota London Eye, dan bagaimana pantulan sungai Thames menggambar wajah Petang, lelaki lima tahunnya. 

“Eh? Coba ulang pertanyaanmu tadi? Mau tinggal di sini?”

Tangannya menggamit Petang. Sela-sela jemari yang beradu erat cukup menjawab. Baru bulan lalu Ia menjadi perempuan paling nelangsa di tanah Britania. Tidak, tidak lagi. Jakarta-Amerika, London-Amerika. Pertemuan-pertemuan tanpa sengaja, percakapan tanpa dimakna ternyata membuatnya tersiksa. Memang ternyata waktu dan cinta adalah dua perkara yang didekap rahasia.

Merona mengangguk.

“Dan kurasa matahari jingga sudah menjawab pertanyaanmu. Kau mau menunggu aku di sini? Karena professorku sudah tiba, atau menunggu di kedai kopi biasa?”

"Aku tunggu saja. Tamannya sepi. Aku bawa buku."

"Merona," 
"Ya?"
"I want to be the only story in your poem."

Seperti namanya, pipi Merona meranum, memerah. Ada yang berkepak-kepak di dadanya. Memang apa yang dikatakan hati, kadang tanpa memerlukan bunyi tetapi selalu mampu dimengerti.