Friday, October 14, 2016

Dalam Emailmu.

Kau selalu menggerutu. Bandung sudah tidak lagi seperti yang dulu. Misuhmu adalah sesuatu yang selalu kau ulang di email. Kau protes Bandung panas, jalan Braga semakin macet, Dago sudah tidak lagi dingin, Martadinata seolah jadi Kemang Jakarta. Taman semakin banyak, namun  volume mobil juga kian melonjak. Becak yang naik harganya, jajanan dari gurilem hingga kue cubit yang makin mahal. Ya, walau taman punya wi-fi sekarang, enggan tetap kau sambang. Kenapa? Ah, aku tahu, nanti tidak ada yang kau mintakan tisu. Kau kan mudah berpeluh. Kemudian akulah yang menampung keluh.

Aku sempat menerka apa jadinya kegiatan soremu di sana. Masihkah kau berkeliling ke galeri-galeri? Masihkah kau tetap memesan teh namun malah diammu di kedai kopi? Rumah seni mana lagi yang kau datangi? Apakabar anak-anak les yang kau amati di Barli? Atau, malam minggumu dengan anak-anak ganesa yang sibuk dengan pamerannya untuk tugas akhir, dan kau malah merecoki. Masih seringkah kau bertamu ke Siliwangi? Diam beberapa jam di kebun seni lalu pesan bitter ballen dari café di sebrang? Keliaran kah kau masih, ke teater kampus yang tempatnya macet setengah mampus?

Katamu, senja di belakang rindang kolam renang sudah tidak sebegitu indah. Siluetnya jadi susah menyorot mata-mata. Oh pantas kau gelisah. Kau dan senja adalah dua yang tidak bisa dipisah.

Katamu, kau ingin lihat senja di ibukota. 
dan katamu, suasana menjadi amat sangat lain. 

Menurutku, kau bukan kehilangan Bandung yang dulu, 
Menurutku, Kau bilang kotamu sekarang begitu, karena di sana sudah tidak ada aku.

No comments:

Post a Comment