Sunday, October 16, 2016

You see, there comes a time when you meet someone and all the things you wanted in a lover just start to disappear. You wanted deep blue eyes like a clear ocean and then all of suddenly his dark brown eyes become your favorite. You wanted someone who plays sports but the way he plays guitar just softness your heart. You wanted someone who can use beautiful words to make you feel better but he doesn't speak when you're down crying he just sits there and holds you with no intention of letting go. You wanted a lover who tells you you're the real art when you are at museums but then you meet someone who doesn't look at the stars int the night but he just stares at your eyes. And you meet someone who pours milk in the coffee enough to resemble your eyes. And you meet someone who makes you laugh. And suddenly he is like you wanted him to be. He makes you happy.

Saturday, October 15, 2016

Magrib.

Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan leluasa
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan terbiasa
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan memisahkan
Spasi dalam kata

Koma dalam makna

Friday, October 14, 2016

Sampul.

Sepertinya aku sudah cukup mati
aku bergerak sangat perlahan,
dadaku nyeri,
ngilu- kuku-kuku


telah berapa lama aku tidur di sebelah nisanmu?

2016.

Lagu Folk

Aku menunggu
Hingga keningmu terbelah
Bibirmu pecah
Dimana tangismu?
Tak kulihat airmata
Ternyata aku
 bersimbah
malah.

Oktober 2016

Siang, 14 Oktober.

Renta, hujan meminta-minta
di salah satu toko musik favorit kita
mengingatkan pada cara kita jatuh cinta,
sederhana.

Oktober 2016

Dalam Emailmu.

Kau selalu menggerutu. Bandung sudah tidak lagi seperti yang dulu. Misuhmu adalah sesuatu yang selalu kau ulang di email. Kau protes Bandung panas, jalan Braga semakin macet, Dago sudah tidak lagi dingin, Martadinata seolah jadi Kemang Jakarta. Taman semakin banyak, namun  volume mobil juga kian melonjak. Becak yang naik harganya, jajanan dari gurilem hingga kue cubit yang makin mahal. Ya, walau taman punya wi-fi sekarang, enggan tetap kau sambang. Kenapa? Ah, aku tahu, nanti tidak ada yang kau mintakan tisu. Kau kan mudah berpeluh. Kemudian akulah yang menampung keluh.

Aku sempat menerka apa jadinya kegiatan soremu di sana. Masihkah kau berkeliling ke galeri-galeri? Masihkah kau tetap memesan teh namun malah diammu di kedai kopi? Rumah seni mana lagi yang kau datangi? Apakabar anak-anak les yang kau amati di Barli? Atau, malam minggumu dengan anak-anak ganesa yang sibuk dengan pamerannya untuk tugas akhir, dan kau malah merecoki. Masih seringkah kau bertamu ke Siliwangi? Diam beberapa jam di kebun seni lalu pesan bitter ballen dari café di sebrang? Keliaran kah kau masih, ke teater kampus yang tempatnya macet setengah mampus?

Katamu, senja di belakang rindang kolam renang sudah tidak sebegitu indah. Siluetnya jadi susah menyorot mata-mata. Oh pantas kau gelisah. Kau dan senja adalah dua yang tidak bisa dipisah.

Katamu, kau ingin lihat senja di ibukota. 
dan katamu, suasana menjadi amat sangat lain. 

Menurutku, kau bukan kehilangan Bandung yang dulu, 
Menurutku, Kau bilang kotamu sekarang begitu, karena di sana sudah tidak ada aku.