Monday, July 8, 2013

Kamu dan Bidadari

Sebagai kawan, aku tak pernah bosan kau menceritakan tentang bidadari yang tinggal satu atap denganmu. Serentetan gigi kecil itu selalu gemetaran jika kau bicara tentang dia. Kau mencintainya, kau menyayanginya, kau mengasihinya dengan limpah ruah. Semua orang di sekitarmu tahu itu. Gedung kantormu pun acap mendengarkan kau membanggakan Bidadari.
Dikisahkan olehmu, bidadari itu cantik , lemah lembut, rambutnya lurus halus sampai punggung, suaranya selalu kau bilang seperti orkestra raksasa, dadamu terkatup jika mendengar Bidadari bicara.Bidadari punya Mata menyala seperti sihir, kedua biji matanya gemulai kala melirik.  Dan wangi tubuhnya seperti blueberry pancake, manis. Dan ketika bidadari melahirkan malaikat perempuan kecil, angkasa terlihat penuh warna.

Kesukaan bidadari adalah teh pekat, dan itu juga yang sekaligus membuatnya megap-megap.  Sebagai suami kau tidak pernah lengah untuk protes dan marah-marah tentang candu yang entah darimana muasalnya.  Bidadari tidak senang dibatas, ia akan cemberut, dan ngambek seharian jika menemukan kotak teh di dapurnya tidak ada. Bidadari juga suka lilin dan termenung. Katamu, Ia betah berlama-lama. Bidadari tidak banyak bicara. Menunggumu pulang, Bidadari dan malaikat perempuan kadang berlomba membuat istana.

Tak ada satu penggal cerita tentang Bidadari yang kau kisahkan dengan mata tak  bergairah. Pun di depan sejawat kantor, Bidadari untukmu adalah cahaya yang diberikan oleh Maha Cinta. Tak ada satu hari terlewat. Kau dimabuk cinta, kawan.

Hingga tiba, suatu waktu, kudapati kopi di meja ruang kerjamu masih penuh. Ku tanya kemana kau pada hari ini lewat ponsel, Bidadari sedang marah besar, kau terdamprat dan ditodongnya pistol ke arahmu, itu suara kau dari sebrang. Aku memutuskan pembicaraan dan segera mangkir ke rumahmu.

Halamanmu acak-acakan, semrawut. Ada air merah keruh tergenang ketika aku sampai ke tengah rumah. Kudapati Bidadari separuh wajahnya tenggelam di bak mandi. Bergelut dengan busa deterjen. Nihil pistol atau pisau, yang ada hanya suara televisi tetangga, musik, iklan dan sebagainya.
Bidadarimu seketika bangun, tatapannya tajam menelanjangi aku. Kemudian Bidadari melolong berkali-kali, hela napasnya kian berat. Tangisnya menjadi-jadi.  Mana dia, kuberanikan bertanya pada Bidadarimu, urat matanya tak lagi terlihat bahagia.
Bidadari masih saja diam. Tak kutemukan mata sorga seperti apa yang sering kau bilang.
Dia tahu aku karibmu, mulut bidadari mulai bicara
Aku minta maaf. Dari mulutnya jutaan kunang-kunang keluar.
Panggil dia pulang. Aku minta maaf. Seminggu dia tidak pulang. Tolong suruh dia pulang, aku benar-benar mencintainya. Tolong.
Bidadari menangis lagi, dari lolongannya ada berjuta-juta luka berkepanjangan. Di antara airmatanya, Bidadari menyesap udara. Kerinduan Bidadari padamu benar-benar membuatnya gulita.
Aku benar-benar minta maaf. Aku mau rumahku. Suruh dia pulang.Bidadari kembali masuk kamar mandi. Sekarang aku memilih untuk tidak mengikuti. Dari balik pintu terdengar kran menyala. Takut bidadari macam-macam, aku berlari dan setengah kepalaku melihatnya.
Bidadari terjun lagi. 

Kurogoh saku celana, kakiku merapat.
Cepat pulang, bidadarimu sekarat. Iya, iya. Bukan sekarang waktunya berdebat. Bukan juga saatnya kau berang. Bidadarimu terjun, malaikat perempuan juga hilang.
Aku mematikan ponsel.

Separuh jam diam aku di sofa. Malaikat perempuan pulang,
Mana mama, aku ditanya
Ada di kamar, sekarang kau tidur siang. Dia mendengar aku berbisik gemetar.

Takut bidadari mati berbusa sendiri, aku berharap ia keluar dari bak mandi. Aku kembali  melihatnya. Bidadarimu duduk mengambang. Kuamati kaki-kaki. Membiru.
Ku bopong bidadari keluar. Ia bernapas lagi.
Aku benar-benar minta maaf. Kamu jangan pergi. Cepat pulang. Bidadari meracau, selama tiga hari.

Bidadari menantimu pulang. Di ruang makan. Rambutnya kusut tak karuan.

2013

1 comment:

  1. i think you should be an author ca, should be the great one ;)

    ReplyDelete