Wednesday, June 26, 2013

Yogyakarta

Yogyakarta memberikan saya karma, lagi.

Lima hari ke belakang, saya datang ke kota ini, dan kunjungan kali ini cukup memperbaiki hubungan saya dan Yogya yang tidak pernah baik-baik saja. 
dari dulu Yogyakarta tidak pernah berhasil memikat hati saya, tidak pernah membuat saya kerasan, tidak pernah memberikan saya kenangan yang istimewa. Tiap saya ke sana, ya.. gitu-gitu aja.

Entah kenapa, dari dulu hubungan kami tidak pernah bisa harmonis. Saya tidak pernah suka kota itu. Kalau ada perbincangan tentang liburan dan Yogya ada di opsi itu, saya selalu akan menjawab, "Enggak! Kalo liburannya ke sana aku enggak akan ikut." dan orang-orang yang saya ceritakan tentang hal ini pasti selalu bertanya;
1. apakah ada hal buruk yang pernah terjadi di sana?
2. apakah ada kenangan yang bikin galau? putus misalnya, atau apapun tentang percintaan?

nomor satu dan dua jawabannya sama, tidak.

3. Jadi kenapa  bisa segitu sebelnya?

Jadi kenapa? ya gitu aja. Jawaban saya beserta alasannya akan selalu 'ya gitu aja.' Gitu aja, karena saya enggak suka panas dan enggak suka manis. Sebenarnya, first impression saya lah yang membuat hubungan ini memburuk. Saya enggak pernah suka gudeg, udara panas, dan makanan manis, yang justru dengan mudah bisa ditemui di sana. saya selalu tersiksa makan di sana kalau makan, selalu dengan catatan berulang "Mas jangan manis ya." atau, "bisa minta garam?"

Dan liburan sekarang, setelah dari pantai, papa saya ngajak liburan, alih-alih Bali yang diharap, telinga saya malah mendengar "Teh ke Yogya yuk, lima hari." 
Iya, lima hari. Langsung terbayang betapa saya akan mengeluh selalu ingin pulang.
Karma lagi.  Destinasi yang (sebenarnya) paling saya hindari untuk (setiap) liburan, malah dikunjungi.
Dengan alasan kesibukan Papa yang super, akhirnya saya mengiyakan. 

Dan kami memutuskan untuk sedikit mencoba memperbaiki hubungan ini.

Selain dari hotelnya yang memang, amat-sangat-super-pewe, saya memperhatikan sedikit tentang Yogyakarta yang bikin saya bangga. Kota pelajar memang pantas disandang untuk dia, serius. Tidak ada satu baligo, pamflet, papan-papan ruko yang tulisannya typo. Mau warung nasi atau kios rokok sekecil apapun. Saya tidak menjumpai kesalahan-kesalahan penulisan yang acapkali dilihat di Bandung, tidak ada vermak jins, gorden, fhotocopy, tehniker gigi, dan lain lain. Sepertinya, kalau masuk kelas bu Rosida, Yogya bab EYD lulus dengan nilai A. Senang lihatnya, well educated semua. Terlepas gimanapun caranya. Yap, sedikit menggambarkan bahwa memang di sana pendidikan enggak pandang bulu, ya merata. semua sepertinya tahu penulisan yang baik dan benar.
Candi-candinya yang cantik. Sudah jelas. Saya kemarin ke Prambanan. Akhirnya. Setiap ke Yogya candi ini tidak pernah dilirik sama sekali. Sebenarnya mungkin karena enggak ada kesempatan. Pengecualian, karena pada dasarnya saya cinta kebudayaan, sendratari dan sebundel kisah perwayangan yang Ia punya, memang selalu bikin horny. Saya betah berlama-lama diam ngelihatin emak-emak lagi nge-batik, atau khas bau dupa dari Mirota dan Raminten, juga debu museum-museum, keraton, ya pokok'ne yang gitu gitu...

Sebalnya, tahun ini, Yogya punya hal yang saya cintai. Satu-satunya.

Kedua sahabat saya kuliah di kota ini. Dan itulah yang membuat saya bertujuan dan akhirnya mau liburan ke Yogya. Iya, cuma ini. 'Cuma' sekedar mengunjungi mereka yang memang akan-selalu-jarang-sekali dan amat-sangat-susah-sekali diberi kesempatan untuk bertemu. Mungkin terakhir kali kami berkumpul, kurang lebih setahun yang lalu. Dan kemarin, kami mengadakan pertemuan kecil. Hanya makan malam sederhana.
Tenang rasanya melihat kedua sahabat saya menggemuk di Yogya, sahabat saya yang satu naik tujuh kilo, yang satunya lagi mengeluh jerawatan. Yang satu mengeluh susah move on, yang satu masih awet LDR karena pacarnya sekarang ada di Jambi. Selebihnya tidak ada yang berubah. Dekat dengan mereka, satu sofa, satu kota, nyamannya masih dan akan tetap selalu sama. Bahagianya, melihat mereka yang juga bahagia dan betah di Yogya. Selalu ada takdir kecil yang entah darimana datangnya, tiap pertemuan, selalu saja kami mengenakan hal yang sama. Dan untuk makan malam kali ini, softlense kami sama, dan warnanya sama juga. Saya sadar dan kami pun tertawa.

Tidak ada yang lebih hangat dari sekedar tertawa dan curhat-curhat kecil dengan sahabat.

Yogya, saya minta kamu rawat, kamu jaga kedua sahabat saya baik-baik, ya. Saya makin sebal sama kamu, saya cemburu, kamu sekarang punya apa yang saya cinta. 
Huh.

Kabar baiknya, hubungan saya dan Yogya sedikit baik, sedikit saja, ya. Kabari kalau semua makanan di sana sudah asin, dan udaranya sesejuk Bandung.



Wednesday, June 19, 2013

Renung

Jadi waktu itu, di sebuah cafe di Bandung, saya pesan satu Chamomile  Tea, dan saya bilang ke mbak-mbaknya untuk pisahin gulanya, berhubung saya  enggak suka (banget) teh manis, saya ngewanti-wanti mbaknya sampai duakali. Saya selalu rewel kalo masalah mesen minuman teh. Semua harus pas, rasanya, pahitnya.
Dan pas dateng... rasanya manis. Banget.
"Mbak kok manis?"
"Eh iya lupa dipisah.."

Ya mau digimanain lagi? Udah nunggu lama dan kehausan, saya minum aja tehnya. Terlajur bete banget, kesel. karena saya bilang ke mbaknya sampai dua kali. "Mbak gulanya pisah ya." Dua kali diulang, bayangin. Saya minumnya sambil  murang-maring, muka sebel saya kelihatan banget kayaknya, soalnya sampai pacar saya waktu itu bilang, “Yaudah pesen lagi aja atuh. Ganti.”
“Enggak usah deh. Udah diminum juga, kagok.”

Walaupun akhirnya satu gelas teh manis itu habis, tetep aja nyisain rasa gondok.  Pengen aja ngerutuk ke mbaknya kenapa bisa lupa, padahal udah di tekankan berulang ulang.
Terus saya diem, yah.. semua momen ada aja yang bisa direnungi.

Yap, Ada kalanya, di hidup ini, enggak semua yang kita ingin, yang kita mau, HARUS selalu datang dengan sempurna seperti yang diharapkan. Meskipun kita udah berusaha keras untuk itu, ada beberapa hal-hal di dunia ini yang harus diterima seperti itu adanya. Yang kalau diubah, udah telat, atau ngebuat hal itu jadi enggak enak, malah ngerusak.
Yang saya rasain sih, gitu.
Ada kalanya kita "kejebur" aja, rasain semua perasaan (yang kalau kata saya)  "pasrah-yaudahlah" itu seperti apa.

Jadi? Kalau sudah berusaha untuk mendapatkan, tapi hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, ngapain?
Saya sih, berusaha lagi, belajar lagi.
Berusaha menerima. Belajar menerima

Ya, Terima aja.

#bukanperkuliahan #celotehandoang #romantisitubukanParis
"Pernah lihat sepotong semut membawa beban begitu berat, tetapi karena tahu itu makanan dan bermanfaat untuknya, sejauh apapun ia akan terus jalan."

Wednesday, June 12, 2013

"Kau bisa lihat, Lohomora. Bahkan matahari di tanganku tak dapat membakar urat-urat pembuluh. Sebenarnya, matahari, saat senja ia tenggelam di arteri."

Tuesday, June 11, 2013

Sempat Bicara

Hallo,
Bandung hujan lagi, siang-siang.

Macet dimana-mana, pengemis di jalanan makin banyak, air got membludak, sampahnya keluar kemana-mana. Entah kenapa saya suka memperhatikan semuanya dari dalam mobil. Di luar, banyak bulir air bekas hujan menempel, seperti kecebong-kecebong kecil. Dan entah juga, saya suka menyentuhnya dari balik kaca, Pak Supir di depan juga tenang-tenang saja.
Tiba-tiba disebelah jok saya, ada kamu. Kamu yang mukanya selalu tidak pernah mau tampak. Kamu yang selalu saya sebut si dari-leher-ke-bawah. Kamu yang bicara tapi tidak pernah saya tahu darimana asal suaranya. Memang si-kamu-pendiam, selalu mengikuti di saat-saat tertentu.
Kali ini suaramu parau, entah kebanyakan bicara atau memang sengaja tidak mau saya dengarkan seksama, tapi semua percakapan pendek kita, terasa sangat intim. Seperti... saya mengenalmu dalam-dalam.

Kau pasti akan memberikan kuliah-pendek lagi, kamu pasti akan betah di jam macet ini, seperti guru, dari mulutmu muntah nasihat-nasihat panjang. 
Baiklah,  tentang apa sekarang?

“Menunggu macet ya? Bosan?”
“Tidak, malah suka. Kenapa kamu di sini lagi?”
Mau mendongeng.”
“Ceramah lagi?  Come on..”
“Ringan kok, tentang cinta saja.”
Aku melotot, aneh.
“Jenis cinta apa yang kau suka? Pernah dengar bahwa rupa dan kata punya jenis cinta yang indah? Seperti... visual dan lingual, cat dan bahasa, lukisan dan prosa, atau antara pengarang dan ilustrator. Jika mereka jatuh cinta dengan benar, mereka akan membuatmu takjub dengan estetika yang tercipta.”
Dan kau memulai.
“Kenapa?”

“Karena dua-duanya punya cinta yang membangun. Yang menjadikannya lengkap satu sama lain.  Sedikit yang tahu, karena masing-masing sisi memang sudah dapat dilihat indahnya jika mereka sendiri. Fitrahnya, rupa selalu egois, dan kata memang terkenal rumit, jadi malas yang mau berkenal dengannya. Andai rupa sedikit saja menengok kata, dia bisa memperkaya dirinya sendiri. Bahkan jauh bernilai.”
“Dan kata?”
“Iya, dia sibuk juga. Seolah seperti punya latar sendiri, dan tulisan selalu pelit pada lukisan. Bangga dengan kerumitan yang ia miliki, harus ditelaah satu-satu. Setiap rupa mau datang, kata menutup diri rapat-rapat. Berita bagusnya, orang-orang mulai mencoba menikahkan mereka.”
"Seperti.. rumah seniman Iran itu ya?”
“Iya, dikemasnya memang seperti itu, antara lukisan dan cerita. dijadikan rumah karya..”
“..Kalileh va Demneh."
“Iya maksudnya itu.”


Bahkan apa yang kamu maksudkan, saya sudah tahu jelas. Saya bisa rasa, kau sedikit sebal karena ternyata saya, ehm... cukup pintar.

“Kenapa? Kau kaget karena saya juga tahu tentang apa yang kamu bicarakan?" 

“Kamu bukan perempuan biasa. Di darahmu memang mengalir darah Lohomora, saya selalu tahu. Cantik, pintar, agak sedikit gila...Cerdik.”


“Jadi, analogi lukisan dan tulisan yang kamu ceritakan sekarang sebenarnya menuju kemana?” 
 “Kau benar-benar lupa?”

 Aku mengerling, di luar masih hujan.

“Tentang sesuatu yang kita kerjakan bersama, dulu. Sedikit lagi kita berhasil membuat pameran tunggal. Kita telah undang banyak orang. Akan menjadi sesuatu yang sangat besar. Kau benar-benar lupa?”


..Bahkan saya datang mengunjungi kamu tiap harinya, hanya supaya kau tidak mengusangkan aku. Bandung semakin tua, dan saya tidak mau ingatanmu kian renta.”


***

“Hallo Bu, iya ini Neng bicara sendiri lagi siang-siang. Iya. Saya ke kantor ibu sekarang.”

Hallo, Bandung hujan lagi siang-siang.
Saya memang mengenalmu, dalam-dalam. 

2013



Sunday, June 9, 2013

When I get upset, I shut down. I feel like I should be crying or screaming or something, but I can’t because I’m turned off. I go silent and don’t talk very much. I just sit there and think.

She has her days when she feels like breaking down  
 and crying until her eyes hurt because she feels like 
everything is falling apart and there isn’t one thing she can do about.
Like she has no say whether or not her life goes well. 
Life isn’t an easy ride. 
There are ups and downs, twists and turns, but in the end, 
she smiles and tells herself that it’s alright.
Dear God, Please give me the strength and faith to help me get through each and everyday for it is a challenge. My heart is heavy and my soul aches. Give me the courage to go on and fight to make me well again. Amin.

know not everything I wished and hoped for will come true. Please give me strength to let go and entrust everything to You. I understand You won’t allow me to be in pain for the sake of hurting but for the sake of learning. You know me more than I know myself that even when I feel alone and unloved, there is still someone who knows all my flaws yet loves me unconditionally like no other human can.
aku hanya ingin berdoa
semoga senja yang selalu kubagi dua
tidak sia-sia

“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”

Hole

merinding tidakbisatidur sakit tidakbisamenangis airmatakering kedinginan hampirpagihari jamempatsubuh luarrumah berjalankaki masalalu kejam jahat kalah egois jiwa setia berhenti takut lubangbesar lumpuh hilang akal cemburu dendam emosi jilbab masak duatahun gendut pecah duaribusepuluh kenangan darah akhir bohong bohong bohong bohong bohong

tidakadakata
tidakberkalimat

ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang ulang

Matahari terbit dan hari segera memagi. mataku belum juga senja.

semoga makin nikmat perihku.



05.38 A.M

Friday, June 7, 2013

Khusyuk aku membaca pembuluh di balik rambut-rambut kakimu
Di dalamnya ada sungai darah panjang
Yang selalu kering
Karena kau tak juga segera bertemu aku

di bawah pohon mangga

di bawah pohon mangga
aku tak banyak meminta
semoga kau cepat datang, bawa cita-cita dan bawa anak kita
yang lahir dari jari-jari perdu
yang selamanya akan tetap begitu

Anak Bumi

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari rahim wewangian hutan kayu, tangis serak serai ombak laut dan tawa nyala matahari

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari tungku berani, tangkup angkuh dan gelas marah

ayahku langit, ibuku sungai
aku dilahirkan dari kerlip malam, jentik hujan dan beranda waktu

hingga sampai tangan mungilku keluar
aku ; dari semak-semak bumi yang makin renta


Balada Kuda

kakimu dampal kuda, nampak lelah seharian dipaksa bekerja
kakimu dampal kuda, ada bekas tanah basah bukit senja
kakimu dampal kuda, keletak-keletuk 
besi tebal tua karat dimanamana
kakimu dampal kuda, kau berair liur, menetes nanah
kakimu dampal kuda, tidakkah tuanmu merasa kau lelah?

Lohomora II

nyala matanya tidaklah semerdu api
nyaring suaranya jauh seterang mega
lohomora melara
kakinya digeser lewat barak demi barak
tidak lantas mengaduh
harumnya bermula dari bibirku
yang meracau
lohomora kau diperbolehkan menginap
tidur saja; kau tanya di mana
boleh di sebelah gurat lelahku, atau jika kau mau
di samping rasa kantukku yang terkucur

sepuluh menit kemudian, lohomora mendengkur
suaranya serak tipis
ah! aku tergoda

Wednesday, June 5, 2013

Geo(love)gi

seperti episentrum, tegak lurus, diatas fokus. dan ia menjalar layaknya gelombang seismik, terus menerus.
atau mungkin seperti endapan karbonat, yang masih belum terkonsolidasi dan aku akan menunggu ia melebur menjadi satu.

ini tak sebanding dengan kristal hexagonal, yang dengan mudahnya dapat terjadi akibat pergantian mineral kalsit dan dolomit, atau sering terjadi akibat dari rombakan batuan. maaf, aku permanen atas rasaku. tidak dapat dirombak, diubah, maupun dipecah.

aku tak mengenal iderit, ankerit, maupun rodokrosit, yang sering di anak tirikan atau disepelekan dalam satuan karbonat. satupun dari sifatmu, tidak. semua penting untukku. apapun.

p.s: dari tumpukan notes facebook tahun 2011. Ceritanya saya dan Arya lagi lomba nulis puisi dengan bidang OSN masing-masing #eaaaa

Hadiah

“Jadi mau kado apa nanti ulang tahun?”
“Apa ya? Belum kepikiran.

Tiga bulan kemudian, kamu masih mengucapkan pertanyaan yang sama, namun bedanya umurku sebentar lagi berganti.
Tepat satu hari lagi. 

Aku tidak percaya kamu masih kebingungan mencari apa yang akan menjadi persembahan untukku. Kamu biasanya selalu lengkap dengan kejutan-kejutan kecil, waktu itu saja, sebelum aku memulai hari, kamu sudah menghujani kamarku dengan awetan bintang laut, favoritku. Kau sahabat paling romantis seumur hidup. 

“Jadi, mau kado apa nanti ulang tahun?” 
“Berisik.”
Lalu kita tertawa lagi.

Tidak ada bedanya, usiaku lima, tujuh, sepuluh, tiga belas,  lima belas, sembilan belas, bahkan dua puluh sekali pun, aku masih memiliki kamu sebagai sahabat romantis nomor satu. Jika boleh kubocorkan sedikit, kamu itu sedikit berlebihan, biarlah kuanggap karena kamu memang perhatian, tapi tanpa kamu beri apapun, kau akan tetap mendapatiku sebagai sahabat perempuan tigabelas tahun-mu.
Matahari terbenam sekarang, seperti biasa, pasir menjadi alas kaki kita jam-jam begini.
Aku pemerhati ulung, kau tak pernah sadar. Itulah cerdiknya aku, tigabelas tahun. Aku senang menjadi pemerhati kamu.
Aku takut diujung laut sana, kau akan menjadi matahari yang perlahan turun tenggelam, dan hanya beberapa detik setelahnya, langit ikut berubah. Gelap. Aku ingin menahan waktu, agar tak berjalan membawamu, yang entah kemana.

“Tujuh jam lagi, dan aku masih belum tahu. Kamu mau apa nanti?”

Aku memilih untuk tidak menjawab. Pertanyaan itu selalu terdengar terlalu tinggi. 
Melihat matahari perlahan dimakan laut adalah hal yang indah sekaligus mengerikan. Dan selalu berhasil menjadi tontonan yang membuat aku nikmat menganga. Mengisi pikiranku dengan milyaran hal baru. 

“Diam dulu mataharinya sebentar lagi hilang.”

Gelap.

“Aku ingin warna langit tadi, yang itu. Di antara batas senja dan malam.”

Setelahnya. ketakutanku memang terjadi.

Hau(mim)usah(api)

Hausaha   
    usah    hausaha
haus             s
   usaha         a
                      h
mimpi
mimpi
mimpi 
mimpi 
mimpi 

Kemudian mimpi disuruh berlari, ia yang memilih tidak mau melepaskan diri
tidak usah katanya, tidak usah
jangan usaha 
nanti haus



"mimpi tak berlengan, tetapi akan selalu ada jika engkau menginginkan. ketika badai datang atau api menelan bangunanmu, batu-batu itu tak akan hancur atau jadi abu. mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru." -filosofi kopi.

Depresan

Lonceng tengah kota berdentang dua belas kali, gagak-gagak betina datang untuk tidur, setelah memberi makan anak-anak hitamnya di belakang gedung tua pinggir jam raksasa. Lolongan serigala tua yang tinggal di pinggir bukit saling sahut dengan puluhan klakson jalan raya pusat perbelanjaan, merasa tidak disambut, serigala turun ke kota;
Lohomora sedang bermain lilin dan korek api pada saatnya
jalan di pinggir gorong-gorong gelap, yang acapkali datang mafia; sekarung mayat di tangannya dan dibuang begitu saja
lantas ibu gagak-gagak tadi mengacak mayat, yang kadang pengemis dari kota tetangga
kaki-kakinya dampalan, tebal dengan kudis, atau hanya bulu lebat yang terlihat
bukan jadi makanan sehat untuk anak-anakmu, Ibu Gagak!
Lohomora menyalakan sebatang lilin dan menjatuhkannya di atas bau-bauan
mungkin kesturi,
atau mungkin
bau busuk datang dari minyak rambut mayat pengemis yang berbulan-bulan tak ditemukan  
Serigala tengah separuh jalan, matanya mengecil pusing melihat banyak bongkah besi penghasil asap monoklorida bulak-balik di jalan raya

Lohomora jelmaan serigala, setelah lilin di tangannya mati, seluruh penghuni kota akan menjelma menjadi lolongan panjang

Tuesday, June 4, 2013

Anak Perempuan Papa

Ijinkan anakmu, Pah, untuk menceritakan sedikit rasa bangganya memiliki Papa yang romantis. Saya adalah sosok perempuan yang kekeuh bahwa keromantisan dan keindahan bisa datang dari kesederhanaan. Dan memang sebenarnya romantis itu, sederhana. Seperti hashtag di twitter #BahagiaItuSederhana. Yap bukan hanya Bahagia, tapi Romantis juga! 
Papa bukan datang dari keluarga bangsawan, atau  milyuner yang uangnya bisa datang darimana saja, papa juga bukan tipe orangtua yang gampang beliin ini itu untuk anak-anaknya. Dan saya juga setuju, romantis tidak datang dari hal-hal seperti itu. Adalah kembali, bahwa romantis bisa datang dari kesederhanaan, 

Yang selama ini papa lakukan selama 19 tahun.

Sedikit tentang Papa, papa itu tegas, perfeksionis, pekerja keras, introvert, tapi romantisnya bukan main. Ada beberapa momen yang akan selalu saya ingat, dan i'll swear, hanya Papa lah lelaki satu-satunya yang pernah melakukan hal se-sweet itu.

Ketika itu, kalau tidak salah saya masih duduk di bangku kelas 5 atau kelas 6 SD saya lupa persisnya, sepanjang jalan menuju rumah, saya merengek minta Papa untuk membelikan parfum baru, sebut merk saja ya, Anna Sui. Ya, saya masih ingat. Karena siangnya Papa dan aku jalan-jalan ke suatu pusat perbelanjaan di Jalan Gatot Subroto Bandung. Dan papa dengan kalemnya menjawab  “Nanti ajalah, minggu depan ya...” mendengar papa yang tidak berhasil saya enyuhkan hatinya, saya makin rewel dan pulang dengan muka murung. Dan papa tidak ubahnya cuek bebek, flat selurus-lurusnya rambut rebonding dari jalan sampai rumah. Beberapa hari setelahnya, entah hari keberapa, saya pulang sekolah dan terkejut melihat di atas tempat tidur saya terletak sebuah kotak kecil hijau yang tidak lain adalah parfum yang saya inginkan, dan ternyata terdapat kertas di bawahnya, bertuliskan, "Dipakai ya Teh Parfumnya. Love, Papa."
                                                                                                                
Itu adalah hal yang sangat romantis menurut saya, dan nilainya bukan terletak pada materi bahwa papa akhirnya membelikan parfum. Tetapi niat beliaulah yang menge-set, membentuk suasana, untuk tetap terlihat cuek bebek mendengar rengekan saya, padahal ternyata diam diam dibelakang beliau malah membelikan parfum, lalu dengan sengaja menyimpan parfumnya di atas kasur, bahkan menuliskan surat di bawahnya.

Atau misalkan, hal yang sebenarnya papa mungkin mengganggap saya tidak tahu (sebenarnya saya tahu betul hehe) Sampai sekarang, sampai tahun ini,  papa tidak pernah lupa untuk mencium kening saya di saat (yang mungkin papa kira) saya sudah terlelap tidur. 

Romantisnya Papa juga terlihat, ketika saya berulang tahun ke-19 kemarin, karena ada rezeki, papa menghadiahkan saya sebuah mobil. Bukan, sekali lagi yang ditekankan bukan hadiah mobilnya  Sehari setelahnya, di pagi hari papa membangunkan saya dan dengan khas-nya,  oh iya... Papa adalah orang yang sangat prosedural, bagaimana Ia mengingatkan dalam setiap hak, tentu ada kewajiban. Papa mengajak saya untuk “mengenal” mobil itu lebih banyak. Beliau menyuruh saya untuk membuka segala macam kotak yang ada di bagasi belakang, dongkrak, ban, dan segala macamnya.  Tangan kami sampai kotor pada saat itu, karena Papa juga mengajarkan saya bagaimana caranya mengganti ban (ternyata ban itu berat sekali, haha). Hingga sebagai perempuan, saya bisa mengganti air wiper, mengetahui dan memasang klakson, mencuci mobil hingga bersih sesuai dengan tata cara, hingga mengantre untuk servis onderdil. Haha lumayan lah, ya?

Saya sempat berpikir, “Apaan sih, ginian doang.”  Tapi Papa hanya ingin anaknya nanti tidak kenapa-napa di jalan, ya kan?
Kami menghabiskan waktu setengah hari hanya untuk mengotak-atik hal-hal seperti itu. Dan Papa itu detailnya minta ampun.  “Ini Teh,  obeng ini.. coba cek di operational book nya ada engga?” lalu, “Nah ini segitiga pengaman, cara pakainya gini. Kamu nanti kalau bannya kempes atau apa-apa usahakan cari yang jalannya rata... sepi, dan jangan di  pinggiran yang padat.” Atau, “Nih coba, kalau lampu ini menyala, artinya apa yang belum?”
Papa sampai segitunya, ya? Iya. Memang. Tapi menurut saya, itu keromantisan papa dengan kemasannya yang lain.

Dan yang baru-baru ini, pada saat saya mau Ujian Akhir Semester, saya sering kesulitan belajar di malam hari karena lampu belajar saya rusak. Entah apanya, karena sudah berulang kali diganti bola lampunya pun tetap tidak menyala. Saya sampai seempat rebutan lampu belajar dengan adik pertama saya, menyebalkannya lampu itu bukan pertama kalinya mati, papa sudah dua kali membetulkan lampu itu dan pasti dalam waktu sebentar akan rusak lagi. Dan hal romantis antara papa-saya-dan lampu itu adalah, papa niat membetulkan lampu belajar saya, (sampai beliau bawa keluar kota dan membetulkannya di sana lalu kembali dengan lampu yang sudah betul) Padahal kalau ingin tidak ribet, papa bisa membelikan saya lampu belajar baru ketimbang mengganggu pekerjaan beliau di sana. Rasanya, papa ingin memberikan hasil “buah-tangan”-nya kepada saya. Ah, Papa memang selalu menyimpan effort di mana saja. Saat papa pulang, papa masuk ke kamar saya, dengan sederhana papa memberitahu, "Nih Teh, lampunya udah jadi, tapi warnanya kuning, enggak apa-apa ya?"

Romantis untuk saya bisa datang dari hal sekecil apa saja, dan hal terabsurd sekalipun. Romantis bisa datang dari menyempatkannya Papa di sela kesibukannya, untuk sekedar BBM, telepon, ataupun kalau papa sudah kangennya keterlaluan, Papa menyuruh anak-anaknya untuk dadah-dadah ke CCTV (semua saluran cctv di rumah saya terkoneksi langsung ke handphone beliau) Romantis bisa datang saat Papa sama sekali tidak gengsi untuk mengekspresikan cintanya untuk keluarga, rindunya, saat Papa supersibuk. Satu waktu, papa pernah tiba-tiba BBM saya di siang hari "Teh kita serumah tapi kok belum ketemu dua hari ya? Kangen." Romantis bisa datang dari emote-emote kiss dan hug yang tak pernah lupa Papa simpan di akhir kalimat pesan singkat. Atau, konyolnya lagi, romantis bisa datang dari teganya papa yang menjeburkan saya ke kolam setinggi 1,5 meter, empat belas tahun lalu ketika saya belum bisa berenang. Walaupun pada akhirnya ternyata saya hanya tidak pede dengan kemampuan diri sendiri, dan malah renang dengan lancarnya. 
"Apa Papa bilang, kamu tuh sebenarnya bisa, tapi enggak pernah mau coba. Jadi papa sengaja jeburin."

Romantis juga bisa datang ketika Papa tidak pernah mau mengambil centong nasi ketika ada anggota keluarga yang belum turun ke meja makan, keromantisannya dilanjut ketika Papa dengan senangnya mendengarkan saya bercerita apa saja. Romantisnya juga pernah mengejutkan sekolah, Papa berniat menjemput saya pulang sekolah, dan beliau datang dengan ambulans pembawa mayat. Guru-guru panik dan menanyakan siapa yang meninggal di sekolah pada saat itu. Papa..papa...yang penting anaknya dia jemput. Takut menunggu lama, takut anaknya kenapa-napa. Lagi-lagi itu alasannya.
Romantis bisa datang ketika Papa membetulkan jendela kamar saya yang rusak, atau sekedar memasangkan jam dinding di kamar saya. Romantisnya Papa juga datang saat... beliau tidak pernah memaksa saya untuk masuk ke fakultas kedokteran. Katanya, biarlah anak perempuannya ini mengambil keputusan penuh akan kehidupannya, sehingga nanti dapat membuktikan dan bertanggungjawab atas pilihannya terebut.
Dan yang membuat saya menjadi perempuan pecinta bunga, apapun bunganya. Adalah Papa. Selama saya bisa mengingat, sepanjang ulang tahun saya, Papa tak pernah absen mengirimkan buket bunga, biasanya mawar merah, namun ketika mengetahui saya menyukai warna ungu, pada ulang tahun ke enambelas hingga sekarang, digantinyalah bunga itu, menjadi mawar atau lily, apapun, asalkan warnanya ungu,

Saya sayang papa. 

Saya jadi ingat, sekali waktu saya pernah mengobrak-abrik dompet Ibu dan menemukan sebuah foto sunset, karena bingung saya bertanya untuk apa ibu menyimpan foto sunset di dalam dompetnya, bukan foto mereka berdua,  Ibu langsung membalikkan lembar foto tersebut, dan di belakangnya terdapat tulisan tangan papa. Papa menuliskan puisi untuk ibu, dan foto sunset tersebut adalah hasil jepretan papa.
Saya jadi membayangkan, seromantis apa Papa untuk ibu, ya...


"Wujudku adalah patung terbengkalai
cinta telah mengukirnya
dan jadilah aku manusia.
 'de keinginanku hanyalah satukan cinta dan perasaan kita."

                                              Pangandaran 1990. Love
                                                                       DadanR.

Sunday, June 2, 2013

Ketika malam bertanya pada ombak, hati siapakah yang dibawa berlayar ke tengah sampai jauh; ombak makin mengguyur tepi dengan buih, menjilat dengan pecah
Malam tertegun dan sakit mendengarnya, kedua kali ditanyakannya hati siapakah yang dibawa jauh sampai tengah, ombak menjawab dengan air pasang surut bulan, sedikit tersenyum tafsir agar bingung
Malam dengan berkuda ditanyakannya lagi, pada siapakah hati terjauh yang ombak bawa sampai tengah; samudera sekarang acap menjawab dengan gelontor-gelontor sekumpulan tuna, terjaring sampai pinggir, nelayan sukacita, ombak mengalihkan perhatian tanggahnya pada malam

2013