Saturday, October 25, 2014

Pertama Kali

Kehilangan orang yang dicintai untuk selama-lamanya, dan bagi saya, ini adalah pertama kalinya, bukanlah perkara yang mudah.

Tidak sama sekali.

“pengalaman pertama” dan “kehilangan” bukanlah dua hal yang tepat untuk dikombinasikan.

Pengalaman saya pertama kali jatuh dari sepeda, pertama kali dimarahi Ibu, pertama kali pulang malam, pertama kali menyontek, pertama kali ketahuan menjahili adik, pertama kali bertengkar dengan pasangan, pertama kali jatuh cinta, hari pertama ujian nasional, pertama masuk sekolah, pertama kali tertinggal bus jemputan, pertama kali pacaran, pertama kali tersesat, pertama kali belajar naik mobil, pertama kali menjadi kordinator divisi, pertama kali konser di atas panggung, pertama kali patah hati… Semua menghasilkan memori-memori yang tahan lama. Yang susah terhapus. Segala hal yang menjadi pertama, kesatu, perdana, adalah sesuatu hal yang selalu membuat ketakuan, deg-degan. Bagi saya, 'pertama' adalah segala sesuatu yang harus dipersiapkan dengan matang sebelum-sebelumnya. Kemudian kepala saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan,

“apa yang harus dilakukan?”
“kapan saat tepat?”
“harus bagaimana jika salah?”
“jika gagal harus apa?”
“haruskah saya benar-benar melakukan itu?”
"cara membiasakannya bagaimana?"

Pertama kali menyontek atau pertama kali kabur dari sekolah misalnya, entah apa yang kebanyakan orang pikirkan, bagi saya, cukup menakutkan. Akankah ketahuan guru? Akankah ketinggalan pelajaran? Akankah saya terbiasa? Kemudian ketakutan tidak berhasil. Bimbang sehingga spekulasi-spekulasi muncul memenuhi pikiran dan hati. Atau mungkin, “pertama kali” berhubungan erat dengan sesuatu hal yang bukan lingkungan nyaman. Seperti saya mencoba pertama kalinya mengganti flatshoes dengan heels atau wedges. Akankah nyaman? Akankah seleluasa berjalan saat seperti menggunakan flatshoes? Akankah terlihat indah di kaki? Akankah saya terbiasa? Pada saat pindah ke rumah baru, akankah terbiasa? akankah betah?

dalam perjalanan hidup, seorang guru pernah berpesan, 

“semua hal yang menjadi ‘pertama-kali’ memang akan terasa menakutkan. Karena kita menerka bagaimana hasil yang mengikuti setelahnya. Namun ketika berhasil melewati dan menempuh itu semua, kamu akan terbiasa. Bahkan ketagihan. Seperti anak-anak yang merokok, lihat saja. Awalnya ketakutan batuk, tidak nyaman di tenggorokan. Eh, ketika sudah mulus merokok, akhirnya jadi biasa. Bayi juga, ketika pertama kali berdiri, ketika pertama kali berjalan…Semua dirasa berat pada mulanya, lantas latihlah.”

Tiba saatnya bagi saya, pada tahun ini. “pertama kali” yang lain datang. Pertama kali kehilangan yang dicintai untuk selama-lamanya. 

dan untuk saya,
“Pertama kali-kehilangan”, bukanlah hal yang membahagiakan. Ingin rasanya aku berkawan, berguru dan berlatih kepada waktu. Sepertinya, hanya waktu yang mampu memahami dan menghadapi kehilangan.

Lantas kemudian setelah berceloteh ini,
ah,
Aku rindu.
dan akan selalu rindu.

Tidurlah yang nyenyak. 
Aku tahu, kau memang tidak akan kemana-mana. 
Hanya tidak lagi terlihat,
kau di hatiku
tidak kemana-mana.
kau di jiwaku.
lekat.


Friday, October 3, 2014

Mengagumimu dari Jauh II

Menyukaimu sama seperti aku menyukai sore hari yang tenang. Diam di pojokan art gallery. Sendirian. Menurut orang pecinta keramaian, untuk apa senang dalam kesunyian. 

Tapi begitulah, karena kamu yang ‘tenang dan kadang menghilang’  itu, maka aku suka. 

Menyukaimu sama seperti aku menyukai malam lepas senja, dan lampu-lampu pinggir jalan mulai menyala- aku memperlambat jalan. Menyukaimu itu buram. Buraman itu mengantar antara tergoda dan tergetar. Kala penyair bersimpul bahwa tergoda adalah awal aku tertarik padanya, sedang tergetar adalah ketika kau telah terlibat atasku… –entahlah, yang jelas melihatmu tersenyum, akan membuat bibirku juga tersenyum.

Tapi begitulah, melihat pipimu memerah, juga membuat pipiku ikut-ikutan merona.

Bahkan menyukaimu membuatku lebih senang diam membatu, lantas melamun. Bukannya menuliskan semua dalam kertas dan pena. Itu karena aku terlalu menikmati menyukaimu dalam diam. Hingga menjelaskannya pada pena dan kertas pun-aku tak sudi. Padahal kata penyair, banyak yang dapat dieksplorasi dari rasa jatuh-cinta. Karena ketika kau menjadi orang yang sedang kasmaran karenanya, kau bisa jadi pujangga kelas dunia. 
Katanya.

Tapi begitulah, untuk yang satu ini. Aku tidak mau berbagi.

Aku menikmati tiap riak-riak perasaan. Ingin rasanya kudekap jantungku sendiri. Ia melincah ketika kau lewat. Gawat. Ia memberikan kejutan-kejutan bagi tubuhku yang lain. Aku makin menikmati ketika semua orang memanggilku penakut bahkan pengecut.

Tapi begitulah, menyukaimu diam-diam jauh lebih indah. 

Ternyata. 

Dikatakan atau tidak dikatakan, itu tetap cinta...


*terima kasih Tulus - Mengagumi dari Jauh yang diputar berulang-ulang. Hingga laptop ini menjadi panas.