Wednesday, December 17, 2014

Catatan Desember

Langit Bandung akhir ini tergantung-gantung. Sama seperti udaranya yang dingin dan panas sekaligus. Mendung yang nanggung. Tetapi seminggu ini, sore sering tenang. 

Seperti biasa. Birunya masih membuatku betah menatap lama. Sebelum senja. Sebelum lapang penuh motor-motor mesum. Di padang ilalang ini aku kembali berbaring. Di tengah-tengah daun yang menguning. Suara angin menyisir rumput-rumput tinggi sekeliling. Banyak dandelion yang rekah. Mahkotanya terbang-terbang. Oranye awan sedang berkilapan. Ternyata ini juga tentang memoar yang kian usang.

Aku menunggu kamu datang. Di antara. Di antara mega yang merah, di antara sengat yang mengerubut. Awan pelan-pelan hilang. Menjadi nila, menjadi jingga, menggelap.

Aku menunggu kamu datang. Di antara.
Sampai kapan?
Tak usah direka, pula jangan diterka. Entah. 

Sunday, November 9, 2014

Sesaat Setelah Hujan

Mendung yang sedari siang telah ada, tidak membuatku kaget akan datangnya hujan besar di senja. Ia menutup siang. Menemani matahari kembali ke peraduan. Dengan tirai-tirai air.

Sederhananya seperti itu.

Aku bercerita pada hujan yang jatuh sekarang. Katanya, jangan khawatir. Hujan pun ada berhenti, setelahnya muncul matahari, atau mungkin, pelangi.

Seperti hidup, siklusnya pun berganti-ganti. 
Dan apapun musimnya, aku ingin berdua denganmu, menikmati.


Saturday, October 25, 2014

Pertama Kali

Kehilangan orang yang dicintai untuk selama-lamanya, dan bagi saya, ini adalah pertama kalinya, bukanlah perkara yang mudah.

Tidak sama sekali.

“pengalaman pertama” dan “kehilangan” bukanlah dua hal yang tepat untuk dikombinasikan.

Pengalaman saya pertama kali jatuh dari sepeda, pertama kali dimarahi Ibu, pertama kali pulang malam, pertama kali menyontek, pertama kali ketahuan menjahili adik, pertama kali bertengkar dengan pasangan, pertama kali jatuh cinta, hari pertama ujian nasional, pertama masuk sekolah, pertama kali tertinggal bus jemputan, pertama kali pacaran, pertama kali tersesat, pertama kali belajar naik mobil, pertama kali menjadi kordinator divisi, pertama kali konser di atas panggung, pertama kali patah hati… Semua menghasilkan memori-memori yang tahan lama. Yang susah terhapus. Segala hal yang menjadi pertama, kesatu, perdana, adalah sesuatu hal yang selalu membuat ketakuan, deg-degan. Bagi saya, 'pertama' adalah segala sesuatu yang harus dipersiapkan dengan matang sebelum-sebelumnya. Kemudian kepala saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan,

“apa yang harus dilakukan?”
“kapan saat tepat?”
“harus bagaimana jika salah?”
“jika gagal harus apa?”
“haruskah saya benar-benar melakukan itu?”
"cara membiasakannya bagaimana?"

Pertama kali menyontek atau pertama kali kabur dari sekolah misalnya, entah apa yang kebanyakan orang pikirkan, bagi saya, cukup menakutkan. Akankah ketahuan guru? Akankah ketinggalan pelajaran? Akankah saya terbiasa? Kemudian ketakutan tidak berhasil. Bimbang sehingga spekulasi-spekulasi muncul memenuhi pikiran dan hati. Atau mungkin, “pertama kali” berhubungan erat dengan sesuatu hal yang bukan lingkungan nyaman. Seperti saya mencoba pertama kalinya mengganti flatshoes dengan heels atau wedges. Akankah nyaman? Akankah seleluasa berjalan saat seperti menggunakan flatshoes? Akankah terlihat indah di kaki? Akankah saya terbiasa? Pada saat pindah ke rumah baru, akankah terbiasa? akankah betah?

dalam perjalanan hidup, seorang guru pernah berpesan, 

“semua hal yang menjadi ‘pertama-kali’ memang akan terasa menakutkan. Karena kita menerka bagaimana hasil yang mengikuti setelahnya. Namun ketika berhasil melewati dan menempuh itu semua, kamu akan terbiasa. Bahkan ketagihan. Seperti anak-anak yang merokok, lihat saja. Awalnya ketakutan batuk, tidak nyaman di tenggorokan. Eh, ketika sudah mulus merokok, akhirnya jadi biasa. Bayi juga, ketika pertama kali berdiri, ketika pertama kali berjalan…Semua dirasa berat pada mulanya, lantas latihlah.”

Tiba saatnya bagi saya, pada tahun ini. “pertama kali” yang lain datang. Pertama kali kehilangan yang dicintai untuk selama-lamanya. 

dan untuk saya,
“Pertama kali-kehilangan”, bukanlah hal yang membahagiakan. Ingin rasanya aku berkawan, berguru dan berlatih kepada waktu. Sepertinya, hanya waktu yang mampu memahami dan menghadapi kehilangan.

Lantas kemudian setelah berceloteh ini,
ah,
Aku rindu.
dan akan selalu rindu.

Tidurlah yang nyenyak. 
Aku tahu, kau memang tidak akan kemana-mana. 
Hanya tidak lagi terlihat,
kau di hatiku
tidak kemana-mana.
kau di jiwaku.
lekat.


Friday, October 3, 2014

Mengagumimu dari Jauh II

Menyukaimu sama seperti aku menyukai sore hari yang tenang. Diam di pojokan art gallery. Sendirian. Menurut orang pecinta keramaian, untuk apa senang dalam kesunyian. 

Tapi begitulah, karena kamu yang ‘tenang dan kadang menghilang’  itu, maka aku suka. 

Menyukaimu sama seperti aku menyukai malam lepas senja, dan lampu-lampu pinggir jalan mulai menyala- aku memperlambat jalan. Menyukaimu itu buram. Buraman itu mengantar antara tergoda dan tergetar. Kala penyair bersimpul bahwa tergoda adalah awal aku tertarik padanya, sedang tergetar adalah ketika kau telah terlibat atasku… –entahlah, yang jelas melihatmu tersenyum, akan membuat bibirku juga tersenyum.

Tapi begitulah, melihat pipimu memerah, juga membuat pipiku ikut-ikutan merona.

Bahkan menyukaimu membuatku lebih senang diam membatu, lantas melamun. Bukannya menuliskan semua dalam kertas dan pena. Itu karena aku terlalu menikmati menyukaimu dalam diam. Hingga menjelaskannya pada pena dan kertas pun-aku tak sudi. Padahal kata penyair, banyak yang dapat dieksplorasi dari rasa jatuh-cinta. Karena ketika kau menjadi orang yang sedang kasmaran karenanya, kau bisa jadi pujangga kelas dunia. 
Katanya.

Tapi begitulah, untuk yang satu ini. Aku tidak mau berbagi.

Aku menikmati tiap riak-riak perasaan. Ingin rasanya kudekap jantungku sendiri. Ia melincah ketika kau lewat. Gawat. Ia memberikan kejutan-kejutan bagi tubuhku yang lain. Aku makin menikmati ketika semua orang memanggilku penakut bahkan pengecut.

Tapi begitulah, menyukaimu diam-diam jauh lebih indah. 

Ternyata. 

Dikatakan atau tidak dikatakan, itu tetap cinta...


*terima kasih Tulus - Mengagumi dari Jauh yang diputar berulang-ulang. Hingga laptop ini menjadi panas.

Friday, September 26, 2014

Dari Jauh I

Cukup bagiku hanya memerhatikannya. Ketika Ia tertawa, ketika Ia memicingkan mata, kemudian mengambil pena dan kembali menulis. Serius mendengar atau terkadang menjawab pertanyaan-pertanyaan dosen depan kelas. Kakinya tak bisa diam. Mungkin dia kelebihan energi. Tangannya lincah mencatat. Setengah jam kelas berjalan pasti Ia akan menguap, mungkin mengantuk. Rambutnya lantas diikat. Bandung memang membuat gerah akhir-akhir ini. Padahal lokasi kampus lumayan tinggi. Angin sejuknya hanya bertahan sampai pukul sepuluh pagi. Ini kerjaanku di kelas akhir-akhir ini. Kalau kami berpapasan di lorong luar dan mata kami tidak sengaja  bertemu, Ia akan tersenyum sebentar. Rambut panjangnya begoyang-goyang. Setelahnya, aku bersembunyi di kerumunan. Supaya pipi yang memerah ini tidak kelihatan.

“Aku duluan, ya.”
“….Silakan. Hati-hati.”

Hai perempuan, sampai kapan tenggorokan ini hanya berhenti di kalimat tadi?

**

Untuk orang-orang, kawan-kawan yang cintanya terlalu betah disembunyikan dan terlalu malu dikatakan. Terkadang, perasaan terlalu indah untuk diendapkan...

Thursday, July 10, 2014

Alasan Mengapa Aku Menyukai Petang

Ada beberapa belas menit sebelum matahari tenggelam, sebelum Ia kembali tidur dalam senja,
di mana matahari bermain-main, dengan tenaganya yang akhir.. Kemudian bercerita menumpah celoteh pada awan-awan kuning keemasan, tentang apa saja yang telah dilihatnya seharian penuh. 

Menuju pukul satu siang misalnya, matahari berpapasan dengan burung, dengan pepohonan, dengan serigala, dengan manusia-manusia yang bekerja, yang mencari makan, 
juga seorang wanita. 
Yang sedang tersenyum, 
Kebetulan matahari berlari ke Bandung Utara , (awan-awan masih setia mendengarkan) ;seksama
Kemudian, dalam kisahnya, 
Matahari jahil
Ia mengisi mata-mata, 
wanita diisinya silau saat itu,

Lalu matahari menghela napas karena kelelahan, badannya yang besar membuat napasnya tersendat-sendat, tertunduk Ia di dekat awan-awan oranye; mencari pundak lalu merebah,
sudah saatnya kembali ke rumah; 
kata awan,

Baiklah sudah cukup ku bercerita; 
Ah padahal,

Langit sedang cantik-cantiknya,
Ketika itu,
Ketika Petang.


Tuesday, July 8, 2014

Vanavond

Malam selalu terasa meluncur lebih cepat
Tak jauh darinya; ketika seseorang mendekap
Bingungnya jadi berlipat-lipat.
Punggungnya mendedah tenang, napasnya melilitku

Lalu seperti kurang kerjaan, kembalilah Ia duduk di gazebo rumah;
Kakinya terjuntai, dengan mata mengerjap-ngerjap 
nanar; (mungkin melihatku)
berharap
seseorang pendekap itu bisa berubah menjelma serigala
atau jadi apa saja; 
(karena bukan penting itu perkara) 

lalu ingatannya menjadi panjang, sekali.

2014.

Saturday, July 5, 2014

"Telah lama saya tidak merasakan tertidur saat membaca buku. Rasanya ternyata masih sama. Nyaman sekali. Mengingatkanku bahwa saya dahulu pernah menjadi seorang kutu buku. Membaca novel-novel Danarto, Dewi Lestari, Ayu Utami, Fira Basuki dengan terlalu dini. Mungkin kelas tiga dengan seragam putih biru. 

Ah, aku rindu masa-masa itu."

Friday, June 13, 2014

13 Juni 2014

Dan bagian terberat untuk Merona adalah untuk menyadari bahwa rindunya bukan setengah jadi. Menjalar kemana-mana, bukan dari tangan menuju kamar-kamar. Menggulung sisa-sisa tenaganya untuk menepis helanya supaya sampai tepi. 

Di satu sisi, masih tentang hal yang setengah jadi tadi, Petang... Mungkin Ia sendiri tidak pernah mengerti, mungkin tidak bisa Ia jelajahi. Bukanlah hal yang dilumrahi, apalagi dijangkaui. Petang mawas diri karena Ia ternyata dirindui. Lelaki itu hanya mencoba melindungi gengsinya dari hati, menjauhkan yang Petang kira memanjangkan durasi.

Merona tahu apa-apa yang datang dari otak kiri dan apa-apa yang datang dari hati.

Sunday, June 1, 2014

(Masih) Tentang Petang.

Namanya Petang. Merona tidak tahu kepanjangannya. Yang Merona tahu, Petang selalu ada di saat Ia tidak baik-baik saja. Yang juga Merona tahu, Petang selalu ada lalu hilang. 
Celakanya, Merona jadi gelisah bukan kepalang.

Namanya Petang. Merona tidak tahu kepanjanganya. Yang Merona tahu, Petang selalu bilang bahwa Ia (juga) merindukan Merona. Yang juga Merona tahu, setelahnya, Petang lalu hilang.
Celakanya, Merona jadi gelisah bukan kepalang.

Namanya Petang. Merona tidak tahu kepanjangannya. Yang Merona tahu, Ia berkali-kali bilang pada kawan, atau sekedar jatuh di kertas, bahwa perasaan tidak (bisa) lagi ditahan. Seusai lampu kantor dimatikan. Seusai gedung itu kembali kesepian. Merona selalu senang jika malam jadi lebih pekat. Segala hal tentang Petang tidak juga mau minggat. Merona jadi gelisah bukan kepalang.





Seminyak, malam hari.
..Merona memang punya pesona tersendiri.
Petang kelimpungan setengah mati. Otaknya rusak fungsi.



Wednesday, May 28, 2014

Dermaga

Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa

Tak ingin ia dibilang lemah tak juga ia sedang ingin jatuh, Ya. Jatuh pada cinta. Ini minggu kesekian setelahnya lembur di kantor, Merona tidak langsung pulang. Memilih untuk diam di dermaga yang satu arah jalannya ke rumah. Merona gelisah. Gundahnya Indah.

Dan Merona tidaklah tahu, apakah ia bernyanyi, apakah Ia perlu dekat menepi, Apakah Ia bahagia, apa perlu jadi serenada. Merona gelisah. Gundahnya Indah.

Aku ingin mengangkut hujan dari kaki dewa-dewa,

.
di antara doa dan nyanyi itu
derak dayung-dayung gondola mematahkan
sunyinya.

di satu tepi,
Petang tidak menyukai melankoli.
rindu demi rindunya 
mulai bernotasi.

Thursday, April 3, 2014

3 April 2014

Nostalgia tentangmu bukanlah nostalgia yang biasa-biasa saja.
Kau harus tahu:
(Perlu duakali putaran penuh jarum jam untuk mengurai-urai rindu demi rindu) 

Nostalgia tentangmu itu melelahkan.
Kau harus tahu:
(Tenagaku seolah diserap masa lalu yang kau putar-putar dan terlempar-lempar) 

Kau adalah ombak yang mudah tertebak. 
Dulu kita genap lantas sekarang lenyap
Berdua kita buat langit-langit penuh berkumpul angan,
juga di samping kolam ikan
tapi siapa tahu sekarang 
hanya
kenangan?

Thursday, March 13, 2014

Antara Petang yang Merona dalam Tiga Paragraf

Hari ke lima dalam minggu ini.
Jumat siang Petang mencari Merona. Aduhai Petang, mengapa kau lantas berlari ketika punggung Merona ada sekilas? Mengapa juga ketika Petang mencecap malam, Merona tidak kau sapa? Merona itu wanita, Petang. Katanya, kodrat wanita itu memang hanya bisa menunggu.

tak terasa gelap pun jatuh... di ujung malam..

Hari ke lima dalam minggu ini.
Seusai rapat terakhir di kantornya, entah kali keberapabelas Merona mengintip ponsel, menunggu Petang mengirimnya pesan singkat. Mungkin rindunya telah jadi kolase, tanda-tanda Merona memang jatuh cinta tingkat keras. Petang membuatnya semakin akut. 

tak terasa gelap pun jatuh... di ujung malam...

Sebenarnya Petang tidak benar-benar mencari Merona. Sebenarnya. Bukankah bukan mencari namanya, jika Petang telah sejak dahulu tahu tempat tinggal Merona serta di mana Ia kerja? Bukankah bukan mencari namanya, jika Petang telah sejak dahulu tahu cafe mana yang selalu Merona singgahi seusai kerja pukul sepuluh malam? dan bukankah bukan mencari namanya, jika Petang telah sejak dahulu, memberanikan diri hanya mengetuk pintu apartemen Merona, tetapi kemudian tiga detik setelahnya malah pergi?
Iya. Sejak dahulu, sejak Petang memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

tak terasa gelap pun jatuh... di ujung malam...

...

Setiap Sore, di Ruang Kerjanya

Kedatanganmu dikorupsi waktu, di sore hari Sabtu
padahal masih banyak cerita yang tak tergelontor; tentang manusia seninya berbicara; tentang isu; tentang agama
Kedatanganmu dikorupsi waktu, usiaku melelangnya;
Padahal siapatahu jatahmu masih banyak, melimpahku
Sayangku, ingin kulanjutkan cerita kemarin,
Senang melihat wajahmu tegang-naik turun, tulang pipimu
Ada masa mudaku di kelopak matamu, sayangku.
Juga
Ada rahasia-rahasia semimpiku, di bolanya.

Friday, February 7, 2014

Setelah 7 Januari 2014

Sudah lama aku tidak bersajak tentang kamu
Tentang banyaknya kata yang turun dari bola mata kananmu, misalnya
dan
airmata yang turun, sederas Bandung, dari bola mata kirimu

Sudah lama aku tidak berpuisi berisi tentang kamu
kau bertanya padaku, kemana aku di selipan kepalamu
apakah aku menghilang
apakah aku tergantikan
tidak,
jawabku.
kau sudah bukan sekedar sajak
kau sudah bukan hal yang melulu ditulis di situ-situ

..When you are in love with a person, you often fail to see why you have feelings for him or her. And yet, you know that you have warm feelings for the individual in your heart. Love is a mystery. Try to express to your sweet one "Why I love you" with these wonderful lines.

Tuesday, February 4, 2014

Warta Himahi; Lomba Tulis Nasional 2014




Warta Himahi kembali mengadakan Lomba Tulis Nasional 2014 : Menuju Generasi Anti Korupsi. Lomba ini akan berlangsung pada tanggal 14 Februari 2014-14 April 2014. Serta akan diadakan seminar pada tanggal 10 Mei 2014. 

Info lebih lengkap dapat dilihat di http://ltn2014.blogspot.com/ 
atau follow twitter kami: https://twitter.com/LTN2014_

Sunday, January 12, 2014

Setelah Petang Pergi dan Merona Ternyata Tidak Bisa Biasa.

Merona terbangun, Petang terbangun. Merona menyisakan sedikit pertanyaan yang terkepul di asbak meja kerja. Petang terbangun karena turbulensi. Petang kembali ke Bali pukul lima kini. Gerimis merimbun sedikit. Merona senang karena hujan mau bermain-main sampai tempat tinggalnya ini. Petang tidak tahu, Merona dan rasa rindu redup remang untuk disambut. Merona masih disinggahi mimpi. Mimpinya dan Petang lagi.  Merona berharap gerimis mengerti pada siapa rindu ini ditempati. Petang kembali ingat Merona, antara tidur dan terjaga.

And I... I still miss you.

7.
Petang membuat Merona semakin gila. Seharusnya tidak ada harapan apa-apa setelah Merona bertemu Petang. Hanya satu malam biasa dan laki-laki yang tidak istimewa. Malam tidak terlucuti kemarin. Merona berderai tawa di wajah Petang. Juga pada Petang. Jejaknya tidak ingin cepat-cepat hilang. Seolah waktu terselip pada saku kemeja yang pelan-pelan dibuka. Petang membawa bianglala jatuh ke ranjang. Mereka berdua mendekap gigil. Menyurutkan malam dan menghadiahkannya pada Merona. Di kepala Merona ada airterjun yang menjuntai turun. Petang bebas berloncatan, Merona merebah tesengal.   
Merona berharap gerimis mengerti pada siapa rindu ini ditempati.

And I... I still miss you.


8.
Merona Mariana. 
Merona Mariana. Namanya didapat di sampul belakang buku yang menjadi teman Petang minum kopi. Perempuan itu, fotonya sama persis. Iya, itu kau Merona! Perempuan yang tempatnya kusinggahi kemarin malam. Perempuan yang dengan rambut ikalnya menarik aku untuk menyapa meja di ujung sebuah bar ibukota. Merona yang harusnya gampang dilupa. Oh Merona Mariana. Uurusan pekerjaanku di Bali hampir saja hilang nyaris kutinggalkan gegaramu. Penulis rupanya. Cuaca di luar pesawat dan ingatannya tentang Merona, mengantar Petang kembali tidur pulas. Mimpinya kian meluas. Petang kembali ingat Merona, antara tidur dan terjaga.

And I.. I Still miss you

9.
Suatu sore selampir suara Petang di telepon genggam Merona;
Iya katanya, Iya aku akan segera kembali ke kotamu. Walaupun sesak jalannya. Tapi katanya Ia pun sedikit ada memikirkan aku. Untuk bertemu kamu kembali. Tambahnya. Ya sudahlah, Petang. Minggu depan kita bertemu. Akan kuajak kau berjalan-jalan lima atau enam jam lamanya. Mampir ke tempatku, mampir ke waktuku. Lepas kerja. Merona mengakhiri percakapan.
Rerintik kembali mengguyur senja. 
Ia berharap gerimis mengerti pada siapa rindu ini ditempati.

Merona gembira, merona tidak bisa biasa saja.

And I.. I still miss you.

***

Monday, January 6, 2014

Setelah Matahari Datang dan Petang Pergi.

1.
Bisakah kau menjemputku? Aku masih di meja yang sama. Dingin. Helai mantel beraroma tubuhmu ternyata tidak cukup menghangatkan. Seingatku, tidak kubiarkan kamu pergi pagi itu. Kau boleh tinggal lebih lama, aku pergi keluar sebentar. Kusambut pagimu dengan sahutku dari bawah. 

And I.. I still miss you.

2.
Kukira akan sama seperti biasa, setelah matahari datang, berarti giliranku yang pergi. Sama seperti caraku menghabiskan setiap akhir pekan. Wanita di sampingku sekarang manisnya cukup mencuri perhatian. Ia tertidur. Nyenyak sekali. Dan parahnya, itu membuat Ia semakin cantik. Merona. Kurengkuh Ia. Tanpa menoleh untuk beranjak dari kasur dan melepas lenganku yang melingkar di lehernya, selamat tinggalku kutanggalkan di bibir. Untuk terakhir. 

And I.. I still miss you.

3.
Bisakah kau menjemputku? Aku masih di meja yang sama. Dingin. Dua gelas whiskey ternyata tidak cukup menghangatkan. Seingatku, tidak kubiarkan kamu tahu nama dan nomor teleponku pagi itu. Shall we? Dan tubuhmu cukup bisa menyandarkan lenganku landai. Kita tersenyum. Ada sesuatu yang entah apa, ada sesuatu yang entah bagaimana. 

And I.. I still miss you.

4. 
Kukira akan sama seperti biasa, setelah matahari datang, berarti giliranku yang pergi. Siluet tubuhmu dari belakang membuat aktif kesekujuran aku. Tiga gelas di depan kini kosong semua. Kakiku entah mengapa menjadi tidak sabaran untuk mengenal kamu. Kanan kiriku tergopoh-gopoh dan kedua tanganku menjaga agar berat ini tidak mejadikan terhuyung. 

And I..  I still miss you.

5.
Bisakah kau menjemputku? Aku masih di meja yang sama. Dingin. Merapalkan namamu berulangkali ternyata tidak cukup menghangatkan. Petang, seingatku. tidak kubiarkan kamu mengetahui juga namaku. Aku mencurangimu Petang. Kupikir kau sama seperti lelaki-lelaki yang tersebar di bar. Namaku Petang. Namamu? Bibirku menjawab senyum. Tanganku merengkuh kedua pundak Petang. Oh Petang, kuharap malam jadi duakali lebih  panjang.

And I.. I Still miss you.

***