Thursday, August 25, 2011

Covering II


"Aku, masih disini... untuk setia..."

Covering


Mencoba centil sedikit, menghilangkan "menggelegar" nya suara saya. Haha, just try something different. Yang "ngga ica banget." Gimana gimana?

Trip

 Eiffel, Paris, 2011.
Les Invalides (kalau nggak salah), Paris, 2011.


 Tour de Eiffel, (3rd floor) Paris, 2011


 Seine River, Paris 2011.







Alun-Alun Kota, Belgium, 2011


 Surga Coklaaat (lupa namanya), Belgium 2011




 Netherlands, Perkampungan Nelayan, Voleendam 2011



Pabrik Keju, Netherlands 2011



Gereja.... (lupa namanya), Germany 2011

 Rheine River, Germany 2011


 Rheine River, Germany 2011


 Versailles, France, 2011

 Louvre Museum, France 2011

Paris, 2011.


Thanks for the trip dad, I love you.





Tuesday, August 23, 2011

Kontradiksi

Menyimak tiap episode
Mengikuti tiap langkah
Menapaki tiap jalur
Meniti tangga
Perlahan

Mulai mengerti kemana seharusnya airmata mengarus
Mulai mendekatkan waktu
Menjadi apa yang kau inginkan saat itu
Semua mengabu


Rasanya menjadi angkuh dalam kurungan waktu
Rasanya menjadi egois dalam lumeran emas
Rasanya menjadi jahat dalam muara bunga
Rasanya menjadi sunyi di tengah megah orkestra
Rasanya menjadi melankoli dalam lingkaran euforia
Menjadi satu-satunya salju dalam sahara


Patutku berterimakasih.

Saturday, August 20, 2011

Buzz!

Tuhan menegurmu
Dalam tidur
Menyentuh bahumu dan bertanya
"Sudahkah kamu bangun?"
Dengan mata masih terpejam kau menjawab
"Belum."
Lalu tuhan memerhatikanmu sepersekian detik
Dan menyuruhmu
"Ikut aku."
Dengan badan masih berselimut kau bertanya
"Kemana?"


"Masukki gema adzan. Sapu seluruh mega dengan dzikir namaKu."

Wednesday, August 17, 2011

Mencintaimu

Aku mencintaimu
melebihi kematian mendekap kelahiran
Aku mencintaimu
melebihi kesetiaan riak air sungai terhadap muara
Aku mencintaimu
melebihi garam mengasinkan lautan
Aku mencintaimu
melebihi pikiran melampaui masa depan
Aku mencintaimu
melebihi kata membentuk kalimat
kalimat membentuk kata
Aku mencintaimu
melebihi bayang di bawah terik mentari
Aku mencintaimu
melebihi detik memutari waktu

Sebenarnya aku, mencintaimu
melebihi kata-kata sabtu itu
tiga tahun lalu.

Agustus 2011

Dari Minnesota


 Dari Minnesota

Dari minessota aku menulis surat
tentang kefanaan
yang mengkarantina
tentang kelahiran
tentang keabadian
dari matahari yang membubur-emas
dari gelembung mimpi
kebebasan yang absolut
ketenangan yang terselip dari banyak helai rambut laki-laki

memang jiwa meronta untuk keluar dari peristirahatan barang sejenak mungkin saja Ia tidak
-kerasan. Tidak betah menyajikan sarapan pagi dengan butir kepastian

dan aku dari minnesota menunggu itu
menunggu kemarin yang terbungkus salju
menunggu kamu, cinta, dan kaidah-kaidahnya
dan aku dari minnesota, tahun lalu
masih mendamba satu cerita yang sama
menunggu petir
getir


Agustus 2011

Monday, August 15, 2011

Penghujung

"Selamat jalan."
"Iya"
"Hati-hati"
"Iya"
"Titip satu"
"Iya"
"Setia"
...

Sebulan lalu, di balkon lantai dua rumahku. Kamu berpamitan untuk yang pertama kali, sekaligus mengucapkan selamat datang pada masa depanmu.

Malam itu, tidak beranjak kamu dari samping aku, dini hari menyelimut, tidur kita beralas kabut, aku dan kamu melahap bintang yang menyemut. Milyaran. Seperti takutku.
- Banyak.
Sekali.

"Aku pergi ya, besok pagi. Mau ikut antar?"
"Iya."
"Nanti kamu menyusul. Makanya, cepat lulus. Ikut aku kesana."
"Iya"
"Terus aku lamar kamu."
"Iya"
"Emang mau? Daritadi Iya-iya melulu. Kenapa? Senang ya aku pergi?"
"Mau."
"Senang aku pergi?"
"Tidak."
"Kenapa? Kamu mematung begitu. Sengaja malam aku kontrak jadi ekstra panjang. Cuma buat kita."
"Terimakasih."
"Ah kamu. Selalu saja."

Kamu melingkarkan tangan, memeluk pinggangku. Betapa yang aku inginkan hanya itu. Bukan percakapan panjang, bukan angan-angan kacangan. Aku hanya perlu membungkus malam ini dengan diam, dan memastikan kamu selalu mendekap. Selalu dengan aku. Ingin aku kalilipatkan waktu, bukan duapuluhempat jam. Bukan hari biasanya. Hari yang mampu melumatkan semuanya. Yang bisa membuat mulutku tidak terkunci seperti kali ini. Benci rasanya jika tenggorokan sudah tercekat seperti ini, ingin menangis, ingin berucap juga. Ingin memeluk, ingin mengutarakan juga.
Mulutku terkunci dengan rasa memiliki.
Jangan pergi.

Lalu kamu tersenyum. Ah! Senyum itu.
Senyum yang sudah pasti hanya aku yang berhak mendapati. Senyum yang jadinya matamu menyipit seperti kelinci.
Ku telusuri tiap jengkal wajahmu.
Roman mukamu.
Seri di pipimu.
Kumis tipismu.
Hidung mancungmu.
(Semua milikku)

Matamu menjumpai mataku.
Terasa panaslah kanan kiri milikku. -
Aku mulai menangis, aku lupa,
kamu adalah seorang pemerhati.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat airmataku berangsur naik, menjadikan wajahku sungai yang bermuara.

Aku mengenggam tanganmu.
Erat.
Sekali.

Kamu memelukku, tanganmu mengusap rambutku dan membiarkan aku di dalam lenganmu. Membiarkan aku mendengar jelas degup jantungmu, aku ingin degup itupun milikku.
Selalu.

"Aku mengerti."
Bisikmu.

Tangisku pecah seketika. Tanganku semakin erat memeluk punggung lelaki di depanku ini.
Jangan pergi.

Sungguh aku takut, bila kuterjemahkan tangisku. Aku takut, aku tidak ingin kamu pergi, apalagi jauh dari aku. Aku tidak ingin ragamu hilang dari hari-hari, tidak ingin senyummu menjadi abstain tiap pagi, dan tidak kutemukan matamu yang penuh binar dan muatan emosi.
Aku takut.
Takut.

Aku tidak ingin kehilangan, walau makna bukan sebenarnya. Hatiku tetap memiliki kamu, hatimu pun juga. Aku menunggumu disini. Kamu disana juga ingat aku. Aku percayakan kamu sebagai masa depanku, kamu juga dengan tegas berkata ingin menjadi Imamku. Matamu dan mataku berucap satu. Dengan tujuan yang sama,
tentu.
Aku tidak ingin bermain dengan kerinduan, tidak ingin diam dan hanya bercanda dengan airmata, nanti, jika aku terpaksa memendam keinginan untuk sekedar melihat kamu, mengacak-acak rambutmu, pergi ke kedai pancake di akhir pekan denganmu, atau lari pagi tiap sabtu.
Aku tidak ingin.
Tidak mau.

Masih dalam pelukan,
Kamu memelukku lama sekali, sunyi menjadi tepi, dan napasmu berkejaran, aku mendengar itu. Aku ingin menculik napasku, dan memaksa dia juga disini bersama aku.
Kau kecup keningku.
Tidak bisa berkata banyak. Aku tersenyum dalam roman telaga.

"Aku sayang kamu. Aku, cinta."

Ku balas pelukanmu. Lama sekali.
Aku,
kamu,
satu.

Matamu menenggelamkanku, ke dalam derasnya sungai yang tercipta dari makna-makna. Bibirmu membuat aku tidak bisa mendengar. Yang secara tiba-tiba terpagut, bibirmu dalam mulutku.

Aku lebih dari tiga kalimat tadi, aku lebih dari itu, lebih dari ribuan senja yang kulewati, lebih dari jutaan melankoli yang pernah diakui.

"Aku.. Masih di sini.. Untuk setia.."

Saturday, August 13, 2011

Pecahan

Pada butir doa yang terakhir
Yang memupus kesempurnaan
Pada airmata yang terakhir
Yang mencela kebahagiaan

Pada siksa yang jatuh di dua bola mata
Pada bibir yang tak henti bergetar berkata
Yang kusebut kepasrahan di nadi dalam nyawa
Yang biasa ku sapa sebagai kecewa

Di sudut jendela tertimbun salju
Menggumam
Gigi gemeretak beradu
Dan basah mata karena air duka

Bukanlah kaca, - Aku
Tidaklah rapuh
Bukanlah masa lalu - Aku
Tidaklah lusuh

Di sudut rumah di perapian malam itu
Wajahmu dalam gelas sampanye
Mengikuti debu hangat malam itu
Memeluk dingin embun kaca

Pada tahun itu hari terakhir
Kau sisipkan keningku satu kecupan
Pada tahun itu hari terakhir
Kau ucapkan selamat tinggal tanpa ucapan

Sunday, August 7, 2011

Magenta

Aku menjerit dalam lelap
Aku mengadah dalam gelap
Meminta raga tertusuk duri
Meronta jiwa ingin bahagia

Saturday, August 6, 2011

Renungan

Mungkin ada saatnya
Kemasan cacat dari satu perihal ditemukan
Mungkin ada waktunya
Tidak semua makanan terasa manisnya
Mungkin mulai ditempa
Rasa sabar yang katanya tak ada batasnya

Wajahku wajah telaga
Di putar ban mobil yang lewat depan rumah
Airmataku airmata lelah
Menunggu kamu
Yang tidak kunjung ada

Friday, August 5, 2011


And when the night wind starts to sing a lonesome lullaby. It helps to think we're sleeping underneath the same big sky.
 And even though I know how far apart we are. It helps to think we might be wishing on the same bright star 

Es O Yu El

Ketika semua orang berkata, "Waktu mampu menghapus semua, waktu mampu merubah kristal airmata menjadi pualam, menghapus memoria, merawat luka menjadi tawa."

Untuk yang satu ini, bahkan waktu pun, tidak mampu.

Untitled I



Kalau saja aku masih punya kesempatan yang sama, atau semua yang pernah terjadi bisa terulang lagi..

“Masih sayang bukan berarti menerimamu kembali disini. Bukan berarti aku harus bersamamu lagi.”

“Terserah.”

Aku hanya mengangguk tersenyum, diam-diam mencuri penglihatanku menuju matanya, dalam.

“Aku ngga mau kamu pergi.” Mata itu menatap penuh arti yang tersirat, dan aku tak bisa menangkap maksudnya. Terlalu rumit untuk aku jelaskan, mungkin.

“Begitupun aku.

Keduanya tertawa.

Aku kembali melayangkan pikiranku masuk ke dalam masa-masa itu, membuatku seolah-olah ingin menangis*. Betapa kadang yang kulepaskan tidak benar-benar kurelakan.

Aku ingin tertawa lagi dengannya, menikmati tiap sudut senyumnya, melihat matanya dengan tenang, seperti dulu, saat bersama.

Kalau begini, kotak tissu lagi-lah yang menjadi kawan di tiap malam. Dan paginya, pasti tersisa muka kusut dengan kantung mata hitam lebar. Ah … semua gara-gara kamu.

Ingatkah? Waktu kita berucap bahwa akan selalu bersama, selalu setia, selalu bahagia? Aku pikir itu benar adanya, bukan hanya kata-kata yang muluk. Aku bersungguh-sungguh saat mengucapkan itu di depanmu. Apalagi diwaktu kelingking, telunjuk dan jempol kita membuat suatu ikatan. Janji. Kamu tahu ? Aku masih mencintaimu, biarpun semua elemen dari dunia ini meninggalkanmu. Aku masih memilikimu, walau terkadang aku menyesali kehilanganmu. Jangan tanya kenapa, karena aku tidak tahu.

Sekarang, aku harus membencimu. Membencimu dengan sepenuh hati. Susah, susah rasanya menjungkirbalikan fakta yang ada, susah. Sumpah.

Itulah alasan mengapa aku menghindarimu, alasan mengapa aku harus menolakmu dan menjauhi kamu. Bukan mauku. Bukan. Keadaanku-lah yang memaksaku menjadi “aku” yang berbeda. Aku hanya menatap jauh lurus ke depan. Hanya malam dengan sedikit awan dan bintang yang malu-malu muncul. Aku hanya ingin sedikit kembali mengenangmu.
Aku akhirnya sadar, bahwa aku memang ditakdirkan untuk mengingatnya saja, tanpa harus mengalaminya lagi. Sedih memang, tapi tanpa harus menangisi.

Kalau saja bisa, aku ingin hilang ingatan. Menjatuhkan diri ke dalam sumur yang tak berujung. Karena sakit yang kurasakan sekarang memang benar-benar tak berujung. Delapan bulan tak cukup rasanya. Aku tak pernah sedikitpun terlupa, atau bahkan berniat untuk tidak mengacuhkanmu. Tapi ini keadaannya lain. Delapan bulan tak cukup membuatku berhasil membiasakan semua rutinitas berkamuflase-ku. Aku belum terbiasa untuk hidup dalam kebohongan, dalam kepura-puraan. Aku selalu dibuat bingung sendiri oleh semua yang telah aku lakukan. Konyol. Tapi inilah rasanya jika kamu terperangkap dalam dua dimensi yang berbeda dunia. Aku sudah bilang, aku tak ingin melupakanmu. Tapi kondisinya malah semakin membuatku sakit hati sendiri. Aku terlalu lelah untuk menangis, terlebih untuk menangisimu. Aku bukan seorang yang cengeng, aku bukan seorang yang sentimentil. Dan aku, tak bisa memaksakan waktu dan seluruh komponen di dalamnya untuk mengikutiku. Ini semua hanya tentang hatiku-dan-aku. Bagaimana dengan suksesnya hatiku tak bisa ku atur untuk tidak selalu mengingatmu. Tidak selalu memaksaku untuk merasakan kembali pahitnya sendiri. Aku tak tahu kapan aku bisa membuang jauh semua tentang kamu. Dan tentang bahagiaku dulu bersamamu.

Sulit untuk mengatakan apa yang aku rasa sekarang, sakitkah? Sedihkah? Pilu? Aku pun tidak tahu. Aku hanya tahu satu hal, aku tak akan pernah ingin melupakanmu.

Betapa kadang yang aku lepaskan tak akan benar-benar aku relakan…

… sampai kini masih kutunggu adanya keajaiban. Masih tertunda dan belum semua ku katakana biar kutunggu sampai kau kembali lagi disini..

Hanya satu kali.

"Hati memiliki logika sendiri yang tidak mampu dipahami oleh akal pikiran"


A & A

dia datang bersama angin, dan serta-merta membawa mendung yang dikandung awan. dia datang bersama tangis, dan tak luput mengajak perih.

"itu terasa sekali, rasa ini terus di-sabotase."
"saya belum pernah dalam kondisi seperti ini sebelumnya."
"kamu lagi apa? bicara pada angin? - iya, rasanya sejuk."
"bawakan tissue, dan pergilah."
"aku dan kalian menangis, meregang di antara ruang"

dia mencetuskan sebuah aroma dan rasa yang berbeda, sebuah citarasa tingkat tinggi. tidak usah dimakan semua, cukup mencicipi, dan rasanya akan menjalar ke seluruh tubuh. rasa yang menggila, yang menjadi candu, melebihi kafein -sang bonus karena rajinnya tidur larut malam. "terus sakiti aku. parut jantung dan hatiku. berikan aku tekanan lebih berat lagi. peras seluruh tenagaku untuk mencintai kamu. sang egois." lalu tidur larut malamku setuju untuk itu. setuju untuk sakitku.

"aku masuk dalam kondisi yang tak pernah aku datangi dan alami sebelumnya. bahkan mengecap sedikitpun tidak pernah."

dan aku bertanya: apakah yang sanggup mengubah luka menjadi pualam,
yang membekukan air mata menjadi kristal garam?
sahabatku berkata: waktu.
hanya waktu yang mampu.

jadi, selama ini? sia-sia?

sekarang tentang malam, malam yang ikhlas dikupas, ditelanjangi, dicerca, atau disuruh-suruh. malam yang tidak pernah kehabisan waktu untuk bercerita, meninabobokan, dan mengajak berkenalan dengan semesta di luar sana. yang memberitahuku akan tingginya gunung, yang mengokohkan pandanganku, yang memberitahuku akan panasnya api, yang rajin membacakan alam, dan yang mengajariku hidup. malam yang mengerti aku. dan malam yang satu ini malam yang hebat, malam yang memiliki dua nama. nama satunya lagi, nama yang dengan jelas menggambarkan dirinya. malam yang sering berloncatan, malam yang penuh kerlipan bintang, malam yang sejuk, malam yang menemani. malam yang tidak pernah kenal pamrih.

mimpi


sewujud bangunan hadir di setiap kepala, tujuan yang mendenyutkan nyawa ke dalam cetak biru. satu demi satu batu mimpi tersusun rapi, berlandaskan fondasi mantap, terekatkan semen yang kuat. lalu bangunan itu dilengkapi dan digenapi, sampai lahirlah utuh ke dunia materi.
mimpi tak berlengan, tetapi akan selalu ada jika engkau menginginkan. ketika badai datang atau api menelan bangunanmu, batu-batu itu tak akan hancur atau jadi abu. mereka hanya menunggu uluranmu, kekuatan hatimu, dan satu lagi rancangan cetak biru.
dalam jutaan bangunan yang ada, pastikan milikmu ada di sana.

Semu

Tiap hujan yang aku lihat, tiap air yang aku sentuh. rasanya aku menyentuhmu, tubuhmu rasanya menyatu dan melebur bersama bulir-bulir transparan yang bening. dingin. namun sejuk.

Biarkan berlalu saja, sayang. biarkan semua melebur dan hilang meresap. seperti hujan yang jatuh dan akhirnya menghilang menjadi genangan..

Hingga akhirnya aku bisa menggeliat keluar dari semua kerusakan pikiran yang ku alami dan kekecewaan yang terbelit dalam kerumitan. aku berbicara tanpa tujuan, aku berkata-kata tanpa memiliki makna, aku tertawa tanpa kejenakaan dan aku menangis tanpa rasa. biarkan aku kembali bisa memberi sedikit noktah pada perjalanan waktuku saat ini. aku bukannya mengacuhkanmu,

tetapi hanya menguburmu sejenak untuk menikmati setiap jengkal kehidupanku yang telah lama hilang.

aku ingin kamu kembali,

sungguh. 

tapi nanti.

semua ini punya artian yang sama. seperti aku mengartikan tiap-tiap sudut matamu. memberinya makna dan mengerti yang kamu katakan. walau mulutmu enggan berucap.

biarkan semua tergulung, terhempas, dan lambat laun 

tak tertangkap lagi oleh mata.

p;s reblog from my old blog,  september 2009

Tempayan Angkasa



Hujan mengantar semua pikiran yang asalnya rancu, semakin menebal. membentuk struktur dan guratan-guratan yang semakin jelas.

“Lihat disitu! Di balik awan tebal, seperti sekarang. Aku melihat bintang yang tersenyum tertawa. Kamu tahu mengapa?”

Sejenak aku merapatkan jaket dan genggaman jemariku,

“Entahlah.”

“Karena bintang tidak pernah kesepian. Tidak pernah takut akan kehilangan arah, karena bulan dan teman-teman langitnya, tidak akan absen untuk melindungi.”

Ya, atau mungkin bintang selalu jenaka. Tersenyum pada setiap keadaan. Bahkan saat ia mesti menghadapi malam dengan petir, atau guruh sekalipun. Ia ingin terlihat visible.”

Bisa jadi begitu.” Kamu menambahkan,
“Kekuatan yang terselip dibalik cahayanya yang lembut.”

Aku terkekeh, “Memangnya bintang tidak akan pernah bosan?”

“Itulah kehidupan yang mesti ia jalani. Dia hanya mengikuti garis takdirnya saja. Toh, tugasnya untuk mempermanis malam, kan?”

Cukup aku melihatmu dari jarak sedemikian dekat ini. Belum bisa kumengerti, mengapa hadirmu penuh keindahan yang sulit diartikan. Keberartian yang abstrak. Tapi tak pernah kuminta. Kamu selalu ada. Aku sejenak tertegun. Ah, lagi-lagi kamu.

Menolehlah kamu, “Kenapa sayang?”

Kamu mengerti, pertanyaan yang sudah cukup sering untuk tidak dijawab. Cukup dengan senyumku. Dan kamu akan bernapas lega.
Dan aku tersenyum, mengacak rambutmu. Semakin kurapatkan lenganmu yang masih melingkar di pinggang – milikki aku.

“Tahukah kamu, mengapa setiap kali kita memutuskan untuk jauh. Memutuskan untuk berlari menghindar, kita selalu dihadapkan dengan jawaban yang sama? Jawaban yang sebagai awal?”

“Mhm.. aku tahu. Mungkin.” – senyum jahilku kamu simpan rapat diujung bola mata.

“Kenapa sayang?”

“Mungkin, hanya kamu yang dipilih oleh hatiku. Oleh hidupku. Bukan memilih. Tapi dipilih. Situasi sulit sudah sering datang berkunjung. Malah beberapa kali, seolah tidak pernah bosan. Tapi kekuatan itu selalu mengusirnya. Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, meskipun harus mengecap sakit terlebih dulu. Iya kan?”

Matamu membulat, “Mungkin kamu bukan bintang yang ditakdirkan untuk selalu sendiri seperti itu. Dan tugasnya menemani malam. Kamu ditemani. Memang harus ditemani. Bukan menemani.”

Hey! Aku cukup kuat kok! Aku bisa dan membuktikan bahwa aku tangguh.”

“Sejauh ini, belum.” – kamu menggelengkan kepala dan membalikkan badanmu, tepat menghadapku.
 “Sejauh ini yang kupantau, Tiap ada guruh atau petir, kamu selalu bersembunyi dibalik senyum mendungmu itu. Senyum yang hanya bisa kurasakan kepura-puraannya. Meskipun kamu bersikukuh mengatakan kamu kuat tanpa aku. Semula aku memang ragu, benarkah aku tidak kamu perlukan lagi?” perlahan matamu menelusup, menyelidik aku.

“Tapi sekarang tidak. Perlahan aku bisa menjauh darimu, berhenti menagih semua setiamu, bersikap masa bodoh akan perhatianmu, menjadi dingin dan beku sepekan lalu.”

“Iya, tapi ada faktor lain. Purnama selalu datang tepat pada hari, waktu, jam yang indah. Begitu pula kamu. Diibaratkan purnama, sekarang ini fase cintamu ada pada sabit. Sedikit, dan melengkung. Apalagi meruncing diujungnya.”

“...Dan cintamu yang penuh itu, nanti akan kudapatkan di akhir bulan. Tepatnya.”

Kamu mengecilkan suaramu, berbisik mendesis, merangkul pinggangku agar jatuh tepat di pelukmu.


“.....Sempurna. Cinta itu nantinya bulat sempurna.”



Kurasakan bibirmu mengecup kening. Aku menoleh, menangkap matamu,

“Tunggu saja.”

Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba menutup tenang mata yang sedari tadi mulai lelah. Aku tugasnya ditemani kan? Itu kata-katamu.

Aku tidur dalam senyum terkulum.

You know, people are always asking; ‘Are you okay?’ But the truth is, they’re never really expecting the truth. Because the reality of the matter is, If I was okay, you wouldn’t really have to wonder.

R

Satu



Aku menyatu berpikir dengan kalbu
Menggumam. Gigi-gigiku beradu
Yang ku kira sudah membatu dan cuma setitik debu. Kini
Ada membuat paru-paru beku
Kamu tahu, aku tahu. Kamu memikirkan aku sehingga irama detak jantung rasanya menyatu
Waktu terus maju. Berpacu

Aku merindu.



Dua


Awal cerita manis tentang sepatu
Dan kamu menggenggam erat jemariku
Bertanya dengan senyum semu, maukah kamu jadi pacarku
Pipiku menjadi merah jambu. Senyumku lebar layak perahu
Anggukanku tanda setuju. Matamu lirik mataku- satu.
Koridor jadi saksi bisu di hari sabtu
Aku merindu


Tiga



Kita datang dari dua kota berbeda
Aku di Tasikmalaya Kamu di Bandung Raya
Layaknya kisah anak remaja biasa
Kamu bukan yang pertama, kamu bukan semuanya
Aku punya pertanyaan
Mengapa saat aku di Lodaya
Yang tumpah malah airmata?

Aku merindu.



Empat.



Pertama
Pertama adalah segala
Awal cerita. Awal rasa
Tiap sedih tiap suka
Luka. Tawa
Aku lakon wanita, kamu lakon pria
Kamu satu-satunya, aku dayangnya
Sayangnya, di tengah cerita. Kamu terlalu
jenaka
Loncat sana sini seperti kutu centil mabuk arak
Aku pertamamu, pijakan
Geleng-geleng kepala aku lihat tingkahmu

Aku merindu.



Aku merindu, padamu
Aku merindu, waktu
Kamu
Waktu
Kamu
Aku
Pernah satu



Sajak galau awal tahun untuk Aqmarina, Ratu Synnar dan Saya Sendiri.

10 januari 2011



*inspired "Menjadi Penyair Lagi" author : Kang Acep Zamzam Noor, karena kata yang paling banyak dari kumpulan puisi itu adalah "rindu."

Cawan dan Norak, Malam Ini

Kamu malam ini cantik
Menggelitik
Bulu matamu lentik
Menjadikannya unsur magnetik

Kamu malam ini anggun
Setenang embun
Selendang mengawan
Beriak, berarak

Aku menyimpanmu, dalam elips satu itu
Untuk aku kenang
Untuk aku tenang
Aku memotretmu, dalam mata bulat satu itu
Untuk aku temani
Untuk aku hidupi

Malam ini kamu lembut
Cawan anggurmu membias menjadi sebuah senyum,
Tidak terkulum
Malam ini diterpa dingin
Senyummu jadinya kaku
Malam ini kamu ada sampai larut
Walau jadi bisu


Aku tetap
Walau saat pasang kamu menghilang
Aku sama
Walau jauh siang kamu tidak terbilang

“I’m here not because I am supposed to be here, or because I’m trapped here, but because I’d rather be with you than anywhere else in the world.”


Mei 2011

Thursday, August 4, 2011

Sepuluh Lima

Untuk sesuatu yang diciptakan dari kehidupan

Dari tangan; dari satu energi yang menjadikan kami satu dimensi
Dari pikiran ; dari satu suka yang menjadikan kami jenaka
Dari rasa; dari satu jiwa yang masanya selalu bersama
Dari suatu napas; yang menjadi penghidupan
Menjadi api, menjadi nyala yang selalu membakar;
bara

Ini suatu masa;
Dimana kami adalah lelakon utama
Ini suatu waktu;
Dimana pemikiran dan penciptaan beradu
Ini suatu masa;
Kami membuncah gairah teriakan kalimat munajat kalimat yang disematkannya semangat; dimanja gema gelak tawa
Kembali pada hal nyata
Terbangun dari "masa depan" dan biarkan mereguk sedikit lelucon; bermain dengan angin; dengan ketidakterbatasan; dan bergantung atas asa;mimpi menjadi alasnya

Teruntuk Yang Lahir
Yang lahir dari keduapuluhtujuh kamu, layaknya pegas dibelakang tanganku;
Kita para lakon utama, kita ciptakan prolog sampai epilog; dunia kita;
dari yang lahir