Monday, February 27, 2017

Difusi Pagi.

Hari masih muda dan masih pagi matahari untuk tiba, kau sudah menggamit tanganku untuk menuruni anak tangga, yang jumlahnya ratusan, yang pinggir-pinggirnya cukup tajam karena penuh dengan koral buatan. Kalau tak salah, jarum arloji masih menunjuk angka empat, dan seingatku, kau barusan membangunkanku cepat. Tanpa sempat kugubris setangkup roti yang telah tersedia di meja, kau sudah membawakanku sendal dan kemeja.

Tidak ada yang bergerak selain ombak kecil yang pecah. Tidak ada yang terdengar di telinga selain sepi yang megah. Matamu mengarah ke ufuk timur, ungu horizon dan merah mega mulai berbentur. Sedang aku, aku diam mengamati kamu. Karena sunyi memantulkan kedalamannya sendiri.
Ada dunia yang sulit kujangkau. Ada imaji yang jauhnya terlampau. Matamu mencari dimana biru itu berada. Entah apa yang ada dipikiranmu, Atau mungkin sekedar mengabar pada angin.

Kepiting-kepiting kecil merayapi kakiku yang telanjang. Kau tertawa melihatku misuh-misuh karena mengusirnya. Dan kau, selalu minta ditemani. Aku tahu kau selalu menyukai tempat ini.  Namun tak pernah kau jelaskan alasannya. Apakah darahmu lebih berdesir jika kau berdiri seperti ini di pesisir? Apakah jantungmu lebih berdetak jika melihat air laut menyebar derak?

Dan kau mulai bersenandung.
Nyanyian itu  membuat  lingkaran gema  di telinga.  Menutup  batas  akhir  dari  kemampuanku  menjangkau  sesuatu. Bersandar pada karang, mengeja  yang  nyata  dengan  terbata.  Mengejan  kata dengan  huruf  tak  terbaca.

Entah apa yang membuatmu tersenyum dan merona. Kau seperti menemukan keasyikan yang paling purba. Senja dan matahari muda, dua hal untukmu yang mahalnya lebih dari apa saja.