Friday, January 10, 2020

Bulan itu terbingkai di jendela
Bertengger di langit
Manik-manik matanya dihisap cahaya
Sang Perempuan menari sepanjang malam
Hingga terlupa
Akan luka yang disesah timah panas
pada sebuah zaman
Begitu gelap
Begitu lelap.

Januari

Di penghujan
Melepas yang meranggas
Menghapus yang terlampau aus
Di penghujan
Kau dikenang
lama tergenang,
Aku dibunuh sebelum jatuh



Penghujan

Bingar. Jakarta berkelakar. Celakanya hanya suaramu yang aku dengar, untuk menghabiskan malam dan menggenggam pagi. 
Walau kau sesaat, kau mengingatkanku akan sesuatu. Aku sempat candu meminum teh pekat. Hingga kebiasaan itu membuat tukak lambungku rusak. Namun bagaimana lagi? hal itu membuatku tenang ketika hidung mencium aromanya. Sama seperti tubuhmu. Kau mungkin adiksiku yang baru. Kota ini berisik, dan hal pertama yang kutunggu adalah menunggu bibirmu berbisik. Jauh melihat sesuatu yang kecil. 
Jam berhenti. 

Kiranya itu berlebihan?

Dan kau?
Setelah beradu kita, dalam ketidakpastian dan malam seakan menyuruh bergegas, aku sangat menikmati tiap jengkal tubuhmu. Kau beda, kau tidak beraroma, tanpa parfum menyengat khas lelaki di seantero dunia. Kau tawar. Namun pelukanmu ternyata adalah penawar.
Kau sapu aliran darah, separuh liarku kau redam. Anggur itu, tanpa pembuka. Waktu yang tergesa, pesan singkat tanpa warna. 
Kita berbahaya jika bersama. Terbit matahari tak membuat kita bergegas pergi. 

Lets don’t think too much…
As long as we keep this.

Kau tak suka senja.
Oh ya? Tahu dari siapa?
Don’t make me have to spell it all night.

Cuddle? Is it too much?
No. 
Great. Spoon me after.

Entah aku yang lantang atau kau terlalu lancang, kita bertaruh bersama. Pada malam yang terlihat penat dan angin tidak sedang bernubuat. Lalu kita terduduk, menunggu penggenapan demi penggenapan. Dan kali ini, mataku tidak berharap. Saat kita menderu, bintang perak dan bulan emas jatuh di antara buih peluh. Aku memohon, tolong biarkan aku meliuki pinggulmu untuk meluruskan liku. Semakin larut, sepi menggigit lebih dari sebelumnya. 

Lekaslah terlewati malam-malam insomnia yang merebut tidur. Atau kau tidak boleh pulang sampai pagi, aku merengek manja. Kau mengiyakan dalam setengah lelap. Lenganmu melingkar ke perutku. Memaksaku menjadi sedikit dalam dekap.  Kemudian kita berdua hilang. Mencari mimpi masing-masing. Kau sama sekali tidak menjinakkan imajinasi. Ada yang belum selesai dari kita berdua sejak empat tahun silam. Bandung dan Jakarta, dua kota yang menggugurkan kecanggungan. Suara televisi memecah sepi. Saya tersenyum. Hanya sebentar di antara kami sebelum kata-kata meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin. 

Ada diksi yang tak kumengerti namun tertawa denganmu renyah rasanya.