Friday, December 23, 2016

Matahari Merona, Merah Dahlia.

Merona.
Mendadak sunyi bibirnya, kepalanya pening bukan kepalang. Ia jatuh terduduk, punggungnya disender pada kawat-kawat tipis pinggir jembatan. Langit sore itu pekat merahnya. Matahari bagai kembang dahlia. Merona susah payah membalikkan badan.

Words don’t see my heart
Days go by restart
Everything seems like a city of dreams
I never know why



       “Perhaps we never found the right time.”
“Ini semua memang tentang waktu.”

Merona tersenyum, sendirian. Mungil bibirnya tersungging tipis-tipis. Matanya mengembara ke awan-awan kapas di puncak langit, sementara benaknya terus mencari cara untuk bertahan. Airmatanya digali. Merona ingin kencang berteriak. Pikirannya gaduh. Tangisnya diam namun membising. Hatinya melolongkan pada semesta, menjerit kencang. Kepergian lelaki itu ternyata meninggalkan jejak lebam di dadanya. Lagi, kepalanya menengadah.


Petang.
Di jantung downtown Chicago. merapatkan mantel untuk menahan angin dari arah Danau Michigan yang mulai mengiris ngilu tulang-tulangnya. Lebar langkahnya menapak trotoar kelabu yang basah.  Terlipat koran di tangan, berjalan cepat menuju apartemennya. Sekejap saja Ia telah menyatu dalam arus pejalan kaki yang gegas ke tujuan masing-masing. Di dekat gang sempit di sebelah toko bunga, Petang berhenti, menyalakan sebatang rokok, menengadah.

I walk these streets disguise my mind
and the days going by but I still remember
everything seems like a city of dreams
I close my eyes

Pandangan mereka sama-sama menuju ke langit luas, namun pandangan itu buntu. Seperti membentur tembok tinggi yang tak kasat mata.

..but I still miss you.

Friday, December 2, 2016

Lama kupandangi
kertas bergaris tepi
Ingin kutulis puisi
menuang
rasa merubungi
hati

Duajam

Tinta kering dan pena
Menatapku
tajam

Monday, November 28, 2016

Jalan Anggrek, Bandung

Di balik banyaknya protes yang diposting
Seruan dan celotehan  kedai kopi pinggiran
Mengata-ngatai politisi di sini semua sinting
Negara yang isinya ricuh kekacauan
Kami mencintai kamu diam-diam.

Thursday, November 17, 2016

takdir.

aku tidak sedang
mencari
tapi kau
tidak berlari
kau tidak sedang
memerhati
tapi aku
berhenti.

    kita
terpikat

   kita
lekat
terikat


Tuesday, November 1, 2016

Di Depan Piano

Kau terbang berlarian
Ada jutaan kau
Di kepalaku
Suaramu pasrah
Mengiang
Di telinga,
Tepat di gendang
Kau teriak memekak

2016

Alpha

Tenangmu
 lautan,
Matamu
 kilap-kilap senja
Bibirmu
riuh
kelepak elang
Dan
 Pinggulmu, merangkul
debur ombak
yang
 menepi
Ke
jiwaku

Tenangmu
Langkah kaki
Kita,
Menjejak
di derap waktu

Dan cakrawala
Memerangkap.

2016.

Sunday, October 16, 2016

You see, there comes a time when you meet someone and all the things you wanted in a lover just start to disappear. You wanted deep blue eyes like a clear ocean and then all of suddenly his dark brown eyes become your favorite. You wanted someone who plays sports but the way he plays guitar just softness your heart. You wanted someone who can use beautiful words to make you feel better but he doesn't speak when you're down crying he just sits there and holds you with no intention of letting go. You wanted a lover who tells you you're the real art when you are at museums but then you meet someone who doesn't look at the stars int the night but he just stares at your eyes. And you meet someone who pours milk in the coffee enough to resemble your eyes. And you meet someone who makes you laugh. And suddenly he is like you wanted him to be. He makes you happy.

Saturday, October 15, 2016

Magrib.

Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan leluasa
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan terbiasa
Mungkin dalam kehidupan yang lain,
Kau dan aku akan memisahkan
Spasi dalam kata

Koma dalam makna

Friday, October 14, 2016

Sampul.

Sepertinya aku sudah cukup mati
aku bergerak sangat perlahan,
dadaku nyeri,
ngilu- kuku-kuku


telah berapa lama aku tidur di sebelah nisanmu?

2016.

Lagu Folk

Aku menunggu
Hingga keningmu terbelah
Bibirmu pecah
Dimana tangismu?
Tak kulihat airmata
Ternyata aku
 bersimbah
malah.

Oktober 2016

Siang, 14 Oktober.

Renta, hujan meminta-minta
di salah satu toko musik favorit kita
mengingatkan pada cara kita jatuh cinta,
sederhana.

Oktober 2016

Dalam Emailmu.

Kau selalu menggerutu. Bandung sudah tidak lagi seperti yang dulu. Misuhmu adalah sesuatu yang selalu kau ulang di email. Kau protes Bandung panas, jalan Braga semakin macet, Dago sudah tidak lagi dingin, Martadinata seolah jadi Kemang Jakarta. Taman semakin banyak, namun  volume mobil juga kian melonjak. Becak yang naik harganya, jajanan dari gurilem hingga kue cubit yang makin mahal. Ya, walau taman punya wi-fi sekarang, enggan tetap kau sambang. Kenapa? Ah, aku tahu, nanti tidak ada yang kau mintakan tisu. Kau kan mudah berpeluh. Kemudian akulah yang menampung keluh.

Aku sempat menerka apa jadinya kegiatan soremu di sana. Masihkah kau berkeliling ke galeri-galeri? Masihkah kau tetap memesan teh namun malah diammu di kedai kopi? Rumah seni mana lagi yang kau datangi? Apakabar anak-anak les yang kau amati di Barli? Atau, malam minggumu dengan anak-anak ganesa yang sibuk dengan pamerannya untuk tugas akhir, dan kau malah merecoki. Masih seringkah kau bertamu ke Siliwangi? Diam beberapa jam di kebun seni lalu pesan bitter ballen dari café di sebrang? Keliaran kah kau masih, ke teater kampus yang tempatnya macet setengah mampus?

Katamu, senja di belakang rindang kolam renang sudah tidak sebegitu indah. Siluetnya jadi susah menyorot mata-mata. Oh pantas kau gelisah. Kau dan senja adalah dua yang tidak bisa dipisah.

Katamu, kau ingin lihat senja di ibukota. 
dan katamu, suasana menjadi amat sangat lain. 

Menurutku, kau bukan kehilangan Bandung yang dulu, 
Menurutku, Kau bilang kotamu sekarang begitu, karena di sana sudah tidak ada aku.

Tuesday, September 27, 2016

Nistagmus

Malam bergumul, malam itu saya dikejutkan oleh riuh di belakang plataran candi.
Pangeran Sudhana Boghatta sedang berlari turun tersengal. Kinnara Manohara hilang lagi. Pasti bukan diculik mertuanya, kali ini.
Jammacitraka sampai dilepas untuk menuju kerajaan Utara, di belakangnya, walet-walet terbang memutar.
Aku tengah menyapu dan angin menjamuku sepoi, ketika ponselku berbunyi.
si Bungsu dari Druma kabur?
Iya. Heboh semua. Mungkin padahal mau nonton bioskop.
Sedang genting kok dijadikan guyon, bukannya membantu.
Bosan aku lama-lama, sudahlah riuh itu. Lihat, bulan saja terbahak.

Lama kau tidak membalas pesan singkatku. Aku tersenyum pada mereka. Acuh tak acuh, tiga sampai lima begawan membuntuti Pangeran yang bergegas pergi.
Kantung celanaku bergetar kembali.

Tak perlukan aku dikorbankan dulu agar kamu mau meminta restu?
Sendiri, kutersenyum tengil.

Dasar perempuan sedang kasmaran, sabarlah sebentar. Kemarin baru saja kutemui Pak Pendeta untuk kau selamanya bertahta.



Sunday, September 18, 2016

17.55

Beberapa menit sebelum matahari tenggelam
aku mencuri udara dan cuaca
di dalamnya ada sedu
yang tak kuasa kuhujani rindu

Heningku digenggam langit;
doa-doanya  ditarik angin senja
dibawanya airmata
pun senduku jadi tak jenak
sembilu, dalam-
dalam samudera

juga wangi lautan
sebagai requiem
kenangan 

Masihkah kau akan bertanya pada semesta?
Biarlah saja, memang ada hal-hal yang sedemikian rahasia.

Labuan Bajo
2015

Labuan Bajo I

aku menyelami mata cakrawala,
kehidupan
fana dan kabur
mencoba menatap, bertanya
desis ombak-ombak
pagi

aku menyelami mata cakrawala
dijawabnya dengan
heningan
dan silau-silau emas
berderai
 berseru

aku menyelami mata cakrawala
tepian teluk
mendengarkan,
 mendegupi
berdebur jadi koor syahdu

mengedip ia
memberiku
isyarat

Labuan Bajo
2015

Sunday, May 22, 2016

Perjalanan Sore dengan Cinta I

Pada satu kesempatan, aku bertanya kepada cinta mengapa Ia diciptakan. dalam sebuah jalan-jalan kecil, cinta menghancurkan semua yang jadi perkiraan, yang diduga rencana. yang tertata-titi rapi.
saya bertanya mengapa cinta ada. apa karena rindu jadi bumbu? apa karena bibir beradu dan malam yang membuat kami bercumbu itu? atau karena--
kutelan semua percakapan pukul empat di satu kedai kopi
kecil. mendengar semua mimpi-mimpimu yang dirasa mustahil. pun kopi di kedai itu tak terasa begitu enak. namun sore jadi 
begitu manis.  kau juga sanggup memberhentikanku membaca antologi sajak 
yang baru saja kubeli di Gramedia. kau membuat jauhku penasaran dari pada Seno Gumira, untuk menyelami hal yang lebih dalam dari senja;
kau dan kehidupan.

cinta mengajakku berjalan-jalan. katanya tolong kencangkan tali sepatu. 
entah dia membawaku kemana, menyusuri  jalanan ibukota yang ramai bukan kepalang; atau menepi ke sawah-sawah yang berpematang. cinta juga membawaku ke riuhnya kelab malam--mengajakku bergoyang; pinggulnya cinta sintal sekali. aku menenggak sebotol whiski. banyak  juga yang berciuman, namun mata-matanya penuh dengan air. pemandangan yang sungguh ironi. 
hampir aku mengajaknya berhenti sampai di sini. di tengah lantai dansa, Ia berbisik; hidup bukan hanya tentang hitam dan putih. nanar mata ini, dentuman musik kencang melantakkan ingatan. mending aku hidup penuh hura daripada galau huru-hara. 
cinta sadar bahwa pengang ini melenakan. aku diajaknya melanjutkan;
kau dan kehidupan.

kupasrah ketika cinta membawaku menapaki perbukitan, jauh di atas langit ada kelepak elang. bulunya rontok dan jatuh tepat di alis mata. di tengah perjalanan, luka dari waktu yang lama terasa perih kembali. kutanya padanya.
kata cinta; 
tak usah terlalu berhati-hati. 
tepat matahari di tengah ubun, tepat elang itu berkicau berkali-kali. ini sampai berapa lama, cinta? kalau begini aku ingin lari saja. 

Sunday, May 8, 2016

Terakhir.

Jangan pergi, sahutku. Angin mendesau seakan melolong nyaring. Luka yang menancap seakan ditakdirkan tidak mengering. Masih diam membatu aku. Bergelas-gelas arak yang kutenggak tidak menghilangkan sedu. Sedu suaramu yang menggema, menjadi kerak di sela-sela otak. Entah kemana mestinya aku berlari. Toh pepohonan tidak menaungi ingatan yang kian menyengat. Hingga melepuh ini pembuluh. Dan gelap? Gelap ini tidak menakutiku untuk pulang kembali. Malah ingin menjauhku tersesat. Untuk apa kembali mencari langit pagi? Jika tempias pipimu lebih dari sepotong matahari. Untung apa melanjutkan hidup lagi? Jika sepasang matamu bagiku adalah jiwaku yang separuhnya telah mati.

Kau membuatku tidak lagi percaya akan mujarabnya doa. Bahkan pada pemilik cerita, sering aku marah tidak terima. Mengapa skenario kita dirancang demikian sulit nan menderita? Hati tentu bukan perkara persepsi apalagi rasio otak kiri. Aku memuntahkan perasaan lewat nadi. Airmata yang juga kutopleskan ini, jadi saksi. Rindu mencungkil kulitku dan perih menyayatnya. Parau suaramu mengiang di kepalaku, getir. Hingga kuminum sendiri tangisku dalam duabelas cangkir. Tiap aku termangu, aku halu. Kudengar kau memanggil-manggil aku. Lewat angin. Sendu. Sembilu.
Keyakinan-keyakinanku rontok, seketika. Kesadaranku anjlok, cuma-cuma. Luluh lantaklah aku ketika malam mengganti magenta. Entah mengapa,  sunyi langit Bandung Utara menyedot sakitku lamat-lamat. Mungkin aku teringat akan ciuman-ciuman yang sering kau hidangkan. Dadaku gegap berlipat-lipat. Celotehan Timor-Timurmu membuatnya gempita.

Aku mencari, senantiasa. Terakhir, celah-celah langit sedikit menghibur. Kutemukan bayangmu di sana, walau sedikit blur dan meluntur. Kau bahkan melekat di urat-urat. Di tulang hasta, vena hingga aorta. Wangi tubuhmu masih jadi aroma utama. Telah seminggu ini kubawa jantungku kemana-mana. Kugenggam bergantian di tangan kiri dan kanan. Meski sedikit lemah dan kering, jantungku masih berdegup.

Mengencang detaknya, 
jika kulafalkan namamu berulang lengkap-lengkap.
Memekat merah warnanya,
jika kunyanyikan sebait lagu kesukaanmu di malam-malam gelap.
dan,
menderas arus darahnya, 
jika tahu kau akan kembali untuk menghidupiku genap.


Bolehkah aku menerobos batas waktu dan masa lalu?

Kenangan menampar pipiku hingga biru lebam. Kehilanganmu, memperparahnya. Kucari kau hingga ke langit, kucuri dan kulayarkan kau ke lautan. Karena tentangmu, adalah tentang rasa yang terperangkap realita.


Ketahuilah, engkau seindah-indahnya nyawa tempatku membenamkan usia.

Mei 2016

Monday, April 18, 2016

Hal yang Selalu Aku Tanyakan

ada yang selalu kutanyakan, kepada penyair
tentang huruf yang hilang dalam puisi ini. aku curiga
kau mencurinya, tanpa alasan. sama seperti kenangan-kenangan
yang kau
    hilangkan
dan darahku
   kau
      kering kerontangkan
masihku mencari-cari, gelisah 
dengan mata yang kedua bolanya, merah
ada huruf yang hilang dari puisi ini, entah
dengan mata yang kedua bolanya, pecah

ada yang selalu kutanyakan, kepada penyair
tentang huruf yang hilang dalam puisi ini, masihkah bisa jadi syair
sampai kapan kumelipir dan mangkir?
Sen yıllardır yazıp bitiremediğim şiir
  
Senin, Selasa; kau menggoyang cakrawala, 
kedatanganmu serupa deru gempa pada semesta
Senin, Selasa; matamu langit tosca
Anladım sendin aradığım hayatım boyunca 

ada yang selalu kutanyakan, kepada penyair
tentang huruf yang hilang dalam puisi ini; Ah ya sudah, biarkanlah. mungkin
ketidaksempurnaan akan selalu jadi teka-teki.
sampai bertemu lagi dalam waktu yang mati

kini kutanyakan padamu, bukan pada si penyair lagi;
bolehkah aku pinjam itu mata coklat selai roti?
supaya nanti, lain kali saat mencuri
bisa kau aku pergoki.


* Anggap saja ini sebuah alegori. Bagiku, kau adalah intrepretasi dari segala bentuk puisi.

2016.

Friday, April 15, 2016

Buron

(Maaf jika akhir-akhir ini aku sedikit menulis sajak cinta,
aku trauma, kuketik dengan gemetar di kedua tangan)

Baiklah; akan kuceritakan.

Tadi malam, Pak Polisi datang ke rumah
dengan rambut yang masih berbusa; kutanya ramah
ya, ada apa Pak?
Mukanya tambah gusar, malah
Seluruh kamar, dijarah
Guci-guci pajangan, digeledah
Aku dicecar pertanyaan-pertanyaan, jawabku hanya menggeleng lugu;
bukan Pak, bukan.

Ini semua karena kau meneleponku Sabtu lalu, kau akan berkunjung ke sini barang seminggu.
tidak mungkin kuberikan lagi kau gincu,
atau tujuh macam merk baju
terakhir kau merengek mintaku ke negara bersalju

aku kalang kabut;
karena kamu (dan Pak Polisi yang sekarang cemberut), membuat perutku carut marut;

ternyata Ia luput,
rembulan yang kusembunyikan; kau telan lembut-lembut.
Ah sialan!
aku jadi buronan

Sunday, April 10, 2016

Sajak ini Sepertinya Pincang. Mungkin, Ada yang Belum Terselesaikan

Mungkin ada yang belum terselesaikan; ketika ikal rambutmu kugenggam dalam, sembari semua kenangan yang kusut kurapikan. Dan tawamu seperti biasa, gurih -- ingin kubawa pulang. Ah tapi, nanti bagaimana jika kugalau kepalang?

Mungkin ada yang belum terselesaikan; ketika nyala matamu kupesan via Tiki, katanya baru datang seminggu lagi. Di kotak pesanku, ada paket dari Gaziantep. Kau mengirim hujan cium yang deras. Maka bulirnya singgah di kelopak mata dan dadaku ngilu meradang.

Mungkin,
ada yang belum
   terselesaikan;  harusnya kucuri detikan waktu agar benar kita abadi, menjelma sajak Sapardi.

"...however far away, I will always..."

Ah kan, aku kembali bernyanyi sendiri. Lagu ini kuputar sudah keduabelaskali. Meluahkan kekata, malam ini aku tidak berteh Tongdji,
    tapi ini kali-
  Secangkir hitam kopi.
dan pekatnya--
  
   Rindu

ini,
bikinku ingin
  bunuh diri.

(Kulihat bayangmu sekilas di bibir cangkir. Bangsat! Bisa-bisanya kau masih menguntit aku)

Sunday, March 27, 2016

Buron

Aku resmi jadi buronan
Semalam
Aku curi
pijar pijar matamu
wangi tubuhmu
aku ringkus 
senyummu
  seluruh waktumu

Kutinggalkan pesan pada saku kemeja yang kau tanggalkan;
Jangan lantas cari aku! Tunggulah aku menyerahkan diri kepadamu.

Maret 2016.

Sunday, March 20, 2016

Adalah Dia

Adalah penyair, (yang telah lama) duduk merebah, Ia
Lelah, larik-lariknya mengkristal begitu saja, didiamkan mengental
Dalam prosa yang tak berjiwa, tergantung di ujung-ujung rima,
Oh tetapi, Kali ini berbeda! Kata penyair. Pun ditelaahnya;

Puisi ini. Yang kemudian mengurai metafora, mengintip
Rahasia apa yang dititipkan semesta. Kepada siapa sajak-sajak
Akhirnya menjelma jadi makna, dan dengan-
Tanpa tergesa, ini kekata mewujud jadi rasa
Ada rindu yang setia mengendap lewat; Ia
Menyublim. Lewat udara, lewat senja yang sederhana
Adalah penyair, (yang ternyata telah)  jatuh cinta
      dengan sukarela


20/03/2016
23.02

Saturday, March 5, 2016

Embun Pada Bangku

Aku ingin menceritakan
sebuah pertemuan kecil
      di suatu sore
dengan rerintik--angin
angin meniup, mengail
lewat cuping hidungku-
wangi menyengat aroma tubuhmu
hatinya serupa candu yang memikat--ah mungkin aku jatuh;

mata jingga mengilap mengganti bintang di sela-sela ranting
dan malam tidak membuat hening
kemudian dari stereo, kutanya apakah
lagu-lagu Banda Neira akan menyejenakkan
pusing
kau terkekeh, - ketika berdua mendengarkan
datanglah tiga kucing. putih hitam dan emas kuning
salah satunya bunting,
"lihat ada pesawat menguing-nguing!" dasar kau
bocah,
sahutmu keaku
..can I take it to a morning?.. --ah mungkin aku jatuh;

bulan meluntur, lamat-lamat
menertawakan aku yang sedari tadi, lama-
menyusun sajak,
dan tanganku hanya bisa melipat,
di senyumnya aku
      hilang jejak
curang,
hidungnya, kacamatanya, juga tempias pipinya
  merebut ruang,
semacam yang membuat petualang lupa jalan pulang

semoga
lampu-lampu kecil yang kerlapkerlip
membawamu kembali,
dari-
ibukota
untuk bertemuku lagi
di-
Bandung utara
dan memberi satu peti
rindu yang
telah ditabung lama-lama
             apalagi yang memikat dari sini untuk seorang bocah perantau?
(aku memerhatikan saat) kau meminum bir dengan mata yang disipit-sipitkan
lagunya diigau-igau,
lantas rambutku helainya dipilin dan kaumainkan
(aku tak menoleh saat) kau menengadah mencari sisa bintang yang tadi kita hitung dan terlewatkan
tertawa kita parau
 hingga mitos Sirius kau lebar-panjang jelaskan

aku ingin menceritakan--ah mungkin aku jatuh....
        tunggu, tunggu sebentar!
ini langka. ingin kukristalkan
suasana
dalam satu kotak kaca
sebelum akhirnya tubuhku limbung
alamak, kepalaku pusing tujuh keliling.
(kau dan tempat ini benar-benar membuatku miring)

2016.

Monday, February 8, 2016

Makan Malam dan Setelahnya.

Mungkin kita bisa bersama. Tapi nanti.
Di sini?
Tidak. Tidak di sini.
Kenapa?
...
Kau terkekeh. ''Malu oleh waktu.''
 ''Malu oleh hingar bingar yang ada. Nanti kita ditertawakan''.
 ''Bukan masalah." Matamu mengubah pandangan.
 Mataku mengkail matamu, aku mendekat.
 "Sibuk sekali, sih? Sudah hampir lima jam kamu diam di depan sana. Punggungmu pegal nanti."
 Matamu masih melurus ke depan. "Ya kan ada kamu."
 "Mentang-mentang, ya." Senyummu terkembang.
 Kucium tengkukmu dari belakang. "Take some time off."
 "Kan, aku diomeli lagi. Makan saja, yuk." bibirmu cemberut.
 "Makan apa malam ini?"
 "Pancake?"
 Kau mematikan laptop. "Dua tangkup dengan nutella dan mapple?"
  "Boleh. Aku lapar sekali... Tapi...mengantuk." setelahmu mematikan rokok,
 "Tidurlah sebentar kalau begitu. I’ll come wake you when it’s ready, okay?"
 Keningku diciummu. "Terima kasih, babyboo."
 Kali ini senyummku terkembang.

We can be miracles, 
we can be the ones..

"Oh sayang! Dan kopi. Kali ini sedikit pekat." Berjalan ke ruang tengah, Kau bersahut.
Sedang...Sedang kubuat. Tanpamu perlu meminta, secangkirmu takkan kulewat.
Kau melepas dua kancing kemeja, menata dua bantal kecil di sofa. Lampunya kau redupkan, lantas menyalakan perapian. Setelah melepas kacamata dan menaruhnya di nakas. Kau merebah, kemudian memejam kedua mata.

Entah sampai kapan kebersamaan ini sampai pada ujungnya. Entah di mana kami akan bermuara. Mungkin tersampir pada kenyataan berdua harus melipir, atau mungkin terhanyut pada gelombang selanjutnya, yang membawa pada laut lepas. Itu berarti, masih kamu yang menjadi nahkoda dan ini hanya dermaga sementara. Semoga.

Wangi pancake hangat di atas meja tidak seraya membangunkan kamu ternyata. Rupanya kamu benar lelah. Segan jadinya aku membangunkan. Kuperhatikan kamu sejenak. Bulu matamu yang lentiknya melebihiku, dilindung alis lengkung halus. Jari telunjukku menelusur lengan hingga wajahmu. Bibirmu tipis kukecup. Lalu kunyalakan lampu yang sedikit meredup. Naik turun napasmu tenang terdengar. Sadar, kau terbangun perlahan. Mata yang jarang tidur itu memendar sebentar.

"Sudah jadi, sayang?"
Hanya dengan senyum ku membalas. Tanganku menggamit pergelangan
Kepalaku mengangguk. 

Lantas, kau dan aku menuju ruang makan. Dua gelas di samping piringmu kutuang. Malam tidak pernah terasa kosong dan sunyi, walau isi apartemen ini hanya kami. Banyak tawa dan diskusi-diskusi kecil yang mewarnai. Seperti malam ini, empat tangkup pancake berukuran besar habis juga oleh berdua. 

Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu memotong pembicaraan. Aku  terburu-buru dari kursi, mengangkat telepon dan berjalan ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat kau juga mendengarkan dengan syahdu suara di seberang.

 Dari ibuku.
''...Kamu baik-baik saja di sana? Sedang winter banyak makan buah ya, Nak! Kuliah lancar? Eh, ada yang mau mami kenalkan sama kamu. Anaknya Om Dewo, temannya Papa itu lho, kamu ingat, kan?''

Hebatnya, kamu hanya memberi kedua mata jahil itu, seperti... ''ayo-coba-silahkan-saja-tante." yang selalu berhasil membuatku tertawa kecil. Setelah telepon kumatikan, aku menumpuk piring kotor dan membawanya ke dapur.
"Biasa, Ibu." kataku datar sambil mengambil sabun pencuci dan membusakannya.
Kau mengikutiku.  
"I know..."
..Kamu takut?"
Kedua lengan kau lingkarkan di pinggulku. Kali ini, erat sekali.
"Kan kamu, menantu barunya.."
Dapur mendadak hening. Tinggal sunyi yang menahan senyumku sendiri.

We can be miracles..

Mungkin kita bisa bersama. Tapi nanti.
Di sini?
Tidak. Tidak di sini.
Kenapa?
Lebih tepatnya,
 tidak sekarang. 

Tak ada yang tahu, bahwa berdua, kami benar-benar menyelam di kerak kepiluan, atau lebih dalam lagi. Kau dan aku justru menyimpan cinta yang tak terkata.


weheartit.com

Thursday, January 21, 2016

Dermaga Sastra

Kalian percayakah?
Bahwa setiap jiwa-jiwa
memiliki tempat untuk pulang?
Sama seperti kekata
dan bahasa
yang bermetafora
karena jauh bertualang?

sila tambahkan akun DermagaSastra di jejaring sosial LINE kalian, untuk sekedar bermain dengan angin malam di tepi, atau untuk melihat kepulangannya.
 

20-1-2016

Aku kembali menulis sajakku untukmu,
Takut, takut, sayang...
Sekarang musim hujan
Takut rinduku terbawa derasnya kenangan


Aku kembali menulis sajakku untukmu,
Takut, takut, sayang...
Sekarang duaribulimabelas di Desember
Takut kental ingatku lebar meleber


Aku kembali menulis sajakku untukmu.
Takut, takut sayang...
Sekarang jaman sudah edan eling
Takut cemas rinduku kabur digondol maling


Aku kembali menulis sajakku untukmu
Takut, takut sayang...
Sekarang cuaca kurasa tambah dingin
Takut genggam rinduku jadi makin-makin

Kalau tak aku sampaikan, katanya
Mana mungkin kau bisa tahu
Ah, tapi kuhanya ingin
memberimu
Separuh?
Bukan, bukan sayang.
Seluruh.

Masih kurang?
Memang,

    sekarang....


Ah, bagaimana kalau kita bercinta saja dahulu?
Sofa merah empukmu membungkam,

               kubiarkan pasrah

ragaku
Kautikam
jiwaku
Kauselam

Sunday, January 17, 2016

On the way, Sayang!

Aku berlayar, kemudian berlabuh
Menaung teduh, kayu-kayuku rapuh
Sepertinya rayap disuruhmu menggaduh
agar ini perahu cepat kembali dikayuh
persediaan makananku masih utuh,
   padahal
dan tenagaku masih cukup di tubuh,
  padahal

Nanti, sayang... Di depan pintu, aku ingin kau rengkuh
lelahku, peluhku
kau basuh
jangan! jangan misuh-misuh
di tengah lautan sana
dengan siapa aku selingkuh?

Nanti, sayang... Di depan pintu, aku ingin kau
sentuh
   peluhku
basuh
   penatku
setubuh
   jiwaku
rubuh
   lelahku


jangan! jangan misuh-misuh
 sayang
di tengah lautan sana,
dengan siapa aku selingkuh?

---lagipula
di hatimu
kubenamkan sauh
dalam; jauh.


weheartit.com