Friday, December 23, 2016

Matahari Merona, Merah Dahlia.

Merona.
Mendadak sunyi bibirnya, kepalanya pening bukan kepalang. Ia jatuh terduduk, punggungnya disender pada kawat-kawat tipis pinggir jembatan. Langit sore itu pekat merahnya. Matahari bagai kembang dahlia. Merona susah payah membalikkan badan.

Words don’t see my heart
Days go by restart
Everything seems like a city of dreams
I never know why



       “Perhaps we never found the right time.”
“Ini semua memang tentang waktu.”

Merona tersenyum, sendirian. Mungil bibirnya tersungging tipis-tipis. Matanya mengembara ke awan-awan kapas di puncak langit, sementara benaknya terus mencari cara untuk bertahan. Airmatanya digali. Merona ingin kencang berteriak. Pikirannya gaduh. Tangisnya diam namun membising. Hatinya melolongkan pada semesta, menjerit kencang. Kepergian lelaki itu ternyata meninggalkan jejak lebam di dadanya. Lagi, kepalanya menengadah.


Petang.
Di jantung downtown Chicago. merapatkan mantel untuk menahan angin dari arah Danau Michigan yang mulai mengiris ngilu tulang-tulangnya. Lebar langkahnya menapak trotoar kelabu yang basah.  Terlipat koran di tangan, berjalan cepat menuju apartemennya. Sekejap saja Ia telah menyatu dalam arus pejalan kaki yang gegas ke tujuan masing-masing. Di dekat gang sempit di sebelah toko bunga, Petang berhenti, menyalakan sebatang rokok, menengadah.

I walk these streets disguise my mind
and the days going by but I still remember
everything seems like a city of dreams
I close my eyes

Pandangan mereka sama-sama menuju ke langit luas, namun pandangan itu buntu. Seperti membentur tembok tinggi yang tak kasat mata.

..but I still miss you.

Friday, December 2, 2016

Lama kupandangi
kertas bergaris tepi
Ingin kutulis puisi
menuang
rasa merubungi
hati

Duajam

Tinta kering dan pena
Menatapku
tajam