Wednesday, May 3, 2017

à la prochaine, Dinov.

Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi, beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, mereka menikmati matahari perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala. 

Ini petang di hari ketiga, penuh kita yang bicara tentang apa saja. Konstelasi dunia hingga rasi Andromeda, dari Clausewitz yang tidak kau mengerti sama sekali, Baldwin yang membuatku pusing setengah mati, atau perdebatan panjang karena bersikukuh aku bahwa politik adalah satu yang elok nan cantik, sedangkan kau bilang bahwa itu hanyalah ornamen dari studimu yang menggelitik, - berdua kita di dekat jembatan sebelum jalan membelok ke pedalaman menjauhi bibir pantai.

Aku mendongak ke atas dan kulihat mega-mega bergulung, seperti kapal-kapal yang berlayar di lautan langit, membiru, begitu biru, tapi yang ku tahu, tak ada yang betul biru di atas itu.
Aku mau jadi senja.
     Mustahil. 
Coba besok aku masih di sini. Aku ingin memperlihatkan bagaimana aku menjadi senja.
     Ini antara kamu gila atau jenaka. 
Kau keras tertawa.

Langit menjadi begitu rendah. Seperti hendak rebah. Dan kemudian kulihat langit bergeser, warna berubah dan udara berganti. Sudah lama kutanyakan kepada diriku sendiri bagaimana caranya semua ini harus diberi makna.

Kau menarik aku lebih dekat. Pelan-pelan kau melingkarkan tangan kananmu ke pinggul, seraya mengelus dalam pelukan,
         laut utara mulai dingin membekukan.
 Aku balas menoleh, jawabku simpul tersenyum. Lalu terdengar suaraku lirih dalam sebuah nyanyian. Kau diam sejenak, matamu masih ke arah laut.

Langit sedang terang, bersemut gemintang, jauh suara musik reggae dari speaker  mulai terdengar dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa, di depan mata kita hamparan laut mulai berusaha tidur tenang.

Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit tembang pilu mirip lolong..

Dahimu mengernyit, aku mencubit dan menenggelamkan mukaku. 
     
       Kamu mencoba menakuti saya?
Aku kecil terkekeh. kamu kan penakut. Jahilku.
     
Diammu jenak. 
      
      Saya lebih takut tidak bisa bertemu kamu lagi.

Udara mendadak dingin, padahal angin mati. Malam tiba di kulminasi. Ketidakrelaan mungkin mengantarku pada ilusi.  Ini terdiam yang paling bingar. Sebuah jeda emosi sebelum kembali mengeras menyerukan teriakan melengking, tidak ritmik tapi dalam, seperti melodi tajam yang diulang-ulang, semacam blues atau pekikan rock yang paling distortif—dan karenanya menyiksa yang mendengar.

Adinova.
         Kau mengerling tanpa menoleh,
         Kenapa?
Tidak apa. Aku hanya selalu suka memanggil namamu.

Hujan merintik, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai. Angin bangkit, daun meriap dan sesekali ada derit batang yang bergesekan. 
       
Kau mau ikut ke hutan?
    
      Jangan bercanda, Perahuku tiba sebentar lagi. Menggelengku dan mengeratkan genggam. Kalau kau?

Saya menetap di sini. Entah sampai kapan.
Kau menebar pandangan ke lanskap. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya.

Betapa memikatnya impian, melebihi kenyataan. Perahu itu semakin mendekat, tapi sekarang tak tepikirkan sedikitpun untukku pulang.

Aku bergeming, sepasang mata ini berair.
dan aku lebih ingin dunia berjalan tanpa waktu.


Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana.
Jakarta, 3 Mei 2017