Tuesday, December 31, 2013

Selamat Tahun Baru

Tepat jam duabelas malam, waktu bercerita, ia sedang sedih katanya. Dia merasa semakin lelah, semakin berat punggungnya untuk berdiri lama, sadarkah waktu bahwa ia semakin menua?
Waktu tidak bisa lagi bercanda, tidak bisa lagi bersia. Ia susah payah berusaha untuk tetap muda, menyeimbangkan irama dengan apa yang dipangkunya di dunia. Di usianya, waktu terus belajar hidup berdampingan dan berdamai -dengan ramai, dengan hingar bingar moral dan dengan hiruk pikuk percepatan kemajuan penduduk. Waktu sesak pengap, adakah yang dapat membuatnya duduk tenang?
Waktu bertanya kelimpungan, adakah tempat yang hening dan tak membuatnya pening? Karena kembang api ketika waktu berulang tahun malah membuat ia makin sesak kepala, waktu tidak menginginkan perayaan yang membuat jiwanya gempita.

Oh waktu, tetaplah kau menua dengan bijaksana.
Oh waktu, selamat tahun baru!

Thursday, December 19, 2013

Membelukar (1)

Kenangan-kenangan itu terus tumbuh, menjalar, dulu hanya ada di ujung kepala, sepertinya kenangan-kenangan itu bertunas, tumpukan-tumpukan foto kita yang memupuknya rajin. Adakah sesudut rumah ini yang tidak mengingatkan aku padamu? Seperti sore ini, tunasnya muncul jadi daun, masih hijau segar, satu kelopak daun kenangan mengingatkan wangi napas yang kau embuskan, kelopak yang lain menimbulkan wangi rokok berkhas kau di setiap helanya. Sisa-sisa baju di lemari seperti musim penghujan, setelah tunas itu berdaun, batangnya mulai terlihat dan semakin kuat.
Kemudian tangisku membuat tunas kenangan itu kegirangan, 
Ia semakin cepat tumbuh..

Dan pada saat matahari jatuh di barat, gelap bukan membuat kenangan itu lantas tertidur. Ia bersama kawan-kawan lainnya menciptakan pesta semalam suntuk di otak. Wallpaper ponsel anak-anak yang lupa diganti, seolah-olah menjadi satu shot tequila yang kenangan tenggak. Wajahmu meliar di kepala, suara batuk, teriak hingga tertawamu acap masuk syaraf. 
Lantas aku masuk ke dalam rumah.

Semakin melandai dan akhirnya rata.  
Namun kenangan-kenangan semakin mencuat. Adalah kau yang membetulkan permukaan tanah di halaman belakang hingga akhirnya aku dapat menanam jambu, mangga,  juga manggis. Ingatanku tiba-tiba tumbuh di gundukkan tanah. Ada cangkul yang biasa kau gunakan setiap akhir pekan. Andai kenangan-kenangan itu juga bisa aku kubur dan dimasukkan ke dalam tanah, lalu membiarkannya rata dimakan ulat. 
Sebaliknya, layak akar, kenangan itu terus tumbuh kuat dan menghujam waktu demi waktu sejak kau pergi.

Oktober selalu dingin. Melewati taman, perapian di ruang tengah menunggu untuk dinyalakan.
Setelah bertunas dan mengakar, ingatan kini muncul berbuah dari kayu-kayu yang lambat laun menjadi bara. Kepalaku menjadi hutan rimba, hening di ruang ini membuat suaramu seakan berayun dari pohon-pohon kenangan yang semakin tak berjarak.

Kaki-kaki mungilku memaksa
Hujan turun dari awan, berlarian
Senja yang lama, masih di sana
     masih di sana masih di sana
di kolong langit, di  merah awanku
Kaki-kaki mungilku berjalan
Tersandung sore yang kian hilang

Kaki-kaki mungilku memaksa
     membawa
separuh senyum yang kau punya
ke trotoar trotoar jalan, ke bisingnya knalpot motor malam
Kaki-kaki mungilku memaksa
     membawa
separuh kicau burung yang bersuara
ke telinga-telinga, ke jiwa jiwa yang tenang

Kaki-kaki mungilku memaksa
berhenti sejenak,
berat katanya, Ia membawa
cerita pahit dari jingga kelabu sampai ungu

2013