Tuesday, June 11, 2013

Sempat Bicara

Hallo,
Bandung hujan lagi, siang-siang.

Macet dimana-mana, pengemis di jalanan makin banyak, air got membludak, sampahnya keluar kemana-mana. Entah kenapa saya suka memperhatikan semuanya dari dalam mobil. Di luar, banyak bulir air bekas hujan menempel, seperti kecebong-kecebong kecil. Dan entah juga, saya suka menyentuhnya dari balik kaca, Pak Supir di depan juga tenang-tenang saja.
Tiba-tiba disebelah jok saya, ada kamu. Kamu yang mukanya selalu tidak pernah mau tampak. Kamu yang selalu saya sebut si dari-leher-ke-bawah. Kamu yang bicara tapi tidak pernah saya tahu darimana asal suaranya. Memang si-kamu-pendiam, selalu mengikuti di saat-saat tertentu.
Kali ini suaramu parau, entah kebanyakan bicara atau memang sengaja tidak mau saya dengarkan seksama, tapi semua percakapan pendek kita, terasa sangat intim. Seperti... saya mengenalmu dalam-dalam.

Kau pasti akan memberikan kuliah-pendek lagi, kamu pasti akan betah di jam macet ini, seperti guru, dari mulutmu muntah nasihat-nasihat panjang. 
Baiklah,  tentang apa sekarang?

“Menunggu macet ya? Bosan?”
“Tidak, malah suka. Kenapa kamu di sini lagi?”
Mau mendongeng.”
“Ceramah lagi?  Come on..”
“Ringan kok, tentang cinta saja.”
Aku melotot, aneh.
“Jenis cinta apa yang kau suka? Pernah dengar bahwa rupa dan kata punya jenis cinta yang indah? Seperti... visual dan lingual, cat dan bahasa, lukisan dan prosa, atau antara pengarang dan ilustrator. Jika mereka jatuh cinta dengan benar, mereka akan membuatmu takjub dengan estetika yang tercipta.”
Dan kau memulai.
“Kenapa?”

“Karena dua-duanya punya cinta yang membangun. Yang menjadikannya lengkap satu sama lain.  Sedikit yang tahu, karena masing-masing sisi memang sudah dapat dilihat indahnya jika mereka sendiri. Fitrahnya, rupa selalu egois, dan kata memang terkenal rumit, jadi malas yang mau berkenal dengannya. Andai rupa sedikit saja menengok kata, dia bisa memperkaya dirinya sendiri. Bahkan jauh bernilai.”
“Dan kata?”
“Iya, dia sibuk juga. Seolah seperti punya latar sendiri, dan tulisan selalu pelit pada lukisan. Bangga dengan kerumitan yang ia miliki, harus ditelaah satu-satu. Setiap rupa mau datang, kata menutup diri rapat-rapat. Berita bagusnya, orang-orang mulai mencoba menikahkan mereka.”
"Seperti.. rumah seniman Iran itu ya?”
“Iya, dikemasnya memang seperti itu, antara lukisan dan cerita. dijadikan rumah karya..”
“..Kalileh va Demneh."
“Iya maksudnya itu.”


Bahkan apa yang kamu maksudkan, saya sudah tahu jelas. Saya bisa rasa, kau sedikit sebal karena ternyata saya, ehm... cukup pintar.

“Kenapa? Kau kaget karena saya juga tahu tentang apa yang kamu bicarakan?" 

“Kamu bukan perempuan biasa. Di darahmu memang mengalir darah Lohomora, saya selalu tahu. Cantik, pintar, agak sedikit gila...Cerdik.”


“Jadi, analogi lukisan dan tulisan yang kamu ceritakan sekarang sebenarnya menuju kemana?” 
 “Kau benar-benar lupa?”

 Aku mengerling, di luar masih hujan.

“Tentang sesuatu yang kita kerjakan bersama, dulu. Sedikit lagi kita berhasil membuat pameran tunggal. Kita telah undang banyak orang. Akan menjadi sesuatu yang sangat besar. Kau benar-benar lupa?”


..Bahkan saya datang mengunjungi kamu tiap harinya, hanya supaya kau tidak mengusangkan aku. Bandung semakin tua, dan saya tidak mau ingatanmu kian renta.”


***

“Hallo Bu, iya ini Neng bicara sendiri lagi siang-siang. Iya. Saya ke kantor ibu sekarang.”

Hallo, Bandung hujan lagi siang-siang.
Saya memang mengenalmu, dalam-dalam. 

2013



No comments:

Post a Comment