Wednesday, June 5, 2013

Hadiah

“Jadi mau kado apa nanti ulang tahun?”
“Apa ya? Belum kepikiran.

Tiga bulan kemudian, kamu masih mengucapkan pertanyaan yang sama, namun bedanya umurku sebentar lagi berganti.
Tepat satu hari lagi. 

Aku tidak percaya kamu masih kebingungan mencari apa yang akan menjadi persembahan untukku. Kamu biasanya selalu lengkap dengan kejutan-kejutan kecil, waktu itu saja, sebelum aku memulai hari, kamu sudah menghujani kamarku dengan awetan bintang laut, favoritku. Kau sahabat paling romantis seumur hidup. 

“Jadi, mau kado apa nanti ulang tahun?” 
“Berisik.”
Lalu kita tertawa lagi.

Tidak ada bedanya, usiaku lima, tujuh, sepuluh, tiga belas,  lima belas, sembilan belas, bahkan dua puluh sekali pun, aku masih memiliki kamu sebagai sahabat romantis nomor satu. Jika boleh kubocorkan sedikit, kamu itu sedikit berlebihan, biarlah kuanggap karena kamu memang perhatian, tapi tanpa kamu beri apapun, kau akan tetap mendapatiku sebagai sahabat perempuan tigabelas tahun-mu.
Matahari terbenam sekarang, seperti biasa, pasir menjadi alas kaki kita jam-jam begini.
Aku pemerhati ulung, kau tak pernah sadar. Itulah cerdiknya aku, tigabelas tahun. Aku senang menjadi pemerhati kamu.
Aku takut diujung laut sana, kau akan menjadi matahari yang perlahan turun tenggelam, dan hanya beberapa detik setelahnya, langit ikut berubah. Gelap. Aku ingin menahan waktu, agar tak berjalan membawamu, yang entah kemana.

“Tujuh jam lagi, dan aku masih belum tahu. Kamu mau apa nanti?”

Aku memilih untuk tidak menjawab. Pertanyaan itu selalu terdengar terlalu tinggi. 
Melihat matahari perlahan dimakan laut adalah hal yang indah sekaligus mengerikan. Dan selalu berhasil menjadi tontonan yang membuat aku nikmat menganga. Mengisi pikiranku dengan milyaran hal baru. 

“Diam dulu mataharinya sebentar lagi hilang.”

Gelap.

“Aku ingin warna langit tadi, yang itu. Di antara batas senja dan malam.”

Setelahnya. ketakutanku memang terjadi.

No comments:

Post a Comment