Sunday, October 1, 2017

Menderas.

Setelah kamu tidak lagi ada, semua puisiku
   hilang makna
Entah hurufnya acak-acakan
Atau rima yang tak  beraturan
Ada jeda antara
Kata dan cerita

Setelah kamu tidak lagi ada, semua puisiku
    hilang makna
bahkan hujan menjadi tak sama
alih-alih menggembirakan,
Menggigil aku, bukan meneduhkan.

aku tidak lagi tahu menimba kata bahagia,
wajahmu menggenang -selembar teratai di kolam air mata

Ada hampa antara
Aku dan kita

Ini masih tentang malam-malam, di lantai tiga.


Wednesday, September 27, 2017

Di sudut ruang,remang
Kau menari-nari
Gaduh
Lantas aku menangis
Dan kemudian tertawa
Lantas kau tertawa
Dan kemudian aku menangis
Gaduh

Di sudut ruang, remang
Kau berteriak-riak
Nyaring
Lantas aku melahap sunyi
Dan kemudian kau memekakkan
Lantas kau melahap sunyi
Dan kemudian aku memekakkan

Nadiku mengalir dari lengan, membasahi baju-baju
Ciumanku menguliti lekuk tubuh
Basah. Kasur ini,
 dengan darah

Thursday, August 10, 2017

1 Agustus 2017

Lucu aku bisa jatuh pada sebuah nama
Fauri, Adinova.
malam mengantarkan kita
Hingga balkon lantai tiga
dialek jenaka hingga agama
mengeja kata,
mengecup pertama

aku ingin merengkuh tubuh
dan menyeret waktu
agar lama berkelindan
hingga datang restu

bersamamu tidak pernah kulayarkan duka
atau mungkin ada, namun kabur
melulu kau sayapkan bahagia
atau mungkin kita tahu, dunia bukanlah hitam putih belaka

di pertiga malam
tubuhmu selalu ingin buatku bercinta
bersemayam
namun juga
menafaskan doa
dalam-dalam.

kau membuatku kerasan, seperti pada luas laut
gelisahku tak lama, kau selalu berkata,
“berceritalah. jangan cuma
menahan mendung. sini, masuk. aku bukakan mulut”

kau lebih ingin aku jadi pujangga
katamu di bawah langit muda Karimun Jawa
tepat ketika usiaku berganti angka
aku lebih ingin kamu
jadi denganku saja.


Lucu aku bisa jatuh pada sebuah nama
Fauri, Adinova.


1 Agustus 2017
21.35

Fiksi Fauri

Aku telah lama tidak menulis sajak cinta
Menurutku, isinya itu-itu melulu
Banyak rindu, banyak sedu
Lebih-lebih metafora
Alih-alih rasa yang disiksa

Mungkin aku kurang baca buku
Otakku digeragapi kutu
Yang dikirim kamu
Sehingga
Melamun adalah canduku yang baru

Puisi cintaku, kadang
Terlalu lugas, terlalu gegas
Isinya menumpah cemas
Bukannya menulis kualitas sajak kompas

ah tapi,
Aku hanya ingin membelah sunyi pada pukul tiga pagi,
bukan menghujanimu fiksimini
karena bagiku
kauaku adalah sebuah maharoman.

Wednesday, May 3, 2017

à la prochaine, Dinov.

Senja masih akan hadir sekitar satu jam lagi, beberapa pasangan telah tiba dan mencari tempatnya masing-masing, semakin banyak orang berdatangan, jauh lebih banyak dari sebelumnya, mereka menikmati matahari perlahan membenamkan tubuhnya di pelukan cakrawala. 

Ini petang di hari ketiga, penuh kita yang bicara tentang apa saja. Konstelasi dunia hingga rasi Andromeda, dari Clausewitz yang tidak kau mengerti sama sekali, Baldwin yang membuatku pusing setengah mati, atau perdebatan panjang karena bersikukuh aku bahwa politik adalah satu yang elok nan cantik, sedangkan kau bilang bahwa itu hanyalah ornamen dari studimu yang menggelitik, - berdua kita di dekat jembatan sebelum jalan membelok ke pedalaman menjauhi bibir pantai.

Aku mendongak ke atas dan kulihat mega-mega bergulung, seperti kapal-kapal yang berlayar di lautan langit, membiru, begitu biru, tapi yang ku tahu, tak ada yang betul biru di atas itu.
Aku mau jadi senja.
     Mustahil. 
Coba besok aku masih di sini. Aku ingin memperlihatkan bagaimana aku menjadi senja.
     Ini antara kamu gila atau jenaka. 
Kau keras tertawa.

Langit menjadi begitu rendah. Seperti hendak rebah. Dan kemudian kulihat langit bergeser, warna berubah dan udara berganti. Sudah lama kutanyakan kepada diriku sendiri bagaimana caranya semua ini harus diberi makna.

Kau menarik aku lebih dekat. Pelan-pelan kau melingkarkan tangan kananmu ke pinggul, seraya mengelus dalam pelukan,
         laut utara mulai dingin membekukan.
 Aku balas menoleh, jawabku simpul tersenyum. Lalu terdengar suaraku lirih dalam sebuah nyanyian. Kau diam sejenak, matamu masih ke arah laut.

Langit sedang terang, bersemut gemintang, jauh suara musik reggae dari speaker  mulai terdengar dari rumah penduduk yang jumlahnya tak seberapa, di depan mata kita hamparan laut mulai berusaha tidur tenang.

Bila malam menjejak, memanjang sampai mau beranjak di penghujung lain, seiring dengan pasang naik, dari zona pesisir sebelum jalan membelok ke pedalaman, dari salah satu rumah yang dialingi pohon-pohon bakau dari tangan lautan itu akan bangkit tembang pilu mirip lolong..

Dahimu mengernyit, aku mencubit dan menenggelamkan mukaku. 
     
       Kamu mencoba menakuti saya?
Aku kecil terkekeh. kamu kan penakut. Jahilku.
     
Diammu jenak. 
      
      Saya lebih takut tidak bisa bertemu kamu lagi.

Udara mendadak dingin, padahal angin mati. Malam tiba di kulminasi. Ketidakrelaan mungkin mengantarku pada ilusi.  Ini terdiam yang paling bingar. Sebuah jeda emosi sebelum kembali mengeras menyerukan teriakan melengking, tidak ritmik tapi dalam, seperti melodi tajam yang diulang-ulang, semacam blues atau pekikan rock yang paling distortif—dan karenanya menyiksa yang mendengar.

Adinova.
         Kau mengerling tanpa menoleh,
         Kenapa?
Tidak apa. Aku hanya selalu suka memanggil namamu.

Hujan merintik, mengguyur ombak yang terus berdansa dengan angin dan pasir pantai. Angin bangkit, daun meriap dan sesekali ada derit batang yang bergesekan. 
       
Kau mau ikut ke hutan?
    
      Jangan bercanda, Perahuku tiba sebentar lagi. Menggelengku dan mengeratkan genggam. Kalau kau?

Saya menetap di sini. Entah sampai kapan.
Kau menebar pandangan ke lanskap. Ada badai yang selesai bertiup di matanya, dan kemudian diam selamanya.

Betapa memikatnya impian, melebihi kenyataan. Perahu itu semakin mendekat, tapi sekarang tak tepikirkan sedikitpun untukku pulang.

Aku bergeming, sepasang mata ini berair.
dan aku lebih ingin dunia berjalan tanpa waktu.


Mendadak semuanya menjadi tidak sederhana.
Jakarta, 3 Mei 2017




Thursday, March 16, 2017

Aku melihat suaramu jadi bayang, 'aku tak mau jadi kemarin'. 
Dalam erat, risauku kaudekap, kemudian bicara kita dalam
Isyarat, hening ini menjadi sebegitu nyaring. 
Nanti. katamu. Nanti dalam selisipan rindu, kita bertemu, seperti
Orion dan Taurus yang duduk di tepi sungai Eridanus. (atau seperti)
Vega dan Lyra, yang terperangkap pandora dalam mata.
Agar kekal senantiasa. Agar waktu tak menyublimnya menjadi
Fana.
Antara (akukamu) dalam
Ufuk - (dalam kaki kaki langit) 
           biarlah ruang menjelujur waktu, dan semesta mengeja
Rahasia.
Indah. Kusimak senja mengeja namanya - dalam tujuh ribu bahasa.

Monday, February 27, 2017

Difusi Pagi.

Hari masih muda dan masih pagi matahari untuk tiba, kau sudah menggamit tanganku untuk menuruni anak tangga, yang jumlahnya ratusan, yang pinggir-pinggirnya cukup tajam karena penuh dengan koral buatan. Kalau tak salah, jarum arloji masih menunjuk angka empat, dan seingatku, kau barusan membangunkanku cepat. Tanpa sempat kugubris setangkup roti yang telah tersedia di meja, kau sudah membawakanku sendal dan kemeja.

Tidak ada yang bergerak selain ombak kecil yang pecah. Tidak ada yang terdengar di telinga selain sepi yang megah. Matamu mengarah ke ufuk timur, ungu horizon dan merah mega mulai berbentur. Sedang aku, aku diam mengamati kamu. Karena sunyi memantulkan kedalamannya sendiri.
Ada dunia yang sulit kujangkau. Ada imaji yang jauhnya terlampau. Matamu mencari dimana biru itu berada. Entah apa yang ada dipikiranmu, Atau mungkin sekedar mengabar pada angin.

Kepiting-kepiting kecil merayapi kakiku yang telanjang. Kau tertawa melihatku misuh-misuh karena mengusirnya. Dan kau, selalu minta ditemani. Aku tahu kau selalu menyukai tempat ini.  Namun tak pernah kau jelaskan alasannya. Apakah darahmu lebih berdesir jika kau berdiri seperti ini di pesisir? Apakah jantungmu lebih berdetak jika melihat air laut menyebar derak?

Dan kau mulai bersenandung.
Nyanyian itu  membuat  lingkaran gema  di telinga.  Menutup  batas  akhir  dari  kemampuanku  menjangkau  sesuatu. Bersandar pada karang, mengeja  yang  nyata  dengan  terbata.  Mengejan  kata dengan  huruf  tak  terbaca.

Entah apa yang membuatmu tersenyum dan merona. Kau seperti menemukan keasyikan yang paling purba. Senja dan matahari muda, dua hal untukmu yang mahalnya lebih dari apa saja.




Wednesday, January 25, 2017

Menunggu Tamu

Sore ini,
Kau menuang Macallan 18 ke dalam satu gelas bening dan menyimpannya di meja. Kau masih menungguku pulang, Sayang? Gelas itu berinisial namaku. Kenapa kamu masih saja? Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.   

Kau memutar Is You Or Is You Ain’t My Baby, piringan hitam itu sudah sering diakrabi oleh Cab Calloway and His Orchestra. Kau masih menunggu aku menggamit tanganmu dan kita berdansa di tengah rumah, Sayang? Lagu itu lagu kesukaanku. Kenapa kamu masih saja? Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.  

Beberapa jenak kau menyiram semak-semak, perdu krokot, sirih, srigading, geranium, dahlia, petunia, dan mawar kuning yang tertanam di halaman. Kau masih menunggu aku mengambil selang dan membantumu, Sayang? Tanaman-tanaman cantik itu koleksiku. Kenapa kau masih saja?  Kau tahu aku tidak akan suka itu. Kau tahu aku tidak tahan, melihatmu.
 
Aku mendengarkan sambil terus mengamati bibirmu bergerak. Juga membaca, dalam benak. Di sana masih tumbuh rimbun kenangan saat kita tertawa tergelak. Dalam duniamu waktu dapat terhenti seperti gambar, tergetar-getar dengan daya semesta yang tertahan. Jika saja bisa, kita menangis sambil berpelukan.

Jangan, sayang. Kumohon.

Jika kau masih membujukku untuk pulang, dadaku ini seperti di mural. Permanen rayumu menjadi warna di dinding jantung. Seberapa kencang kau tersedu, tidak akan pernah kembali membawaku. Mending kau bersamaku, dari sini, aku menyusuri ingatan-ingatan yang menyenangkan. Sambil berjingkat-jingkat melompat menghindari lubang-lubang memori hitampahit. 
Angin berembus tak kencang, tak pelan. Beda dengan airmatamu yang menghambur terhuyung-huyung. Aku mengerti, Sayang. Ada sesal dan ngilu yang tak terkatakan. Ada luka yang terus mengintip di selip ingatan. Menyakitkan.

Ketika senja menepi di antara langit-langit, aku hanya berharap tangismu berhenti.


 ilustrasi;lakonhidup.com


 
25.01.2017

Wednesday, January 18, 2017

Asa

jangan buang mimpi-mimpi itu!
kalau mau
kau kubur saja,

di langit.

Prelude

Ketika dadaku mendadak kaku
Pasti itu kamu
Bergelayut;senyummu seraut
Namun kubiar
Hingga biru, tak lagi berdebar
jantungku

Karena
Kau merasa denganku seraga
biarlah aku menata airmata