Saturday, June 16, 2018

Bandung di Bulan Hujan (I)


Ketika aku pulang, matahari tidak terlalu terang menyapa, Ia sudah tahu aku akan misuh-misuh bila kepanasan. Namun kedai-kedai tua masih menungguku dengan setia. Sudut-sudut kota ini adalah separuh cerita.

Kau sudah menunggu.

Di meja yang itu, kursi menyudut sembilanpuluh derajat dengan bantalan sofa paling empuk, menurutku. Ia sudah tahu aku akan misuh-misuh bila punggungku pegal. Dekat dua jendela besar. 

Matamu menangkap kedatanganku.

Maaf ya, buatmu menunggu. Sudah lama?
       Tidak, kok. Macet ya?

Kemudian duduk aku di depanmu. Memerhatikan wajah yang tidak kulihat hampir setahun lamanya.
Aku mensisip kopi susumu. Keningmu mengernyit.

Di Jakarta sekarang minum kopi?
Tidak. Lambungku masih payah. Mau coba saja.
Oh, iya. Bahaya. Nanti salah-salah kamu masuk ke UGD lagi.

Tidak seperti kemarin sore dan lusa, sore itu pikiranku sulit berkonsentrasi. Ada banyak yang kupikirkan dan terangkumkan. Banyak rencana yang tetap menjadi wacana. 
Kemudian hujan turun. Jelas kulihat dari dalam.

Bagaimana persiapan? Lancar semua?
Begitulah. 
Kenapa? Ada kendala?
Pernikahan ternyata rumit. Banyak orang dan banyak mau. Kau tahu, terlebih aku anak pertama. Gengsi keluarga, katanya. Belum debat pendapat, biaya..

Sisa kalimatmu tidak lagi kudengar. Lamunanku pada hujan. Berharap semoga kenangan dapat hanyut terbawa.