Monday, July 22, 2013

lancang aku bercerita
tentang aku dan kamu
pada tetangga-tetangga
pada sanak saudara
lancang aku bercerita
tentang aku dan kamu
pada bulan dan cahaya
pada kelimpah ruahan
malam

sehingga anak kecil rumah sebelah tertidur dalam ayunan ketika aku masih saja bercerita

2013

Saturday, July 13, 2013

Mawar Africa

Tidak akan pernah sesederhana bunga mawar di ujung jendela. Bagiku hal lain yang kucintai selain menulis adalah kamu. Dan bagaimana bisa, jikalau kamu satu-satunya alasan untuk aku tetap menulis, telah hilang?

Minggu sore kemarin. Aku masih ingat betul. Aku tengah bermain dengan kecipak hujan, di atas kursi roda, di teras luar kamar yang jauh dari suara televisi dan hingar bingar. Kau datang dengan pakaian lusuh.
Kedua mataku memejam. Bau mawar busuk menyengat lewat cuping hidung. 

Sudah berubahkah pikiranmu?

Kuputar tuas-tuas kursi, berbalik menghadap pegangan teralis  kayu. Memunggungi kamu. Dan angin menjilat-jilat wajahku dingin. Sejuk.

Belum.  Mungkin tidak akan pernah. 

Jika percakapan ini datang, aku selalu berharap kaki-kakiku sembuh, tenagaku kembali utuh, supaya bebas aku berlari. Masuk kamar dan kukunci dari dalam. Apapun caranya agar terhindar dari kamu. Tidak lagi seharian hanya termenung. Kembali menulis. Kembali ke kantor gedung lantai limabelas bersama editor-editor lain. Tenggelam dalam email dan tumpukan naskah. Ya, bagaimanapun caranya agar terhindar dari kamu.

You’re being hard on your self.
Am I?
....
What did you expect of me?
.....
Kau seperti melumat wajahmu sendiri.  Matamu seperti dicelup rebusan bawang merah panas.

What if I said no?

Ah, aku benci berargumen. Aku benar-benar tidak suka.

Africa, aku benar-benar minta maaf. Sekali lagi.

Kali ini namaku kau sebut. Kedua kakimu merapat, bahumu merendah. Lututmu menyentuh lantai-lantai. Oh well, aku biarkan kau seperti tahanan penjara. Meringkuk. Kau meringis. Entah menahan rasa yang mana.

Mendapati  kenyataan aku sering kau kecewakan, membuatku amat sangat bingung bagaimana menjelaskan dan membuatmu setidaknya, sedikit saja mengerti. Demi membuat bibirmu tersungging senyum, misalnya, rela kukesampingkan sakit yang selalu datang kencang sekali. Duakali menemukanmu dengan wanita lain, misalnya lagi, rela kukesampingkan gemuruh rasa yang akhirnya membuat kantung di pelupuk mata. Bosan aku kau jadikan pelabuhan, terkadang kau pergi, mencari bahagia-bahagia muda. Dan beberapa bulan setelahnya, kau datang kembali membawa beberapa mawar untuk kau sematkan di ujung jendela kamar. Rasa yang semula mau mati jadi benderang lagi. Tak terhitung, sekian malam mulutku komat-kamit merapal doa-doa demi permohonan. Adakah sekiranya kau sedikit  malu. Hingga peristiwa lalu, yang membuat aku tersungkur tak sadarkan diri di lantai dan bangun setengah jam kemudian, terasa sungguh mengeruk. Mengerontangkan perasaan.

Setelah malam itu, aku berjanji tidak akan pernah ada lagi.

Africa, aku mohon. Kau terjerambab. 

Di depanku, ada lelaki yang pasang matanya tak berani menyala. Berluahkan airmata. Angin masih menjilat-jilat wajahku sama. Aku beringsut mundur, menekankan dada pada teralis kayu pinggir teras. Sehingga bisa kurasa rongga ini ikut mengerut keras. Sungguh aku sangat berharap betismu lelah dan kesemutan, hingga kau beranjak berdiri dan pergi sendirinya. Tapi kau masih saja mematung. Entah rasa yang mana yang sedang kau arung.
Aku ingin segera menyudahi kasak-kusuk ini. Jika aku berteriak mengusirmu pergi, kau akan semakin menderita.
Tuhan, mengapa aku tidak pernah kian tega?

Ini, aku bawakan mawar untuk kamu lagi. Simpan di ujung jendela kamar. Tetap menulis. Karyamu tersendat dimana-mana. Oh, mengapa akhir-akhir ini kisahmu terasa sangat luka, Africa?

Tak ubah sifatmu. Dan bodohnya aku, mencinta orang setengah sakit jiwa.

Aku akan, tengah, selesai, dan selalu menuliskan kamu, dalam hidupku. Kau akan selalu jadi lakon utama yang muncul dimana-mana. Kini, bagian ceritamu menuliskan luka. Dan sekarang, aku menuliskannya dalam plot kisah berdurasi ekstra panjang.

Hendaklah aku melantur. Kudengar terus dadaku berdentam.


2013


Monday, July 8, 2013

Kamu dan Bidadari

Sebagai kawan, aku tak pernah bosan kau menceritakan tentang bidadari yang tinggal satu atap denganmu. Serentetan gigi kecil itu selalu gemetaran jika kau bicara tentang dia. Kau mencintainya, kau menyayanginya, kau mengasihinya dengan limpah ruah. Semua orang di sekitarmu tahu itu. Gedung kantormu pun acap mendengarkan kau membanggakan Bidadari.
Dikisahkan olehmu, bidadari itu cantik , lemah lembut, rambutnya lurus halus sampai punggung, suaranya selalu kau bilang seperti orkestra raksasa, dadamu terkatup jika mendengar Bidadari bicara.Bidadari punya Mata menyala seperti sihir, kedua biji matanya gemulai kala melirik.  Dan wangi tubuhnya seperti blueberry pancake, manis. Dan ketika bidadari melahirkan malaikat perempuan kecil, angkasa terlihat penuh warna.

Kesukaan bidadari adalah teh pekat, dan itu juga yang sekaligus membuatnya megap-megap.  Sebagai suami kau tidak pernah lengah untuk protes dan marah-marah tentang candu yang entah darimana muasalnya.  Bidadari tidak senang dibatas, ia akan cemberut, dan ngambek seharian jika menemukan kotak teh di dapurnya tidak ada. Bidadari juga suka lilin dan termenung. Katamu, Ia betah berlama-lama. Bidadari tidak banyak bicara. Menunggumu pulang, Bidadari dan malaikat perempuan kadang berlomba membuat istana.

Tak ada satu penggal cerita tentang Bidadari yang kau kisahkan dengan mata tak  bergairah. Pun di depan sejawat kantor, Bidadari untukmu adalah cahaya yang diberikan oleh Maha Cinta. Tak ada satu hari terlewat. Kau dimabuk cinta, kawan.

Hingga tiba, suatu waktu, kudapati kopi di meja ruang kerjamu masih penuh. Ku tanya kemana kau pada hari ini lewat ponsel, Bidadari sedang marah besar, kau terdamprat dan ditodongnya pistol ke arahmu, itu suara kau dari sebrang. Aku memutuskan pembicaraan dan segera mangkir ke rumahmu.

Halamanmu acak-acakan, semrawut. Ada air merah keruh tergenang ketika aku sampai ke tengah rumah. Kudapati Bidadari separuh wajahnya tenggelam di bak mandi. Bergelut dengan busa deterjen. Nihil pistol atau pisau, yang ada hanya suara televisi tetangga, musik, iklan dan sebagainya.
Bidadarimu seketika bangun, tatapannya tajam menelanjangi aku. Kemudian Bidadari melolong berkali-kali, hela napasnya kian berat. Tangisnya menjadi-jadi.  Mana dia, kuberanikan bertanya pada Bidadarimu, urat matanya tak lagi terlihat bahagia.
Bidadari masih saja diam. Tak kutemukan mata sorga seperti apa yang sering kau bilang.
Dia tahu aku karibmu, mulut bidadari mulai bicara
Aku minta maaf. Dari mulutnya jutaan kunang-kunang keluar.
Panggil dia pulang. Aku minta maaf. Seminggu dia tidak pulang. Tolong suruh dia pulang, aku benar-benar mencintainya. Tolong.
Bidadari menangis lagi, dari lolongannya ada berjuta-juta luka berkepanjangan. Di antara airmatanya, Bidadari menyesap udara. Kerinduan Bidadari padamu benar-benar membuatnya gulita.
Aku benar-benar minta maaf. Aku mau rumahku. Suruh dia pulang.Bidadari kembali masuk kamar mandi. Sekarang aku memilih untuk tidak mengikuti. Dari balik pintu terdengar kran menyala. Takut bidadari macam-macam, aku berlari dan setengah kepalaku melihatnya.
Bidadari terjun lagi. 

Kurogoh saku celana, kakiku merapat.
Cepat pulang, bidadarimu sekarat. Iya, iya. Bukan sekarang waktunya berdebat. Bukan juga saatnya kau berang. Bidadarimu terjun, malaikat perempuan juga hilang.
Aku mematikan ponsel.

Separuh jam diam aku di sofa. Malaikat perempuan pulang,
Mana mama, aku ditanya
Ada di kamar, sekarang kau tidur siang. Dia mendengar aku berbisik gemetar.

Takut bidadari mati berbusa sendiri, aku berharap ia keluar dari bak mandi. Aku kembali  melihatnya. Bidadarimu duduk mengambang. Kuamati kaki-kaki. Membiru.
Ku bopong bidadari keluar. Ia bernapas lagi.
Aku benar-benar minta maaf. Kamu jangan pergi. Cepat pulang. Bidadari meracau, selama tiga hari.

Bidadari menantimu pulang. Di ruang makan. Rambutnya kusut tak karuan.

2013

Saturday, July 6, 2013

Penyanyi Kamar Mandi

Sila dilirik dibagian kanan, ada link baru.  Hehe, iya, soundcloud saya :)

https://soundcloud.com/annisaresmana

Friday, July 5, 2013

Straw to My Berry

Sesederhana kacamata longgar yang selalu turun
dan kukembalikan ke posisinya semula
sesederhana naikan nada-nada yang selalu tak sengaja
dan kuturunkan ke irama semula

sesederhana hidung bulat yang selalu kau kecup
dan kutepis karena kegelian di atas mata



Bahwa Akhirnya

Aku masih ingat, betapa sakitnya berpisah dan sakitnya dipisahkan secara tiba-tiba, ketika cinta menumbuhkan kebun bunga dan seketika datang pemangkas pisau kepala dua meratakan semua, ketika waktu mengurung kita akhirnya memisahkan, atau ketika keadaan yang asalnya membuat kita bersama, malah meniadakan.
Kalau sudah kehendak dan keadaan yang bicara, kita bisa apa?
Untuk manusia seangkuh aku, merindukan seseorang dan mengenangnya adalah hal yang paling sulit dilakukan. Dan untuk manusia sesibuk aku, mengulang-ngulang ingatan dan menjadi sentimen bukanlah jadi prioritas. Seperti sekedar meluangkan waktu di ujung hari dengan sesenggukan menangisi orang. Untuk manusia sepertiku, cukuplah untuk menerima apa yang ada, bukan mengevaluasi takdir mengapa hidupku harus begini harus begitu. Bukan untuk meratapi, untuk merasakan dikecewakan.

Setelah tiga tahun kau pergi, aku rasa aku sudah mampu berdiri, lagi. Kau bisa lihat sendiri. Aku berusaha makin baik. Semakin hari aku cepat memulih. Dan kau pasti bangga padaku. Aku terjun bebas pada kesibukan-kesibukan aneh. Pulang larut malam dan setumpuk meeting jadi teman akrab. Sering juga pada Jumat malam aku berkencan dengan piano sudut restoran. Hal banyak berubah. Aku dengan susah payah menghapus manja dan cengengku. Bertekad untuk menjadi seseorang yang tak perlu lagi sandaran. Sesekali ibu dan ayah menelpon, mereka khawatir aku tak bisa mengurus diri sendiri. Adikku  juga kadang datang berkunjung. Dengan tujuan yang sama. Mengajakku mengobrol, mengamati kehidupanku dari jauh. 

Dua pekan sebelum hari besarku, masih saja otak ini terculik dan terkudeta, dirapuhi.
Aku mengerling pada cincin yang kupakai, pada isi bingkai foto ujung meja, pada rumah yang kutempati. Pada calon manusia yang sekarang tidur nyenyak di rahim.
 
Itulah mengapa aku memilih untuk pura-pura lupa, Ran. Karena memang benar-benar rapuh dan sakit. Sebab benar-benar aku tidak rela tanpa kamu. Aku harus merasakan kehilanganmu dan sakitnya berkali-kali, sampai kering airmataku meminta pada Tuhan untuk tidak melakukan itu. Untuk meringis, meronta, supaya Ia menukarkan takdir. Tapi sekeras apapun tangis, tak akan pernah bisa membawamu kembali. Aku menyelipkan doa pada malam-malam, betapa benar aku menyayangi kamu, menginginkan kamu, dan kadang menunggu Ia memberi ijinnya untuk aku ikut bersamamu, Ran. Dan ketika Ia malah mengirimkan aku pengganti, aku lebih memilih untuk menunggu kamu kembali. Menjerit-jerit lagi untuk kesekian kali. Memohon, supaya apa yang kualami tak lebih dari sekedar mimpi. Semestinya Ia tahu, cinta manusia bisa melebihi yang dikira. Dan ada yang harus Ia mengerti, 
kau jelas tak ada gantinya.

Perasaan ini kian egois Ran.

Begitulah, kadang perasaan ini pasang surut sesuai waktunya. Mungkin sekarang ombaknya sedang kencang. Pasang yang kau kirim hampir saja menghancurkan kapal yang sedang berlaju denganku sekarang.
dan menurutku, mendua denganmu adalah hal yang selalu sah-sah saja.

*** 

“De? Lagi apa kamu di kamar?  Ini mama datang.”
“Iya Mas tunggu.  Aku turun.”


2013