Friday, August 5, 2011

Tempayan Angkasa



Hujan mengantar semua pikiran yang asalnya rancu, semakin menebal. membentuk struktur dan guratan-guratan yang semakin jelas.

“Lihat disitu! Di balik awan tebal, seperti sekarang. Aku melihat bintang yang tersenyum tertawa. Kamu tahu mengapa?”

Sejenak aku merapatkan jaket dan genggaman jemariku,

“Entahlah.”

“Karena bintang tidak pernah kesepian. Tidak pernah takut akan kehilangan arah, karena bulan dan teman-teman langitnya, tidak akan absen untuk melindungi.”

Ya, atau mungkin bintang selalu jenaka. Tersenyum pada setiap keadaan. Bahkan saat ia mesti menghadapi malam dengan petir, atau guruh sekalipun. Ia ingin terlihat visible.”

Bisa jadi begitu.” Kamu menambahkan,
“Kekuatan yang terselip dibalik cahayanya yang lembut.”

Aku terkekeh, “Memangnya bintang tidak akan pernah bosan?”

“Itulah kehidupan yang mesti ia jalani. Dia hanya mengikuti garis takdirnya saja. Toh, tugasnya untuk mempermanis malam, kan?”

Cukup aku melihatmu dari jarak sedemikian dekat ini. Belum bisa kumengerti, mengapa hadirmu penuh keindahan yang sulit diartikan. Keberartian yang abstrak. Tapi tak pernah kuminta. Kamu selalu ada. Aku sejenak tertegun. Ah, lagi-lagi kamu.

Menolehlah kamu, “Kenapa sayang?”

Kamu mengerti, pertanyaan yang sudah cukup sering untuk tidak dijawab. Cukup dengan senyumku. Dan kamu akan bernapas lega.
Dan aku tersenyum, mengacak rambutmu. Semakin kurapatkan lenganmu yang masih melingkar di pinggang – milikki aku.

“Tahukah kamu, mengapa setiap kali kita memutuskan untuk jauh. Memutuskan untuk berlari menghindar, kita selalu dihadapkan dengan jawaban yang sama? Jawaban yang sebagai awal?”

“Mhm.. aku tahu. Mungkin.” – senyum jahilku kamu simpan rapat diujung bola mata.

“Kenapa sayang?”

“Mungkin, hanya kamu yang dipilih oleh hatiku. Oleh hidupku. Bukan memilih. Tapi dipilih. Situasi sulit sudah sering datang berkunjung. Malah beberapa kali, seolah tidak pernah bosan. Tapi kekuatan itu selalu mengusirnya. Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, meskipun harus mengecap sakit terlebih dulu. Iya kan?”

Matamu membulat, “Mungkin kamu bukan bintang yang ditakdirkan untuk selalu sendiri seperti itu. Dan tugasnya menemani malam. Kamu ditemani. Memang harus ditemani. Bukan menemani.”

Hey! Aku cukup kuat kok! Aku bisa dan membuktikan bahwa aku tangguh.”

“Sejauh ini, belum.” – kamu menggelengkan kepala dan membalikkan badanmu, tepat menghadapku.
 “Sejauh ini yang kupantau, Tiap ada guruh atau petir, kamu selalu bersembunyi dibalik senyum mendungmu itu. Senyum yang hanya bisa kurasakan kepura-puraannya. Meskipun kamu bersikukuh mengatakan kamu kuat tanpa aku. Semula aku memang ragu, benarkah aku tidak kamu perlukan lagi?” perlahan matamu menelusup, menyelidik aku.

“Tapi sekarang tidak. Perlahan aku bisa menjauh darimu, berhenti menagih semua setiamu, bersikap masa bodoh akan perhatianmu, menjadi dingin dan beku sepekan lalu.”

“Iya, tapi ada faktor lain. Purnama selalu datang tepat pada hari, waktu, jam yang indah. Begitu pula kamu. Diibaratkan purnama, sekarang ini fase cintamu ada pada sabit. Sedikit, dan melengkung. Apalagi meruncing diujungnya.”

“...Dan cintamu yang penuh itu, nanti akan kudapatkan di akhir bulan. Tepatnya.”

Kamu mengecilkan suaramu, berbisik mendesis, merangkul pinggangku agar jatuh tepat di pelukmu.


“.....Sempurna. Cinta itu nantinya bulat sempurna.”



Kurasakan bibirmu mengecup kening. Aku menoleh, menangkap matamu,

“Tunggu saja.”

Aku menghembuskan nafas perlahan, mencoba menutup tenang mata yang sedari tadi mulai lelah. Aku tugasnya ditemani kan? Itu kata-katamu.

Aku tidur dalam senyum terkulum.

You know, people are always asking; ‘Are you okay?’ But the truth is, they’re never really expecting the truth. Because the reality of the matter is, If I was okay, you wouldn’t really have to wonder.

No comments:

Post a Comment