Tuesday, January 20, 2015

Sekarang

Aku menemukanmu di tiga lembar pertama
Dalam sebuah buku usang
Di ujung perpustakaan tua, di desa
Tanpa ada yang menjaga
Tanpa lampu menyala

Aku menunggu tenangku datang ketika itu

Kemudian aku menemukanmu di sloki kedua
Dalam sebuah perjumpaan
Di bawah lampu-lampu gemerlapan
Tanpa aba-aba
Tanpa ada yang terjaga

Aku menunggu bingarku datang ketika itu

Pun aku menemukanmu di puncak Pangrango
Dalam sebuah perjalanan
Di bawah kaki terjal berbatu
Tanpa kabut-kabut
Tanpa sedikitpun ribut

Aku menunggu sunyiku datang ketika itu

Aku hanya takut kau ternyata maling,
Yang malah merapuhkan segalanya dalam sekerling

Aku hanya takut kau ternyata sengaja mampir
Yang malah membuat jiwaku ikut melipir

Sialan,
Aku ketar ketir


2015

Thursday, January 8, 2015

Tentang Liku yang Meluka

Ia kehilangan dia. Cukup sulit bagi Ia kehilangan dia yang telah beberapa tahun menemaninya bersama-sama. Pagi malam, tenang kelam, bahagia muram. Ia telah dijanjikan banyak oleh dia ketika cinta masih berjalan dengan mereka. Cinta seolah menjadi payung Ia dan dia kemanapun  melangkah. Sederas apapun hujan turun, sekencang apapun angin yang terbang-terbang, Ia dan dia selalu melanjutkan perjalanan.

Dia berkata kepada Ia untuk terus ada. Berjanji jika usia tidak lagi bisa berlanjut karena renta, bahkan dia akan merajut jiwa untuknya. 
Cinta seolah menjadi atasnama. 
Segala yang Ia korbankan, 
dilakukan demi cinta. 
Semua yang dirasa perih oleh dia, 
dia lakukan untuk Ia. 
Dia berkata kepada Ia untuk terus ada. Tidak perlu bertanya apa yang diingin, seolah semua disetel serba bisa dan serba mudah. Apa-apa untuk dia. Mungkin ini semacam kisah cinta 'aku rela mati karenanya'.  

Hingga suatu waktu, ada yang terjadi ketika Ia meminta dia untuk menemaninya pergi ke tempat biasa mereka berdua menonton sajak. Selalu, di tangan Ia ada eskrim vanilla yang sedikit leyur. Kuceritakan di sini, Ia adalah penyair. Maka dia juga sering meminta Ia untuk berdiri dan sedikit menyumbang membacakan bait-bait Sapardi atau Sutardji. Setelahnya, Dia tersenyum lama. Menggamit tangan Ia dan kembali pulang.

Namun kali itu, entah apa yang terjadi. Senyum dia kandas. Selama-lamanya.
Ia menjadi merasa nelangsa. Dia tak lagi bangga pada Ia.
Hingga suatu waktu, mereka menyayat jalur-jalur darah. 
Dia salah.
Ia lelah.

menyerah.

Mungkin dia berharap cinta seperti satu kalimat puisi yang tidak berima dan tidak banyak meminta. Mungkin dia menginginkan Ia menjadikannya sejiwa yang tidak harus memberikan apa-apa. Lah, namanya juga cinta, kata Ia. Pasti ada pengorbanan yang satu paket diberi. Hanya sebubuh dua bubuh. Ia tidak meminta dia memberikan sekujur tubuh, namun dia malah menciptakan api, Dia mencuram dan kemudian menikung. Tajam.

Singkat cerita Ia dan dia tidak lagi bersama. Perpisahan yang membuat Ia jerit-jerit sendiri. Kepalanya semrawut. Tingkahnya makin menjadi-jadi. Tiap malam Ia tidur dan meracau di tumpukan buku-buku tua depan perapian. Ia tendang pintu, Ia pecahkan kaca lampu. Terkadang. Matahari pagi malah mengoyak otak. Mengisinya dengan remah-remah ingatan yang merembes lewat jendela. 

Dan dia memang menghilang begitu saja. Terdengar kabar telah kawin dengan wanita kampung sebelah, bahagia.

Ia meminta pada siapapun yang bisa, untuk membersihkan luka yang kiranya meranggas. Pada tiap celah-celahnya, ada lecet-lecet kecil yang minta obat. Sayatannya meggurat-gurat, jika kau bisa lihat. Pada napas yang telah berbunyi raung, pada malam yang goyah dan terus gelisah, Ia masuk ke relung. Bersembunyi dari tamu-tamu yang mencoba datang dan menawarkan hidup yang berbinar-binar. 

Bahkan beberapa temannya akhirnya datang menghampiri. Masuk ke rumahnya pun susah sekali. Mengetuk tubuhnya agar bibir itu nampak sesungging senyum. Kerjaan Ia menjadi keluar masuk pesta. Ia mencoba memintal sendiri robeknya jelujur demi jelujur. 

Malam berganti beberapa windu, Bunga-bunga dari musim salju telah berperdu.

Angin berjalan-jalan, berpapasanlah dengan Ia yang masih menyangkar. Ia hanya melengos ke atas. Mukanya mendongak ke cakrawala. Angit melihat jiwa Ia yang nanar. Karena enggan bertanya, Angin penasaran dan tidak bisa lelap. Angin  menghampiri Langit Senja dan Hujan Malam yang sedang pacaran di atas kuburan.

"Masih betah Ia. mengapa tidak kunjung keluar saja? Kerjaannya hanya melamun. Lama-lama bisa tidak waras. Kasihan, cantik itu paras. Apalagi jika lukanya mengekal. Kalian tahu, tadi saat kubertemu, dari matanya masih juga keluar air yang tak kunjung henti. Merembes ke bajunya, ke lipatan-lipatan rok. ke tanah, ke rumput... kemudian menggenangi jalanan. Bahaya, bisa banjir satu kota. Di tangannya, memegang hati yang ia peras sendiri. Kemudian darahnya masuk ke cawan yang Ia pegang di tangan kiri. Jika aku berani iseng menggoda bertanya, apakah manusia memang payah soal ditinggalkan?"

Mendengar cerita, senja dan hujan berhenti berpojokan. Mereka seksama. Sayup-sayup menjawab, bersamaan.

Dia mengeruk perihnya keterlaluan, begitu yang kami dengar.
"Mungkin terlalu dalam"


Beberapa jam setelahnya, Ia lewat. Melihat Langit Senja dan Hujan Malam bercumbu mesra. Angin menatap mata Ia nanar. Sampailah ke telinga Ia beberapa kalimat rayu yang Langit Senja dan Hujan Malam lontar.
Tubuhnya seketika limbung, badannya bilur-bilur.
Beberapa detik setelahnya,
Ia muntah.
Anggurdarah.
Januari 2014