Tuesday, December 18, 2018

In the Half-Light of Dusk

(1)


There's a special quality to the loneliness of dusk,
 a melancholy more brooding even than the night's.

Di beberapa ruangan mungkin aku akan menemukan kamu, dulu, di lipatan waktu, atau celah ingatan masa lampau. Ada kamu, selalu.
Ini hanya aku yang luput, melihat bahwa ternyata kau tak pernah pindah duduk. Selalu di situ. Beberapa teman mengatakan bahwa hidup telah mengatur pertemuan demi pertemuan, bagaimana hati ini jatuh beberapa saat, mungkin kau kira bersandar pada pelabuhan yang tepat. Namun ternyata takdir sedang mempermainkan dan kau tersesat. Bisa, bisa saja. Skenario memang penuh teka-teki. Kau bukan sutradara, kau tidak mengetahui segala. Begitu katanya.
**
Apa yang kau lihat sekarang selain gelas-gelas?
Masih sama? Masih ketidakpastian? Masih pergumulan, jawabku. Masih kulihat pertanyaan-pertanyaan yang entah di mana jawabannya. Jembatan yang kulihat riaknya masih mengalir deras, menghanyutkan beberapa ragu, untungnya, dan beberapa lamunan tentang masa lalu.
**
Bukan, bukan. Apa yang kulihat bukanlah bentuk kegetiran.
Kalau kalian merasa bahwa plot kisah ini melompat-lompat, memang sengaja. Karena yang runut sudah memuakkan aku. Contoh; kebahagiaan yang datang dalam hidupku pada akhirnya bukanlah hal yang pernah kuprediksi sebelumnya dan kuketahui bagaimana datangnya. Contoh lainnya, ketika tulisan ini lahir; Aku tak tahu bahwa hujan akan turun setelah tibanya aku ke salah satu restoran di daerah Mega Kuningan. Agendaku sebenarnya hanya makan siang saja dengan si dia. Tempatnya menarik, membuatku ingin bertahan lebih lama. Dan hujan, selalu melenakan. Si dia membercandai aku dengan kecupan-kecupan kecil. Aku ada meeting lagi, sahutnya.
Lantas aku menekuni hujan ini. Bersama kata demi kata yang senantiasa di kepala. Mereka ikut tertumpah. Setelah beberapa lama dipaksa tak berbicara dan hanya segelintir orang yang bisa menerjemahkannya.

***

Kenapa? Kenapa aku? 
Kembali. Pertemuan yang tak disengaja. Ah, aku dan kamu memang selalu begini adanya. Seakan semesta mempertemukan kita dengan tidak rela. Selalu sebagian, separuh, dan ternyata kau berharap seluruh. Apa yang menjadi sangkamu malam itu terurai. Iya, iya. aku mengerti. Menangkap rindu dan kegamanganmu. Hai, Tuan, apa yang perlu kau takutkan? tanyaku malam itu. Kakimu melanglang buana hampir ke seluruh Asia Tenggara bahkan Amerika. Mungkin kau hanya butuh sepasang telinga yang selalu setia. Mungkin.

Paragraf ini kutarik sekitar lima bulan lalu.  
Kedatanganmu (lagi-lagi), bagiku hanyalah 'sekedar' yang terlalu sering. Kita seiring sebenarnya, namun kau (atau aku?) lebih suka jadi penyeling. sejak delapan tahun lalu. Takdir seakan mencuplik kejadian demi kejadian. Aku seperti bermain puzzle keping demi keping. Kutanya bagaimana harimu, kau berbatik dan menyalakan rokok. Kau gelisah. Aku tahu. Ini tentang hidupmu. Tentang beban usia yang seakan memberati. Dan kau dari dulu, memang tak suka berlabuh lama-lama. Kau adalah nahkoda bagi lautan yang kau layar.
dan pada malam itu,
(sepertinya kau mulai) menyadari; kau mencari tempat untuk melabuhkan sauh, untuk menikmati tiap denyar angin pesisir, riak dan kelepak burung. Kau mencari tempat menenggelamkan diri. 

*
Turangga sedang mendung seingatku pada sore itu. Ketika ponselku bergetar, ternyata dari kau;  memberitahu bahwa mulai sekarang akan tinggal di kotaku. Mari bertemu. Sahutku. Bandung sedang hujan melulu. Kita berbasa basi. Berdua. Di dalam taksi. Sesampainya, aku menunggumu memilih sepatu, diam di sudut kedai kopi.
Kutanya apakabarmu. 
Tidak ada yang istimewa pada saat itu. Kita memang selalu seperti ini, biasa-biasa saja.


***

*catatan: Prosa ini akan aku buat bersambung. Setiap dua minggu sekali, di hari Rabu.

Wednesday, November 7, 2018

Renjana Mata

Sementara Malam mulai menangis, mencari apa yang hilang, mungkin mata bintang-bintang,

Jangan bilang kau yang menculiknya
Hah aku?
Iya dan untuk siapa?
Aku berutang pada Mamamu
Untuk menebus dosaku
Memang kau dosa apa pada Mamaku?
Menculik hati anaknya
Dan tak berniat untuk mengembalikan

Jadi akan kukembalikan dengan mata bintang-bintang itu, di langit
Kenapa? Tak bisa bawakan senja?
Ah, senja terlalu Sapardi
Bagaimana dengan mayatmu?
Ah, kau seperti Sutardji

Kemudian apabila Mamaku menerimanya?
Ya sudah, berarti anak perempuannya seharga mata bintang

Hey, tempatku menuliskanmu memang di angkasa

kami membiarkan Malam tersedu sedan,  ramai, tak reda.


Menukilkan Naskah


Aku tak lagi suka temaram
Tiap pukul empat sore
hutan mati, badai salju, kereta besi tua, dan lolongan serigala
Terjatuh aku, di sebelah rel kayu
Berderit dan kemudian  dikejar ratusan cahaya
Aku tak lagi suka temaram
Tiap pukul empat sore
Bau pinus, rongsok televisi, mata anak-anak desa dan sungai yang tandus
Terjatuh aku, di sebelah perempuan itu


Mulai pukul empat kurang lima,
Kunyalakan lampu-lampu
Dari temaram dan tangis masa lalu
Yang menganggu


Monday, November 5, 2018

11.57

Aku menjelma menjadi laut
Dalam tidurku
Bulir garam keluar dari keringat
Dan bau asin menyengat
Berbicara pada kedalaman
 membungkus sunyi
Untuk dilebur
Airmataku dipungut nelayan
Dan mereka berteriak
Laut kali ini berisik sekali
Padahal aku sedang bernyanyi dengan sengau
Untuk kekasih-kekasihku
Yang menjadi debur

November 2018.

Tuesday, October 30, 2018

Petang dan Pertemuan yang Sengaja.

Petang merangkul pinggul perempuan itu yang telah menjadi miliknya. Bangku-bangku banyak tanpa isi, Lelaki itu mendongakkan wajah. Langit oranye polos dengan gemawan berwarna merah bersolek dengan warna kuning tua.

“Tidak secara sadar aku menyayangi kamu.”

“Tapi secara sadar kau mencari aku,
…menerus.” jahil senyum simpulnya. Merona terkekeh, naik tulang pipinya.

Matahari masuk lewat ranggas pepohonan. Dua bola mata perempuannya itu lebih rindang dari angin sore yang berjelanak, dan Petang selalu memeluknya seperti bagaimana Bernini menggambarkan kisah Persephone.

Kenapa mengajak bertemu di sini?”

“Supaya romantis. Kamu perempuan paling manis yang aku pernah kenal.”

Merona mengerling, “Di… sini? Romantis? Dudley Garden?”

Petang terbahak seraya mengelus rambut Merona.

“Sebetulnya karena saya ada kelas lagi. Dan kamu sangat sibuk akhir-akhir ini.”

Perempuan yang di dalam pelukannya itu ikut tertawa, seraya menenggelamkan wajahnya di dada Petang.

“Memang bukan jarak itu benar yang memisahkan. Sebab, sejauh apa pun jarak, jika hatimu masih utuh untuk aku, setelah sekian lama ini, semua bukan halangan untuk kurengkuh. Kamu ingat malam di mana aku secara tetiba datang dan berbicara kita hingga pukul tiga?
…Namun kemudian…Memang kau seperti angin, Merona. Kadang aku tak bisa membaca apa-apa yang kau ingin.”

Seperti biasa, perempuan itu lebih banyak bergeming. Mendengarkan lelaki dengan wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan. Membuat Merona menampik pikirannya sendiri. Ia ingin percakapan sore yang disengaja ini, membuat segalanya menjadi jelas. Ia melonggarkan tubuhnya dari Petang. Sebetulnya, Merona lebih ingin diam dan menikmati gugurnya semua laku satu demi satu bersama deru. Ia kembali melihat daun-daun pohon diembus angin. Beberapa rontok dan rebah ke tanah.

“Yang benar-benar kuinginkan adalah kau menemukan kenyataan bahwa pelukanku adalah satu-satunya tempatmu untuk jatuh tertidur.”
  
Petang tersenyum. 
“Kau ingin aku menjawabnya?”

Si perempuan pergi beberapa langkah, memain-mainkan kelopak krisan di hadapannya dengan ujung jarinya. 
“Bunganya bagus,
…boleh aku tinggal di sini?

“Kamu? Yang selalu telah-menyiapkan-segala-sesuatunya?”

Merona bergeming. Ia mengibaskan rambut yang menutupi pipi kanannya dengan menggerakan kepala searah jarum jam dan diusapnya pelipis Petang. Otaknya entah mengapa membawa banyak memori kembali. Bagaimana beberapa bulan lalu, Ia masih duduk di tepian sungai Thames. Satu tahun ternyata begitu cepat. Seperti baru kemarin Merona meninggalkan London. Suasana masih terekam sama: langit petang yang mirip lembayung di Lembang, kemilau riak air diterpa mentari, London Aquarium, kafe tempat menyambut malam dengan kursi dan meja berbahan kayu oak merah, ikon kota London Eye, dan bagaimana pantulan sungai Thames menggambar wajah Petang, lelaki lima tahunnya. 

“Eh? Coba ulang pertanyaanmu tadi? Mau tinggal di sini?”

Tangannya menggamit Petang. Sela-sela jemari yang beradu erat cukup menjawab. Baru bulan lalu Ia menjadi perempuan paling nelangsa di tanah Britania. Tidak, tidak lagi. Jakarta-Amerika, London-Amerika. Pertemuan-pertemuan tanpa sengaja, percakapan tanpa dimakna ternyata membuatnya tersiksa. Memang ternyata waktu dan cinta adalah dua perkara yang didekap rahasia.

Merona mengangguk.

“Dan kurasa matahari jingga sudah menjawab pertanyaanmu. Kau mau menunggu aku di sini? Karena professorku sudah tiba, atau menunggu di kedai kopi biasa?”

"Aku tunggu saja. Tamannya sepi. Aku bawa buku."

"Merona," 
"Ya?"
"I want to be the only story in your poem."

Seperti namanya, pipi Merona meranum, memerah. Ada yang berkepak-kepak di dadanya. Memang apa yang dikatakan hati, kadang tanpa memerlukan bunyi tetapi selalu mampu dimengerti.




Friday, July 20, 2018

Borneo.


Mara menutup mata, malam kali ini terasa amat panjang dan melelahkan. Ada yang hampa dan terus terbawa, setelah bertahun lamanya mencari apa yang ternyata tidak bertepi. Berlari, menyalahkan yang telah terjadi. Menganggapnya sebagai ilusi, seringkali. Mara lelah menangis, airmatanya tidak lagi jatuh dari bola yang kiri.

Mara hampir saja berpikir bahwa hidupnya adalah monolog. Usia yang semakin matang hanya Ia jalani seperti sebuah sketsa dengan dialog bisu. Ramai oleh sunyi. Perjalanannya adalah sebuah teater yang dilakoni sendiri. Tanpa perlu ada apa-apa, tanpa perlu ada siapa-siapa. 

Ia sedang menyelesaikan bait terakhir puisinya ketika lelaki itu kembali datang.

Delmara. Delmara Alfa.
Kau lahir dari lautan?
Iya. Tahu dari mana arti namaku?
Bukan. Bukan dari nama.
Ada perlu apa kau datang kemari?
Pertanyaan seperti itu melukai hatiku.
Aku harap kau bukan sebuah delusi. Aku kemari tidak sedang menjadikanmu sebagai barangkali.
Kuharap suatu saat kau punya minat selain mencurigaiku.

Mara menunduk. Tersenyum, tetapi wajahnya tanpa citra jiwa. Pada malam-malam yang meresahkan hati, hanya dalam keadaan itulah, dengan pria itu dalam pelukannya, Ia bisa tertidur. Mara mengutuk pikirannya sendiri yang seolah tak mau berhenti.

Aku tidak ingin ada yang selesai di antara kita.

Pria itu membenamkan wajahnya di lekukan leher Mara. 
Mara tahu Tuhan meletakkan keindahan pada tempat-tempat yang tepat. Mara ingin bersangka bahwa Tuhan sedang menggambarkan ilustrasi untuk dipahami. Berharap pria itu bukan sekedar empat musim yang selang berganti.

Wednesday, July 4, 2018

Tiba-tiba, Pagi menjadi Begitu Indah.


Dan mendadak,
Bunga depan halaman jauh lebih harum dari biasanya
Dan mendadak,
Embun yang jatuh dari daun dan kepodang jauh lebih sejuk dari biasanya
Dan mendadak,
Kekupu yang datang memberi kunjungan jauh lebih ramai dari biasanya
Dan mendadak,
Matahari yang muncul dari sela jendela jauh lebih hangat dari biasanya
Dan mendadak;
Langit muda yang berhias gemawan tipis jauh lebih biru dari biasanya
Dan mendadak;
Rindu ini ternyata tidak dapat melipat jarak

“Matanya yang seperti langit bertemu dengan mata perempuan yang seperti laut dan terjadilah percakapan yang bahkan mereka sendiri tak tahu apa maksudnya.. Mereka seperti jelmaan dua ekor camar yang sudah terbang terlalu jauh ke samudra dan merasa sangat letih tetapi tidak melihat apapun yang bisa dihinggapinya, kecuali sebuah bahtera.”

Saturday, June 16, 2018

Bandung di Bulan Hujan (I)


Ketika aku pulang, matahari tidak terlalu terang menyapa, Ia sudah tahu aku akan misuh-misuh bila kepanasan. Namun kedai-kedai tua masih menungguku dengan setia. Sudut-sudut kota ini adalah separuh cerita.

Kau sudah menunggu.

Di meja yang itu, kursi menyudut sembilanpuluh derajat dengan bantalan sofa paling empuk, menurutku. Ia sudah tahu aku akan misuh-misuh bila punggungku pegal. Dekat dua jendela besar. 

Matamu menangkap kedatanganku.

Maaf ya, buatmu menunggu. Sudah lama?
       Tidak, kok. Macet ya?

Kemudian duduk aku di depanmu. Memerhatikan wajah yang tidak kulihat hampir setahun lamanya.
Aku mensisip kopi susumu. Keningmu mengernyit.

Di Jakarta sekarang minum kopi?
Tidak. Lambungku masih payah. Mau coba saja.
Oh, iya. Bahaya. Nanti salah-salah kamu masuk ke UGD lagi.

Tidak seperti kemarin sore dan lusa, sore itu pikiranku sulit berkonsentrasi. Ada banyak yang kupikirkan dan terangkumkan. Banyak rencana yang tetap menjadi wacana. 
Kemudian hujan turun. Jelas kulihat dari dalam.

Bagaimana persiapan? Lancar semua?
Begitulah. 
Kenapa? Ada kendala?
Pernikahan ternyata rumit. Banyak orang dan banyak mau. Kau tahu, terlebih aku anak pertama. Gengsi keluarga, katanya. Belum debat pendapat, biaya..

Sisa kalimatmu tidak lagi kudengar. Lamunanku pada hujan. Berharap semoga kenangan dapat hanyut terbawa. 

Thursday, April 5, 2018

Ba la da.

Aku ingin memetik matahari sebelum lingsir. Agar tetap merona, kuulaskan di pipimu.
Mugkin aku tak tahu atau lupa untuk apa mencintaimu,
dengan melukai dada.  Bersama celah waktu yang selalu terbuka.

Cinta adalah sejumlah luka
Yang nyerinya masih kutampung
di dada dan lambung.


(bahkan setelah ratusan senja, sakitnya tak kunjung reda. Ia luka dari bahagia yang sebenarnya tak pernah ada)

Antara Jakarta dan Bandung.

Kamu memang tinggal di sana, dan di sini.

Di sana, jauh di angan-angan. Menyentuh mega, menyublim dengan angkasa, bersama rindu dan pedih yang menggema.

Di sini, di palung hati terdalam, di sela degup jantung menghentam, di aortaku, menderas namamu jutaan kali.


Friday, March 9, 2018

Kisah

"Menurutmu, mengapa kamu dan aku bisa?"
 Padahal berdua kita dalam kesalahan.
"Bisa apa?"
Entahlah, rasanya seperti aku mengenalmu barang setahun-dua tahun,
"Bisa gila. Karena kapan kita akan bersama?"
Aku memotong, “tiga bulan saja belum.”
“manis ya mulutnya sekarang”

“wait… do you even pray?”

 Angin Jakarta nampaknya tidak ingin mengganggu kita berdua. Di balkon lantai tiga,(tempat dimana kau mulai menulisi dinding-dinding pikiran)-yang asalnya, padahal aku hanya ingin sekedar melihat lebih indah mana purnama dari rooftop ataukah darisana.  Bukan menjadi roman picisan yang kerjaannya hanya menggumam dan menjadikanmu sebagai lamunan, bukan memastikan bahwa lift yang terbuka sendiri pintunya itu adalah akibat jahilnya setan.

“kenapa di sini?” kau datang,
“sepi.” Sahutku tanpa menolehkan mata
"Aku mau baca. Jangan ganggu."
"Oh okay, belum pulang?"

Kau menjadi kisah yang tak pernah aku ceritakan, 
menjadi lagu yang tak pernah aku nyanyikan,
menjadi puisi yang tak pernah aku selesaikan.

 Berulang.

Monday, January 29, 2018

Batavia.

Setelah kembali ke kotamu, rindu ini makin berat rasanya. Bisa saja aku kembali bertemu denganmu, sembunyi-sembunyi untuk mengisi hati yang sunyi. Untuk mengulang kembali bahagia yang tak bertepi. Tapi tidak, tidak boleh. Kau sudah bukan milikku lagi.

Namamu mengiang berkali-kali. Di jendela, di atap kamar kos, di jalan Salemba, di Gramedia, di rooftop sebrang menara BCA, di Tanah Abang, di lantai tiga. Dan, kecewa yang kau rangkum di email beberapa bulan lalu, tidak mampu meredam gaung itu.

Ingatanku menggambar pola. Dituntun suara yang memantul dari palung paling rahasia. Setiap celupan teh pada cairan memori malam adalah detak jantungmu yang memantul ke palung dadaku.

Garis-garis cahaya matahari memanjang ke dalam laut untuk bisa tenggelam lebih dalam. Terhalang milyaran tangis yang tak terkendali, rindu yang selalu menggandakan diri, dan hampa yang membawa serta tragedi.

Aku menyimpan suaramu, melipat di antara jarak dan menyusupkannya dengan sangat hati-hati di sela lipatan kain kemejaku.

30 Januari 2018
Salemba, Jakarta.