Saturday, December 17, 2011

confession

Kadang ya.. kadang, di saat dalam kehidupan ada beberapa kejadian yang tidak bisa dianggap biasa saja, bukan rutinitas. Tapi ya.. anggap sebagai ledakan-ledakan kecil di perjalanan waktu, beberapa kejadian yang tidak bisa dilupakan, atau mengandung kenangan yang cukup lama.

Seperti sekarang ini, peristiwa inilah yang membuat saya (kembali) dekat dengan Tuhan saya. Sejujurnya saya juga malu. Kenapa saya selalu mengadu padaNya, disaat saya memang membutuhkanNya. Oke, ralat. Tiap hari pun saya memang selalu berada di dalam kuasaNya, dalam perlindunganNya. Kasarnya, saya tidak bisa bernapas tanpa izinNya bukan? Tapi, ini berbeda, kembali ke topik.. Saat ini saya (lagi-lagi) sedang-terlalu-sangat mengingatNya.

Dan saya juga sering bertanya-tanya, mengapa saya selalu kembali kepadaNya pada saat saya tersungkur? Pada saat peristiwa ini semuanya bergantung kepadaNya? Kenapa saya se “sabutuhna” itu? Dan Dia tidak pernah, tidak pernah, marah. Mungkin Tuhan punya cara-cara ajaib supaya saya kembali rindu didekapNya. kembali bercerita, dan kembali peka dan mendengarNya yang berseru, “Hey! Tuhan selalu di sini. Saya mendengarkan. Dan Saya mengetahui.”

Tuhan, akhir-akhir ini kita intens sekali. Saya maksudnya, saya sering… sering sekali meminta. Dan Tuhan, saya kemarin bertanya, kepada ibu saya. Bertanya bahwa, apakah Engkau kecewa atau marah, di saat saya, seringnya datang kepadaMu pada saat ada inginnya saja. Dan Tuhan, ibuku menjawab, “Allah itu Maha Kaya, dia itu Maha Memiliki segalanya. Dia itu senang diminta. Ingat? Memintalah. Tuhan itu semakin senang apabila semakin hambanya meminta. Karena sesungguhnya Dialah yang pantas congkak. Karena dengan kita meminta, kita semakin sadar bahwa kita tidak memiliki apa-apa.

Benarkah begitu tuhan?
Kalau iya, saya semakin malu.
Tuhan, saya minta, setelah peristiwa ini, saya ingin selalu. Jadi yang selalu, mengingatMu.

Tuhan, terima kasih.
Untuk semua yang berterima.
Dan maaf.
Untuk semua, kesalahan.

Sunday, December 11, 2011

semesta

"Aku suka."
"Suka apa?"
"Kamu."
"Karena?"
"Semuanya."

Seperti nebula bertumpahan menggenapi galaksi
Seperti di sini, berserakan mengisi hati..

Thursday, December 8, 2011

911

Ini sajak terbuat dari luka yang tersayat
Dikerat kerat kulit jiwanya
Dikelupasi nuraninya
Ini sajak dari kerontang raga yang dibalut tulang
Airmata semalam membuat telaga
Renungan yang hasilnya belaka

Napasnya terengah, lari dari dini hari yang cukup dingin
Duduk di bawah pohon beringin
Berharap sakitnya diculik angin

Menatap cawan kosong yang semestinya terpenuh racun
Dan berharap sudah mati ketika pagi dibasahi embun

Tidak, Ia bukan melarikan diri

Tidak ada lagi yang dilakukannya kecuali mengejar maut itu sendiri
Menarik pelatuk senapan, mencabut belati
Kelamnya ingin ditikam sendiri
Bermunajat agar menjadi mata air yang mengisi sumbernya sendiri

Justru fase mentari membuatnya terbakar hingga merona merah nadinya
Hingga hidupnya  disemat pada kupu-kupu yang hinggap

Monday, December 5, 2011

Dalam Mobil

Oranye hari ini dirasa kecewa
Tidaklah hujan barang siang
Tidak tercampur baumu yang sengat di ingatanku
Mataku merefleksikan mega
Dari oranye kemudian mengabu
Menjadi cerita kita
Sepertinya

Menunggu bambu-bambu jatuh dan bernyanyikan tangga nada
Bahagia saatnya mereka tertidur
Kala petang jadi matahari merah bayi

Semua dari dalam kaca mobil
Jelas

Thursday, December 1, 2011

Rambutmu berkibaran di arus angin penghujan,
beberapa percik air tempias di pipimu. Demi Tuhan,
bukan karena itu aku mencintaimu, bukan
karena bajumu yang kusut-tak kaurapikan

Versailles

Menghitung daun yang gugur
Menghitung hujan yang jatuh
Menunggu datang sebagai pelipur
Menunggu kembali rapuh

Ketika bercermin sayap kaca
Mantel tutupi dinginnya malam 'versaye'
Ketika ditimbuni rerumputan
Diam dalam labirin 'versaye'

Melipatgandakan rindu
Mengalilipatkan waktu

Tuesday, October 18, 2011

AZN

Aku tak jadi menulis sajak untukmu
Malah asyik mencumbu bangkai kupu-kupu
Keindahannya mengingatkanku pada kefanaan
Yang senantiasa menyalakan rindu
Dan kerapuhannya menjadi bagian dari waktu

Mungkin kerlip bintang masih bertanya tentang cinta
Tentang persetubuhan lampu dan cahaya
Dengan ujung jemari kusentuh tepi cakrawala
Suaraku patah oleh cuaca yang kehilangan bahasa
Dan airmataku terserap udara yang bertuba

Dahan-dahan mengelam saat memahami kehilangan
Ngungun menahan kepergian daun demi daun
Kesedihan menjadi ungkapan musim yang berganti
Ingin kubakar diriku agar sabar seperti debu
Dan bangkai kupu-kupu biarlah lebur bersamaku

Langkahku yang berat
Menyeret bangkai jam. Di hutan
Pohon-pohon menghalau cahaya pagi
Sedang di sungai mengalir sepi
Dan aku membuat perahu dari kenangan
Untuk melayari matamu. Aku ingin tidur
Melupakan dunia dan bermimpi

Matamu menjadi sesejuk embun pagi
Ketika kutenggelamkan seluruh mimpiku
Di sungai waktu. Di matamu ada cahaya kecil
Terpercik dari perasaan-perasaan kecil
Dari susunan huruf-huruf kecil
Tapi langkahku kian berat dan dalam
Menembus hutan. Membongkar ingatan

Sunyi ternyata ruang yang diciptakan peristiwa


Rindu hanyalah permainan terang dan gelapnya dunia

Sunday, October 16, 2011

In Your Eyes

I think I finally know you
I can see beyond your smile
I think that I can show you
That what we have is still worthwhile
Don't you know that love's just like the thread
That keeps unravelling but then
It ties us back together in the end

In your eyes, I can see my dream's reflections
In your eyes, found the answers to my questions
In your eyes, I can see the reasons why our love's alive
In your eyes, we're drifting safely back to shore
And I think I've finally learned to love you more

You warned me that life changes
That no one really knows
Whether time would make us strangers
Or whether time would make us grow
Even though the winds of time will change
In a world where nothing stays the same
Through it all our love will still remain

In your eyes, I can see the reasons why our love's alive
In your eyes, we're drifting safely back to shore
And I think I've finally learned to love you more

My Man

Oh, my man, I love him so, he'll never know
All my life is just despair, but I don't care
When he takes me in his arms
The world is bright, all right...
The world is bright, all right...
What's the difference if I say I'll go away
When I know I'll come back on my knee someday
For whatever my man is, I am his forever more...

Friday, October 14, 2011

Take and Give

Kata orang, tidak ada yang sempurna di dunia
Kata orang, cinta tidak selamanya tentang bahagia
Kata orang, hujan dapat membuat luka lama kembali terbuka
Dan lagi, kata orang, itulah yang membuat rusak segalanya
Terkadang belajar menerima apa-adanya adalah hal tersulit setelah matematika,
karena mencari titik persamaan dalam subjek itu juga, dalam angka, prosesnya lama
Dan, kita, sebagai manusia, diciptakan menjadi makhluk yang perfeksionis, makluk yang tidak ingin menjadi cacat walau sekecil remehan brownies

Dalam cinta, kata orang, memberi dan menerima adalah unsur timbal-balik yang menjadi objek wajib
Seperti yang sering kita dengar, dialog yang selalu menjadi utama,
"Aku mencintai kamu apa adanya."

Sama seperti premis orang-orang tadi,
Aku pun sedang belajar memahami dunia yang hanya dihuni kita berdua ini
Karena letaknya bukan di tangan, bukan di paham, tetapi di hati.
Karena cara mataku melihatmu, itu dengan rasa, bukan dengan panca indera biasa.

Thursday, October 6, 2011

Kau

Kau seperti selendang, yang hanya diselempangkan, namun selaras. Manis.
Kau seperti pita, hanya disematkan, namun indah. Cantik.
Kau seperti angin, hanya bertiup, namun terasa. Sejuk.

Kau hanya,
sederhana.
Kau makna,
dari kata.

Di Satu Cerita

Kadang aku ingin kembali berjalan bersamamu, menyusuri pantai, bermandikan matahari pagi yang membuat rambut panjang kita berkilauan. Dan biarkan tawa membahana menggulung dengan ombak, dan ikut menjadi buih dibawa lautan. Ketika malam, aku ingin duduk termenung dan ikut menciptakan ilusi bersamamu. Menciptakan hening yang syahdu, sedikit petikan gitar tak apalah, dan aku turut membantu ketika kau membuat api unggun di kedinginan malam itu.

Saatnya sekarang melepas gravitasi. Selamat jalan, kawan.


00.22

Di antara
Waktu
Ku temukan segores lelah dan sisa tenaga
Keduanya merintih
Menjadi paradoks

Tuesday, September 27, 2011

Ingin

Wahai yang menyesatkan pikiran dalam settingan waktu,
yang membuat semesta jadi debu,
Aku, rindu.

Sunday, September 25, 2011

Kata, Berkata

Mungkin kau sekarang menerka
Dengan siapa kau bermain rasa
Mungkin sekarang kau mulai mengerti
Dengan siapa kau bermain hati
Mungkin kau mulai merasa takut
Dengan hatimu, yang ternyata terpaut
Mungkin kau pelan-pelan tahu
Dengan siapa kau beradu cumbu
Aku senang bermain dengan rima
Kau senang bermain cinta
Aku senang bermain dengan perasa
Kau senang menjadi pelupa

Nada Dasar ke Tiga


Ada satu nada yang berbunyi di atas piano yang lama tak kusentuh
Samar-samar melodiku menyanyikan dasar yang sama
Entah bagaimana rasanya jadi usang
Entah bagaimana rasanya menghilang
Ku sentuh tuts yang sama
Dengan partitur yang sangat sederhana
Dan senyummu menjadi intro yang sempurna.

Saturday, September 24, 2011

Trilogi

Menjadi inversi dari setiap kalimat yang dikuliti
Keanehan lazim didapati, tiap hari
Ketika sosokmu tak kutemui pukul enam
Ketika kekosongan jadi fase mengabstrak
Sosokmu menjadi kebutuhan mula kali
Meredup melesap menjadi degup jantung yang terbelah; kupanah jadi dua
Sapaan khas yang jadi kiasan signifikan tidak lagi menjadi sarapan pagi
Kemana kamu? Telaahku. Dimana dirimu?
Mulanya biasa, seminggu hilang jadilah aku anoreksia
Seperti memulung detikan waktu dari sebuah jam yang mati

Kamu:
Meskipun berkali kali dia menerbangkan aku dengan kata-kata yang penuh candu. Tapi saat saat ini, sungguh membuatku ingin melompati waktu.
Tetapi janganlah kita lupa untuk lupa.


Setelahnya masing-masing kita harus berbenah
lantas bergegas pergi dari mimpi kita
Selamat sore, perpisahanku.
Aku bisa saja memberikanmu segalanya saat ini , kecuali satu..
Genggaman tangan di tengah keramaian nanti di luar pintu cokelat ini


“Pukul tiga lain hari, aku tidak  berjanji untuk dapat kita terus bersama.”
Dan aku terus mengecup bibir yang sama dengan yang kekasihmu rasa.


Ketika waktu terbaik itu bisa ku habiskan denganmu, sebaiknya aku tidak bertanya
Karena ku anggap akan lebih baik jika tidak tahu jawabannya
Membiarkanku terus menggedor dan meneriakkan satu nama
Jika saja mengembalikan waktu..
semudah memutar balik arah jarum jam ke sisa yang kita punya

(Rahne)

"Celakanya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu.."

Tuesday, September 6, 2011

Tetap

Ketika cinta datang perlahan,
Seperti rumput yang jatuh di taman dekat jendela pagi hari
Dan pada saat itu menyadari
Bahwa daun jatuh tak pernah dengan keinginan sendiri
Seperti cinta, tuhan memberi
Pada kita.
Tidak pernah tahu.

Inikah yang tuhan beri? Ketika aku meminta mengicip sebuah rasa
Rasa yang jatuh dari lapis atmosfer ke lima
Yang bahagianya terhempas, dan tegak menjadi senyum yang lama
Yang bisa membuatku merangkai galaksi mini
Menjadi kuas dalam lembayung mega kali ini

Friday, September 2, 2011

selamat malam

"Ketika subuh pecah, aku terbangun sejenak, melihatmu di sampingkut tertidur pulas. Kusentuh pipimu, ku telusuri tiap halus wajahmu. Melihat seluruh letihmu malam ini, dan mencoba menepisnya.
Ku kecup pipimu, kamu tidak terusik. Sepertinya tidurmu nyenyak sekali.
Ku genggam tanganmu, kamu tidak tergerak. Kelelahan sudah jelas menggerayangi badanmu.
Aku bersyukur tuhan memberiku satu bidadari cantik untuk ikut bersama-sama menopang dunia bersamaku hingga akhir kelak.
Aku mencintaimu."

Thursday, August 25, 2011

Covering II


"Aku, masih disini... untuk setia..."

Covering


Mencoba centil sedikit, menghilangkan "menggelegar" nya suara saya. Haha, just try something different. Yang "ngga ica banget." Gimana gimana?

Trip

 Eiffel, Paris, 2011.
Les Invalides (kalau nggak salah), Paris, 2011.


 Tour de Eiffel, (3rd floor) Paris, 2011


 Seine River, Paris 2011.







Alun-Alun Kota, Belgium, 2011


 Surga Coklaaat (lupa namanya), Belgium 2011




 Netherlands, Perkampungan Nelayan, Voleendam 2011



Pabrik Keju, Netherlands 2011



Gereja.... (lupa namanya), Germany 2011

 Rheine River, Germany 2011


 Rheine River, Germany 2011


 Versailles, France, 2011

 Louvre Museum, France 2011

Paris, 2011.


Thanks for the trip dad, I love you.





Tuesday, August 23, 2011

Kontradiksi

Menyimak tiap episode
Mengikuti tiap langkah
Menapaki tiap jalur
Meniti tangga
Perlahan

Mulai mengerti kemana seharusnya airmata mengarus
Mulai mendekatkan waktu
Menjadi apa yang kau inginkan saat itu
Semua mengabu


Rasanya menjadi angkuh dalam kurungan waktu
Rasanya menjadi egois dalam lumeran emas
Rasanya menjadi jahat dalam muara bunga
Rasanya menjadi sunyi di tengah megah orkestra
Rasanya menjadi melankoli dalam lingkaran euforia
Menjadi satu-satunya salju dalam sahara


Patutku berterimakasih.

Saturday, August 20, 2011

Buzz!

Tuhan menegurmu
Dalam tidur
Menyentuh bahumu dan bertanya
"Sudahkah kamu bangun?"
Dengan mata masih terpejam kau menjawab
"Belum."
Lalu tuhan memerhatikanmu sepersekian detik
Dan menyuruhmu
"Ikut aku."
Dengan badan masih berselimut kau bertanya
"Kemana?"


"Masukki gema adzan. Sapu seluruh mega dengan dzikir namaKu."

Wednesday, August 17, 2011

Mencintaimu

Aku mencintaimu
melebihi kematian mendekap kelahiran
Aku mencintaimu
melebihi kesetiaan riak air sungai terhadap muara
Aku mencintaimu
melebihi garam mengasinkan lautan
Aku mencintaimu
melebihi pikiran melampaui masa depan
Aku mencintaimu
melebihi kata membentuk kalimat
kalimat membentuk kata
Aku mencintaimu
melebihi bayang di bawah terik mentari
Aku mencintaimu
melebihi detik memutari waktu

Sebenarnya aku, mencintaimu
melebihi kata-kata sabtu itu
tiga tahun lalu.

Agustus 2011

Dari Minnesota


 Dari Minnesota

Dari minessota aku menulis surat
tentang kefanaan
yang mengkarantina
tentang kelahiran
tentang keabadian
dari matahari yang membubur-emas
dari gelembung mimpi
kebebasan yang absolut
ketenangan yang terselip dari banyak helai rambut laki-laki

memang jiwa meronta untuk keluar dari peristirahatan barang sejenak mungkin saja Ia tidak
-kerasan. Tidak betah menyajikan sarapan pagi dengan butir kepastian

dan aku dari minnesota menunggu itu
menunggu kemarin yang terbungkus salju
menunggu kamu, cinta, dan kaidah-kaidahnya
dan aku dari minnesota, tahun lalu
masih mendamba satu cerita yang sama
menunggu petir
getir


Agustus 2011

Monday, August 15, 2011

Penghujung

"Selamat jalan."
"Iya"
"Hati-hati"
"Iya"
"Titip satu"
"Iya"
"Setia"
...

Sebulan lalu, di balkon lantai dua rumahku. Kamu berpamitan untuk yang pertama kali, sekaligus mengucapkan selamat datang pada masa depanmu.

Malam itu, tidak beranjak kamu dari samping aku, dini hari menyelimut, tidur kita beralas kabut, aku dan kamu melahap bintang yang menyemut. Milyaran. Seperti takutku.
- Banyak.
Sekali.

"Aku pergi ya, besok pagi. Mau ikut antar?"
"Iya."
"Nanti kamu menyusul. Makanya, cepat lulus. Ikut aku kesana."
"Iya"
"Terus aku lamar kamu."
"Iya"
"Emang mau? Daritadi Iya-iya melulu. Kenapa? Senang ya aku pergi?"
"Mau."
"Senang aku pergi?"
"Tidak."
"Kenapa? Kamu mematung begitu. Sengaja malam aku kontrak jadi ekstra panjang. Cuma buat kita."
"Terimakasih."
"Ah kamu. Selalu saja."

Kamu melingkarkan tangan, memeluk pinggangku. Betapa yang aku inginkan hanya itu. Bukan percakapan panjang, bukan angan-angan kacangan. Aku hanya perlu membungkus malam ini dengan diam, dan memastikan kamu selalu mendekap. Selalu dengan aku. Ingin aku kalilipatkan waktu, bukan duapuluhempat jam. Bukan hari biasanya. Hari yang mampu melumatkan semuanya. Yang bisa membuat mulutku tidak terkunci seperti kali ini. Benci rasanya jika tenggorokan sudah tercekat seperti ini, ingin menangis, ingin berucap juga. Ingin memeluk, ingin mengutarakan juga.
Mulutku terkunci dengan rasa memiliki.
Jangan pergi.

Lalu kamu tersenyum. Ah! Senyum itu.
Senyum yang sudah pasti hanya aku yang berhak mendapati. Senyum yang jadinya matamu menyipit seperti kelinci.
Ku telusuri tiap jengkal wajahmu.
Roman mukamu.
Seri di pipimu.
Kumis tipismu.
Hidung mancungmu.
(Semua milikku)

Matamu menjumpai mataku.
Terasa panaslah kanan kiri milikku. -
Aku mulai menangis, aku lupa,
kamu adalah seorang pemerhati.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat airmataku berangsur naik, menjadikan wajahku sungai yang bermuara.

Aku mengenggam tanganmu.
Erat.
Sekali.

Kamu memelukku, tanganmu mengusap rambutku dan membiarkan aku di dalam lenganmu. Membiarkan aku mendengar jelas degup jantungmu, aku ingin degup itupun milikku.
Selalu.

"Aku mengerti."
Bisikmu.

Tangisku pecah seketika. Tanganku semakin erat memeluk punggung lelaki di depanku ini.
Jangan pergi.

Sungguh aku takut, bila kuterjemahkan tangisku. Aku takut, aku tidak ingin kamu pergi, apalagi jauh dari aku. Aku tidak ingin ragamu hilang dari hari-hari, tidak ingin senyummu menjadi abstain tiap pagi, dan tidak kutemukan matamu yang penuh binar dan muatan emosi.
Aku takut.
Takut.

Aku tidak ingin kehilangan, walau makna bukan sebenarnya. Hatiku tetap memiliki kamu, hatimu pun juga. Aku menunggumu disini. Kamu disana juga ingat aku. Aku percayakan kamu sebagai masa depanku, kamu juga dengan tegas berkata ingin menjadi Imamku. Matamu dan mataku berucap satu. Dengan tujuan yang sama,
tentu.
Aku tidak ingin bermain dengan kerinduan, tidak ingin diam dan hanya bercanda dengan airmata, nanti, jika aku terpaksa memendam keinginan untuk sekedar melihat kamu, mengacak-acak rambutmu, pergi ke kedai pancake di akhir pekan denganmu, atau lari pagi tiap sabtu.
Aku tidak ingin.
Tidak mau.

Masih dalam pelukan,
Kamu memelukku lama sekali, sunyi menjadi tepi, dan napasmu berkejaran, aku mendengar itu. Aku ingin menculik napasku, dan memaksa dia juga disini bersama aku.
Kau kecup keningku.
Tidak bisa berkata banyak. Aku tersenyum dalam roman telaga.

"Aku sayang kamu. Aku, cinta."

Ku balas pelukanmu. Lama sekali.
Aku,
kamu,
satu.

Matamu menenggelamkanku, ke dalam derasnya sungai yang tercipta dari makna-makna. Bibirmu membuat aku tidak bisa mendengar. Yang secara tiba-tiba terpagut, bibirmu dalam mulutku.

Aku lebih dari tiga kalimat tadi, aku lebih dari itu, lebih dari ribuan senja yang kulewati, lebih dari jutaan melankoli yang pernah diakui.

"Aku.. Masih di sini.. Untuk setia.."

Saturday, August 13, 2011

Pecahan

Pada butir doa yang terakhir
Yang memupus kesempurnaan
Pada airmata yang terakhir
Yang mencela kebahagiaan

Pada siksa yang jatuh di dua bola mata
Pada bibir yang tak henti bergetar berkata
Yang kusebut kepasrahan di nadi dalam nyawa
Yang biasa ku sapa sebagai kecewa

Di sudut jendela tertimbun salju
Menggumam
Gigi gemeretak beradu
Dan basah mata karena air duka

Bukanlah kaca, - Aku
Tidaklah rapuh
Bukanlah masa lalu - Aku
Tidaklah lusuh

Di sudut rumah di perapian malam itu
Wajahmu dalam gelas sampanye
Mengikuti debu hangat malam itu
Memeluk dingin embun kaca

Pada tahun itu hari terakhir
Kau sisipkan keningku satu kecupan
Pada tahun itu hari terakhir
Kau ucapkan selamat tinggal tanpa ucapan

Sunday, August 7, 2011

Magenta

Aku menjerit dalam lelap
Aku mengadah dalam gelap
Meminta raga tertusuk duri
Meronta jiwa ingin bahagia

Saturday, August 6, 2011

Renungan

Mungkin ada saatnya
Kemasan cacat dari satu perihal ditemukan
Mungkin ada waktunya
Tidak semua makanan terasa manisnya
Mungkin mulai ditempa
Rasa sabar yang katanya tak ada batasnya

Wajahku wajah telaga
Di putar ban mobil yang lewat depan rumah
Airmataku airmata lelah
Menunggu kamu
Yang tidak kunjung ada

Friday, August 5, 2011


And when the night wind starts to sing a lonesome lullaby. It helps to think we're sleeping underneath the same big sky.
 And even though I know how far apart we are. It helps to think we might be wishing on the same bright star 

Es O Yu El

Ketika semua orang berkata, "Waktu mampu menghapus semua, waktu mampu merubah kristal airmata menjadi pualam, menghapus memoria, merawat luka menjadi tawa."

Untuk yang satu ini, bahkan waktu pun, tidak mampu.

Untitled I



Kalau saja aku masih punya kesempatan yang sama, atau semua yang pernah terjadi bisa terulang lagi..

“Masih sayang bukan berarti menerimamu kembali disini. Bukan berarti aku harus bersamamu lagi.”

“Terserah.”

Aku hanya mengangguk tersenyum, diam-diam mencuri penglihatanku menuju matanya, dalam.

“Aku ngga mau kamu pergi.” Mata itu menatap penuh arti yang tersirat, dan aku tak bisa menangkap maksudnya. Terlalu rumit untuk aku jelaskan, mungkin.

“Begitupun aku.

Keduanya tertawa.

Aku kembali melayangkan pikiranku masuk ke dalam masa-masa itu, membuatku seolah-olah ingin menangis*. Betapa kadang yang kulepaskan tidak benar-benar kurelakan.

Aku ingin tertawa lagi dengannya, menikmati tiap sudut senyumnya, melihat matanya dengan tenang, seperti dulu, saat bersama.

Kalau begini, kotak tissu lagi-lah yang menjadi kawan di tiap malam. Dan paginya, pasti tersisa muka kusut dengan kantung mata hitam lebar. Ah … semua gara-gara kamu.

Ingatkah? Waktu kita berucap bahwa akan selalu bersama, selalu setia, selalu bahagia? Aku pikir itu benar adanya, bukan hanya kata-kata yang muluk. Aku bersungguh-sungguh saat mengucapkan itu di depanmu. Apalagi diwaktu kelingking, telunjuk dan jempol kita membuat suatu ikatan. Janji. Kamu tahu ? Aku masih mencintaimu, biarpun semua elemen dari dunia ini meninggalkanmu. Aku masih memilikimu, walau terkadang aku menyesali kehilanganmu. Jangan tanya kenapa, karena aku tidak tahu.

Sekarang, aku harus membencimu. Membencimu dengan sepenuh hati. Susah, susah rasanya menjungkirbalikan fakta yang ada, susah. Sumpah.

Itulah alasan mengapa aku menghindarimu, alasan mengapa aku harus menolakmu dan menjauhi kamu. Bukan mauku. Bukan. Keadaanku-lah yang memaksaku menjadi “aku” yang berbeda. Aku hanya menatap jauh lurus ke depan. Hanya malam dengan sedikit awan dan bintang yang malu-malu muncul. Aku hanya ingin sedikit kembali mengenangmu.
Aku akhirnya sadar, bahwa aku memang ditakdirkan untuk mengingatnya saja, tanpa harus mengalaminya lagi. Sedih memang, tapi tanpa harus menangisi.

Kalau saja bisa, aku ingin hilang ingatan. Menjatuhkan diri ke dalam sumur yang tak berujung. Karena sakit yang kurasakan sekarang memang benar-benar tak berujung. Delapan bulan tak cukup rasanya. Aku tak pernah sedikitpun terlupa, atau bahkan berniat untuk tidak mengacuhkanmu. Tapi ini keadaannya lain. Delapan bulan tak cukup membuatku berhasil membiasakan semua rutinitas berkamuflase-ku. Aku belum terbiasa untuk hidup dalam kebohongan, dalam kepura-puraan. Aku selalu dibuat bingung sendiri oleh semua yang telah aku lakukan. Konyol. Tapi inilah rasanya jika kamu terperangkap dalam dua dimensi yang berbeda dunia. Aku sudah bilang, aku tak ingin melupakanmu. Tapi kondisinya malah semakin membuatku sakit hati sendiri. Aku terlalu lelah untuk menangis, terlebih untuk menangisimu. Aku bukan seorang yang cengeng, aku bukan seorang yang sentimentil. Dan aku, tak bisa memaksakan waktu dan seluruh komponen di dalamnya untuk mengikutiku. Ini semua hanya tentang hatiku-dan-aku. Bagaimana dengan suksesnya hatiku tak bisa ku atur untuk tidak selalu mengingatmu. Tidak selalu memaksaku untuk merasakan kembali pahitnya sendiri. Aku tak tahu kapan aku bisa membuang jauh semua tentang kamu. Dan tentang bahagiaku dulu bersamamu.

Sulit untuk mengatakan apa yang aku rasa sekarang, sakitkah? Sedihkah? Pilu? Aku pun tidak tahu. Aku hanya tahu satu hal, aku tak akan pernah ingin melupakanmu.

Betapa kadang yang aku lepaskan tak akan benar-benar aku relakan…

… sampai kini masih kutunggu adanya keajaiban. Masih tertunda dan belum semua ku katakana biar kutunggu sampai kau kembali lagi disini..

Hanya satu kali.

"Hati memiliki logika sendiri yang tidak mampu dipahami oleh akal pikiran"


A & A

dia datang bersama angin, dan serta-merta membawa mendung yang dikandung awan. dia datang bersama tangis, dan tak luput mengajak perih.

"itu terasa sekali, rasa ini terus di-sabotase."
"saya belum pernah dalam kondisi seperti ini sebelumnya."
"kamu lagi apa? bicara pada angin? - iya, rasanya sejuk."
"bawakan tissue, dan pergilah."
"aku dan kalian menangis, meregang di antara ruang"

dia mencetuskan sebuah aroma dan rasa yang berbeda, sebuah citarasa tingkat tinggi. tidak usah dimakan semua, cukup mencicipi, dan rasanya akan menjalar ke seluruh tubuh. rasa yang menggila, yang menjadi candu, melebihi kafein -sang bonus karena rajinnya tidur larut malam. "terus sakiti aku. parut jantung dan hatiku. berikan aku tekanan lebih berat lagi. peras seluruh tenagaku untuk mencintai kamu. sang egois." lalu tidur larut malamku setuju untuk itu. setuju untuk sakitku.

"aku masuk dalam kondisi yang tak pernah aku datangi dan alami sebelumnya. bahkan mengecap sedikitpun tidak pernah."

dan aku bertanya: apakah yang sanggup mengubah luka menjadi pualam,
yang membekukan air mata menjadi kristal garam?
sahabatku berkata: waktu.
hanya waktu yang mampu.

jadi, selama ini? sia-sia?

sekarang tentang malam, malam yang ikhlas dikupas, ditelanjangi, dicerca, atau disuruh-suruh. malam yang tidak pernah kehabisan waktu untuk bercerita, meninabobokan, dan mengajak berkenalan dengan semesta di luar sana. yang memberitahuku akan tingginya gunung, yang mengokohkan pandanganku, yang memberitahuku akan panasnya api, yang rajin membacakan alam, dan yang mengajariku hidup. malam yang mengerti aku. dan malam yang satu ini malam yang hebat, malam yang memiliki dua nama. nama satunya lagi, nama yang dengan jelas menggambarkan dirinya. malam yang sering berloncatan, malam yang penuh kerlipan bintang, malam yang sejuk, malam yang menemani. malam yang tidak pernah kenal pamrih.

mimpi


sewujud bangunan hadir di setiap kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. satu demi satu batu mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat. lalu bangunan itu dilengkapi dan digenapi, sampai lahirlah utuh ke dunia materi.
mimpi tak berlengan, tetapi akan selalu ada jika engkau menginginkan. ketika badai datang atau api menelan bangunanmu, batu-batu itu tak akan hancur atau jadi abu. mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru.
dalam jutaan bangunan yang ada, pastikan milikmu ada di sana.

Semu

Tiap hujan yang aku lihat, tiap air yang aku sentuh. rasanya aku menyentuhmu, tubuhmu rasanya menyatu dan melebur bersama bulir-bulir transparan yang bening. dingin. namun sejuk.

Biarkan berlalu saja, sayang. biarkan semua melebur dan hilang meresap. seperti hujan yang jatuh dan akhirnya menghilang menjadi genangan..

Hingga akhirnya aku bisa menggeliat keluar dari semua kerusakan pikiran yang ku alami dan kekecewaan yang terbelit dalam kerumitan. aku berbicara tanpa tujuan, aku berkata-kata tanpa memiliki makna, aku tertawa tanpa kejenakaan dan aku menangis tanpa rasa. biarkan aku kembali bisa memberi sedikit noktah pada perjalanan waktuku saat ini. aku bukannya mengacuhkanmu,

tetapi hanya menguburmu sejenak untuk menikmati setiap jengkal kehidupanku yang telah lama hilang.

aku ingin kamu kembali,

sungguh. 

tapi nanti.

semua ini punya artian yang sama. seperti aku mengartikan tiap-tiap sudut matamu. memberinya makna dan mengerti yang kamu katakan. walau mulutmu enggan berucap.

biarkan semua tergulung, terhempas, dan lambat laun 

tak tertangkap lagi oleh mata.

p;s reblog from my old blog,  september 2009

Tempayan Angkasa



Hujan mengantar semua pikiran yang asalnya rancu, semakin menebal. membentuk struktur dan guratan-guratan yang semakin jelas.

“Lihat disitu! Di balik awan tebal, seperti sekarang. Aku melihat bintang yang tersenyum tertawa. Kamu tahu mengapa?”

Sejenak aku merapatkan jaket dan genggaman jemariku,

“Entahlah.”

“Karena bintang tidak pernah kesepian. Tidak pernah takut akan kehilangan arah, karena bulan dan teman-teman langitnya, tidak akan absen untuk melindungi.”

Ya, atau mungkin bintang selalu jenaka. Tersenyum pada setiap keadaan. Bahkan saat ia mesti menghadapi malam dengan petir, atau guruh sekalipun. Ia ingin terlihat visible.”

Bisa jadi begitu.” Kamu menambahkan,
“Kekuatan yang terselip dibalik cahayanya yang lembut.”

Aku terkekeh, “Memangnya bintang tidak akan pernah bosan?”

“Itulah kehidupan yang mesti ia jalani. Dia hanya mengikuti garis takdirnya saja. Toh, tugasnya untuk mempermanis malam, kan?”

Cukup aku melihatmu dari jarak sedemikian dekat ini. Belum bisa kumengerti, mengapa hadirmu penuh keindahan yang sulit diartikan. Keberartian yang abstrak. Tapi tak pernah kuminta. Kamu selalu ada. Aku sejenak tertegun. Ah, lagi-lagi kamu.

Menolehlah kamu, “Kenapa sayang?”

Kamu mengerti, pertanyaan yang sudah cukup sering untuk tidak dijawab. Cukup dengan senyumku. Dan kamu akan bernapas lega.
Dan aku tersenyum, mengacak rambutmu. Semakin kurapatkan lenganmu yang masih melingkar di pinggang – milikki aku.

“Tahukah kamu, mengapa setiap kali kita memutuskan untuk jauh. Memutuskan untuk berlari menghindar, kita selalu dihadapkan dengan jawaban yang sama? Jawaban yang sebagai awal?”

“Mhm.. aku tahu. Mungkin.” – senyum jahilku kamu simpan rapat diujung bola mata.

“Kenapa sayang?”

“Mungkin, hanya kamu yang dipilih oleh hatiku. Oleh hidupku. Bukan memilih. Tapi dipilih. Situasi sulit sudah sering datang berkunjung. Malah beberapa kali, seolah tidak pernah bosan. Tapi kekuatan itu selalu mengusirnya. Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, meskipun harus mengecap sakit terlebih dulu. Iya kan?”

Matamu membulat, “Mungkin kamu bukan bintang yang ditakdirkan untuk selalu sendiri seperti itu. Dan tugasnya menemani malam. Kamu ditemani. Memang harus ditemani. Bukan menemani.”

Hey! Aku cukup kuat kok! Aku bisa dan membuktikan bahwa aku tangguh.”

“Sejauh ini, belum.” – kamu menggelengkan kepala dan membalikkan badanmu, tepat menghadapku.
 “Sejauh ini yang kupantau, Tiap ada guruh atau petir, kamu selalu bersembunyi dibalik senyum mendungmu itu. Senyum yang hanya bisa kurasakan kepura-puraannya. Meskipun kamu bersikukuh mengatakan kamu kuat tanpa aku. Semula aku memang ragu, benarkah aku tidak kamu perlukan lagi?” perlahan matamu menelusup, menyelidik aku.

“Tapi sekarang tidak. Perlahan aku bisa menjauh darimu, berhenti menagih semua setiamu, bersikap masa bodoh akan perhatianmu, menjadi dingin dan beku sepekan lalu.”

“Iya, tapi ada faktor lain. Purnama selalu datang tepat pada hari, waktu, jam yang indah. Begitu pula kamu. Diibaratkan purnama, sekarang ini fase cintamu ada pada sabit. Sedikit, dan melengkung. Apalagi meruncing diujungnya.”

“...Dan cintamu yang penuh itu, nanti akan kudapatkan di akhir bulan. Tepatnya.”

Kamu mengecilkan suaramu, berbisik mendesis, merangkul pinggangku agar jatuh tepat di pelukmu.


“.....Sempurna. Cinta itu nantinya bulat sempurna.”



Kurasakan bibirmu mengecup kening. Aku menoleh, menangkap matamu,

“Tunggu saja.”

Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba menutup tenang mata yang sedari tadi mulai lelah. Aku tugasnya ditemani kan? Itu kata-katamu.

Aku tidur dalam senyum terkulum.

You know, people are always asking; ‘Are you okay?’ But the truth is, they’re never really expecting the truth. Because the reality of the matter is, If I was okay, you wouldn’t really have to wonder.