Sunday, May 22, 2016

Perjalanan Sore dengan Cinta I

Pada satu kesempatan, aku bertanya kepada cinta mengapa Ia diciptakan. dalam sebuah jalan-jalan kecil, cinta menghancurkan semua yang jadi perkiraan, yang diduga rencana. yang tertata-titi rapi.
saya bertanya mengapa cinta ada. apa karena rindu jadi bumbu? apa karena bibir beradu dan malam yang membuat kami bercumbu itu? atau karena--
kutelan semua percakapan pukul empat di satu kedai kopi
kecil. mendengar semua mimpi-mimpimu yang dirasa mustahil. pun kopi di kedai itu tak terasa begitu enak. namun sore jadi 
begitu manis.  kau juga sanggup memberhentikanku membaca antologi sajak 
yang baru saja kubeli di Gramedia. kau membuat jauhku penasaran dari pada Seno Gumira, untuk menyelami hal yang lebih dalam dari senja;
kau dan kehidupan.

cinta mengajakku berjalan-jalan. katanya tolong kencangkan tali sepatu. 
entah dia membawaku kemana, menyusuri  jalanan ibukota yang ramai bukan kepalang; atau menepi ke sawah-sawah yang berpematang. cinta juga membawaku ke riuhnya kelab malam--mengajakku bergoyang; pinggulnya cinta sintal sekali. aku menenggak sebotol whiski. banyak  juga yang berciuman, namun mata-matanya penuh dengan air. pemandangan yang sungguh ironi. 
hampir aku mengajaknya berhenti sampai di sini. di tengah lantai dansa, Ia berbisik; hidup bukan hanya tentang hitam dan putih. nanar mata ini, dentuman musik kencang melantakkan ingatan. mending aku hidup penuh hura daripada galau huru-hara. 
cinta sadar bahwa pengang ini melenakan. aku diajaknya melanjutkan;
kau dan kehidupan.

kupasrah ketika cinta membawaku menapaki perbukitan, jauh di atas langit ada kelepak elang. bulunya rontok dan jatuh tepat di alis mata. di tengah perjalanan, luka dari waktu yang lama terasa perih kembali. kutanya padanya.
kata cinta; 
tak usah terlalu berhati-hati. 
tepat matahari di tengah ubun, tepat elang itu berkicau berkali-kali. ini sampai berapa lama, cinta? kalau begini aku ingin lari saja. 

Sunday, May 8, 2016

Terakhir.

Jangan pergi, sahutku. Angin mendesau seakan melolong nyaring. Luka yang menancap seakan ditakdirkan tidak mengering. Masih diam membatu aku. Bergelas-gelas arak yang kutenggak tidak menghilangkan sedu. Sedu suaramu yang menggema, menjadi kerak di sela-sela otak. Entah kemana mestinya aku berlari. Toh pepohonan tidak menaungi ingatan yang kian menyengat. Hingga melepuh ini pembuluh. Dan gelap? Gelap ini tidak menakutiku untuk pulang kembali. Malah ingin menjauhku tersesat. Untuk apa kembali mencari langit pagi? Jika tempias pipimu lebih dari sepotong matahari. Untung apa melanjutkan hidup lagi? Jika sepasang matamu bagiku adalah jiwaku yang separuhnya telah mati.

Kau membuatku tidak lagi percaya akan mujarabnya doa. Bahkan pada pemilik cerita, sering aku marah tidak terima. Mengapa skenario kita dirancang demikian sulit nan menderita? Hati tentu bukan perkara persepsi apalagi rasio otak kiri. Aku memuntahkan perasaan lewat nadi. Airmata yang juga kutopleskan ini, jadi saksi. Rindu mencungkil kulitku dan perih menyayatnya. Parau suaramu mengiang di kepalaku, getir. Hingga kuminum sendiri tangisku dalam duabelas cangkir. Tiap aku termangu, aku halu. Kudengar kau memanggil-manggil aku. Lewat angin. Sendu. Sembilu.
Keyakinan-keyakinanku rontok, seketika. Kesadaranku anjlok, cuma-cuma. Luluh lantaklah aku ketika malam mengganti magenta. Entah mengapa,  sunyi langit Bandung Utara menyedot sakitku lamat-lamat. Mungkin aku teringat akan ciuman-ciuman yang sering kau hidangkan. Dadaku gegap berlipat-lipat. Celotehan Timor-Timurmu membuatnya gempita.

Aku mencari, senantiasa. Terakhir, celah-celah langit sedikit menghibur. Kutemukan bayangmu di sana, walau sedikit blur dan meluntur. Kau bahkan melekat di urat-urat. Di tulang hasta, vena hingga aorta. Wangi tubuhmu masih jadi aroma utama. Telah seminggu ini kubawa jantungku kemana-mana. Kugenggam bergantian di tangan kiri dan kanan. Meski sedikit lemah dan kering, jantungku masih berdegup.

Mengencang detaknya, 
jika kulafalkan namamu berulang lengkap-lengkap.
Memekat merah warnanya,
jika kunyanyikan sebait lagu kesukaanmu di malam-malam gelap.
dan,
menderas arus darahnya, 
jika tahu kau akan kembali untuk menghidupiku genap.


Bolehkah aku menerobos batas waktu dan masa lalu?

Kenangan menampar pipiku hingga biru lebam. Kehilanganmu, memperparahnya. Kucari kau hingga ke langit, kucuri dan kulayarkan kau ke lautan. Karena tentangmu, adalah tentang rasa yang terperangkap realita.


Ketahuilah, engkau seindah-indahnya nyawa tempatku membenamkan usia.

Mei 2016