Monday, February 8, 2016

Makan Malam dan Setelahnya.

Mungkin kita bisa bersama. Tapi nanti.
Di sini?
Tidak. Tidak di sini.
Kenapa?
...
Kau terkekeh. ''Malu oleh waktu.''
 ''Malu oleh hingar bingar yang ada. Nanti kita ditertawakan''.
 ''Bukan masalah." Matamu mengubah pandangan.
 Mataku mengkail matamu, aku mendekat.
 "Sibuk sekali, sih? Sudah hampir lima jam kamu diam di depan sana. Punggungmu pegal nanti."
 Matamu masih melurus ke depan. "Ya kan ada kamu."
 "Mentang-mentang, ya." Senyummu terkembang.
 Kucium tengkukmu dari belakang. "Take some time off."
 "Kan, aku diomeli lagi. Makan saja, yuk." bibirmu cemberut.
 "Makan apa malam ini?"
 "Pancake?"
 Kau mematikan laptop. "Dua tangkup dengan nutella dan mapple?"
  "Boleh. Aku lapar sekali... Tapi...mengantuk." setelahmu mematikan rokok,
 "Tidurlah sebentar kalau begitu. I’ll come wake you when it’s ready, okay?"
 Keningku diciummu. "Terima kasih, babyboo."
 Kali ini senyummku terkembang.

We can be miracles, 
we can be the ones..

"Oh sayang! Dan kopi. Kali ini sedikit pekat." Berjalan ke ruang tengah, Kau bersahut.
Sedang...Sedang kubuat. Tanpamu perlu meminta, secangkirmu takkan kulewat.
Kau melepas dua kancing kemeja, menata dua bantal kecil di sofa. Lampunya kau redupkan, lantas menyalakan perapian. Setelah melepas kacamata dan menaruhnya di nakas. Kau merebah, kemudian memejam kedua mata.

Entah sampai kapan kebersamaan ini sampai pada ujungnya. Entah di mana kami akan bermuara. Mungkin tersampir pada kenyataan berdua harus melipir, atau mungkin terhanyut pada gelombang selanjutnya, yang membawa pada laut lepas. Itu berarti, masih kamu yang menjadi nahkoda dan ini hanya dermaga sementara. Semoga.

Wangi pancake hangat di atas meja tidak seraya membangunkan kamu ternyata. Rupanya kamu benar lelah. Segan jadinya aku membangunkan. Kuperhatikan kamu sejenak. Bulu matamu yang lentiknya melebihiku, dilindung alis lengkung halus. Jari telunjukku menelusur lengan hingga wajahmu. Bibirmu tipis kukecup. Lalu kunyalakan lampu yang sedikit meredup. Naik turun napasmu tenang terdengar. Sadar, kau terbangun perlahan. Mata yang jarang tidur itu memendar sebentar.

"Sudah jadi, sayang?"
Hanya dengan senyum ku membalas. Tanganku menggamit pergelangan
Kepalaku mengangguk. 

Lantas, kau dan aku menuju ruang makan. Dua gelas di samping piringmu kutuang. Malam tidak pernah terasa kosong dan sunyi, walau isi apartemen ini hanya kami. Banyak tawa dan diskusi-diskusi kecil yang mewarnai. Seperti malam ini, empat tangkup pancake berukuran besar habis juga oleh berdua. 

Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu memotong pembicaraan. Aku  terburu-buru dari kursi, mengangkat telepon dan berjalan ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat kau juga mendengarkan dengan syahdu suara di seberang.

 Dari ibuku.
''...Kamu baik-baik saja di sana? Sedang winter banyak makan buah ya, Nak! Kuliah lancar? Eh, ada yang mau mami kenalkan sama kamu. Anaknya Om Dewo, temannya Papa itu lho, kamu ingat, kan?''

Hebatnya, kamu hanya memberi kedua mata jahil itu, seperti... ''ayo-coba-silahkan-saja-tante." yang selalu berhasil membuatku tertawa kecil. Setelah telepon kumatikan, aku menumpuk piring kotor dan membawanya ke dapur.
"Biasa, Ibu." kataku datar sambil mengambil sabun pencuci dan membusakannya.
Kau mengikutiku.  
"I know..."
..Kamu takut?"
Kedua lengan kau lingkarkan di pinggulku. Kali ini, erat sekali.
"Kan kamu, menantu barunya.."
Dapur mendadak hening. Tinggal sunyi yang menahan senyumku sendiri.

We can be miracles..

Mungkin kita bisa bersama. Tapi nanti.
Di sini?
Tidak. Tidak di sini.
Kenapa?
Lebih tepatnya,
 tidak sekarang. 

Tak ada yang tahu, bahwa berdua, kami benar-benar menyelam di kerak kepiluan, atau lebih dalam lagi. Kau dan aku justru menyimpan cinta yang tak terkata.


weheartit.com