Friday, November 27, 2015

Semoga Rindu Membawamu Lagi Padaku

Kabut belum turun sore itu. Hutan belakang rumahnya menyejuk. Beberapa jam yang lalu, hujan mengguyur kota. Si perempuan lantas berlari keluar kamar. Sedari kecil, Ia memang menyenangi hujan. Rambut panjangnya kuyup mengikal. Bertelanjang kaki kemudian menari memutar-mutar. Melepas jaket, Si Perempuan anteng berloncatan, di antara kubangan-kubangan. Menunggu jadi gerimis, lantas Ia duduk di tepian.

Perempuan itu mengubah posisi tubuh. Ia menyilang dan memasukkan kedua kaki ke air. Sungai di depannya beriak-riak. Bebatuan memecah arusnya menjadi kecil-kecil.


Ingatan si Perempuan memilah satu kenangan.

***

Aku jangan ditunggu. Kembaliku mungkin masih cukup lama.
Ingat kata Ayahmu, cari laki-laki itu  yang mapan, yang bisa beri kamu kesenangan. Jangan lihat aku terus. Malu-maluin kamu dan keluargamu..., Si Lelaki merunduk, melanjutkan,
...lagipula aku belum bisa kasih kamu apa-apa. Mungkin iya setahun ini kamu tidak bakal uring-uringan melulu aku ajak jalan-jalan naik motor. Tiga atau empat tahun nanti? Siapa yang tahu kamu membatin? Siapa tahu kamu mengharap bisa duduk di jok empuk mobil besar yang bisa terbuka atapnya? Untuk sekarang, aku tidak bisa kasih itu, Mar. Uangku habis untuk biaya daftar ulang universitas. Jauh dari bisa memberimu hadiah semisal gincu, atau tas.
Lelaki itu seolah-olah berpidato. 
Si Perempuan, Ia tidak menjawab barang satu patah. 

Mara, kamu dengarkan aku, tidak? Realistis saja lah. Kamu itu cantik. Di sini, siapa yang tidak mau sama kamu, sih? Sering aku ditanya, pakai pelet apa lah, kenapa kamu bisa sebegitu kepincutnya lah, sampai dukun mana yang aku gunakan untuk bisa mendapatkan kamu...

Padahal yang ada malah aku. Aku yang ingin sekali dilamar kamu... Perempuan dalam hati.

Ia memainkan ujung rambutnya dengan tertunduk. Si Perempuan menahan kekata di ujung lidah, membiarkannya tak terucap. Bingung dan kecewa cukup membuat hatinya megap-megap. Dipeluknya Si Lelaki. Tangannya lantas mengerat di bongkah kedua bahu. Pun tidak ada tetes mata yang jatuh, padahal ini adalah perpisahan. Entah sementara atau selamanya, ternyata.

Mar, saya cinta sama kamu. Tapi keadaan sekarang buat saya jadi kecil hati. Kamu tak usah khawatir, kalau memang Gusti beri izin untuk saya dan kamu. Nanti juga diberi, direstui.

Si Perempuan menjinjit, jempol kakinya menekan tanah basah. Diciumnya kening si Lelaki. Lama, Ia menumpahkan semua. Rela melepas pergi Lelaki demi mimpi-mimpi. Rentetan kalimat yang telah dirapikan malah hilang menguap.Si Perempuan tersenyum, walau rasanya pahit. Ia tahu, sulit bagi Lelaki untuk mengutarakan, mengambil keputusan yang jauh dari membahagiakan.


 ***

Seekor burung gereja kecil yang hinggap tepat di ujung tangan, menyadarkan Si Perempuan dari lamunan. Ia memandang jauh ke arah senja yang cepat menggelap. Mengapa perasaan ini tidak pernah sampai hingga tepinya. Mengapa semua yang datang meminang, Ia tolak dan kembali pulang. Mengapa hiruk pikuk kota tempatnya melanjutkan pendidikan, tidak menghilangkan Si Lelaki dari ingatan. Mengapa memori-memori yang kian mengusang, tidak juga membuyar.

Masih,
Pada lelaki itu, Ia besar harap.

Aku menunggu kau pulang. Aku menunggu rindu membawamu datang.
Dan semoga, waktu menjadi restu.
Aku menunggu takdir mengikat,
kamu dan aku.

November 2015.
weheartit.com

Monday, August 31, 2015

Lagi, Pada Suatu Pagi.

Berdua kita di balkon. Pada pagi itu kau menyeruput kopimu lebih tergesa dari biasanya. Aku beranjak dari kursi sofa, menyenderkan lenganku ke sudut satunya. Laut mungkin sedang biru muda. Empat atau lima menit sesudahnya, aku menunggu mereka nampak terlihat. Sekawanan lumba-lumba berloncatan di tengah air tenang.  

Sebelum kau semprotkan lotion anti serangga ke kedua lengan, kau mengambil satu dari tiga tangkup roti yang kubuat. Memakannya dengan lahap. Nyala ponsel menarik matamu perhatian. Pasti urusan kerjaan. Melihat keningku yang mengernyit, kau menghampiri aku.

Nggak bosan lihatnya?”

Aku tersenyum. 

Mahal lho lihat yang kayak gini. Minggu depan kan, kita harus sudah di Jakarta lagi.

“Iya juga, ya.”

Kau melingkarkan lengan ke pinggangku. Menaruh dagumu di pundak kanan. Pelukmu erat melekat. Matamu ikut mataku yang menyimak batas langit. Kau mendongak kecil. Bisa kurasakan lembur-lemburmu, laporan-laporan dan tekanan dari Pejambon nomor enam yang padahal tidak pernah sepenuhnya kau ceritakan. Tapi begitulah caramu membagi. Dengan pasti, aku juga akan segera mengetahui. Dengan tidak aku berkata dan tanpaku harus bicara, resahmu menguap. 
Aku menggenggam tanganmu erat dan mencium pipimu tipis. Bibirmu menyungging senyum. Tatapan 'semua-akan-baik-baik-saja'-ku akhirnya menenangkanmu.  

“Abbi, I want to swim in the open sea among the dolphins… Just once.” 

Dengan piyama biru, botol dot di tangan, dan langkah kaki yang kecil-kecil, tetiba Ia keluar berjalan. Pantatnya naik turun keberatan oleh popok. Meminta dipangku.

Seraya melepas pinggangku, kamu menggamit tangannya, bertiga wajah kita mengarah ke kuning cakrawala.
Menolehlah aku, "Selamat pagi, sayang."
Yang aku sapa malah sibuk memerhatikan pasang-surut ombak, dan menghabiskan setengah botol susu, di tengah-tengah kita. 

“Lihat! Lihat! One..two..three..four.." Menghitung lumba-lumba, telunjuknya mengarah ke lautan lepas.  Aku dan kamu  tertawa. Pipi kalian memerah tomat.

Kau menciumi ubun-ubunnya dan terkekeh. Kemudian, Ia menolehkan wajahnya ke arahku.  Senyum mungilnya lebar sekali. 
Matahari membuat coklat matanya (yang matamu)
menjadi semakin terang.



Setelahnya, terdengar serupa deru yang sederhana.
2015.




Thursday, July 23, 2015

Hal yang Sering Kita Lakukan

sering kita
diam memesan
segelas kopi dan secangkir teh vanilla
tak bergula

sering kita
diam berhadapan
duduk di antara dua
senja

sering kita
diam berbantahan
dari politik hingga larik cinta
antara

sering kita
diam memabukkan
bercerita hingga botol bir kelima
berbuih busa

sering kita
diam berpelukan
malam perlahan menjelma
airmata

sering kita
diam dalam lenguhan
basah keringat gerhana
bercinta

sering kita
diam di keheningan
menggeletar doa-doa
bahagia

sering kita
diam berpandangan
bertanya-tanya
siapa yang lebih dulu terluka

sering kita
diam mendoakan
jiwaku menjerit ketakutan;
kau tinggalkan

Juli 2015

Saturday, July 11, 2015

Separuh.


google.com
Sejenak kita berhadapan, aku menoleh. Hidungmu hanya berjarak dua senti. Bibir setipis itu dibuat pasi. Wajahmu memucat karena suhu sepuluh derajat.
Dan awan selalu pindah cepat-cepat, namun detak detik waktu serasa kian melambat. Andai kau tahu, bagaimana rasanya jatuh cinta sebegini istimewa. Andai kau tahu, untuk kedatanganmu, aku banyak cerita kepada Maharasa.

Lagi, Aku mengadah mencari galaksi. Kamu merapatkan tubuh, aku mencari tanganmu. Kau dan aku melumat hening. Berdua memeluk pagi. Sesampai embun menyampaikan matahari. Jika aku meminta abadi, kurasa itu tidak terlalu tinggi.

Tetapi mataku kembali menyelasar ke samping. Memang matamu ternyata indahnya lebih dari bima sakti. Walau di langit menyemut milyaran, sepasang coklat terang selalu berhasil membuatku betah menyelam, diam-diam.

Tanganku kau genggam, aku sebentar memejam. Kau masih bisa tersenyum dengan dingin mencucuk belulang. Kau memintaku untuk lelap dalam kejap. Aku mencintai malam, sayang. Mana bisa? Mataku menyipit berkelit. Enggan tercebur dalam mimpi, tanganku mengarah ke langit.
Ada bintang jatuh di sana. Pun kamu melihatnya.
Pemandangan yang sangat nadir.

Tetapi mataku kembali menyelasar ke samping. Labirin di matamu melirih. Pekat menatap. Kau tahu, pada bulan yang separuh itu, aku berjanji untuk tidak memetik kristal-kristal airmata karena sakit yang terlampau.  


Maaf, kekasihku.
Air mataku menderas di dada.
Permohonan ini kulayangkan pada satu mesta,  seluruh isinya, beserta.

Waktu kehilangan suaranya, hening mempepat.
 Embun turun sebentar. Dengan tatap nanar, cerlang pagi mengintip kami.

"Tak ada semesta tempat rinduku berlari selain hatimu.
Rentang cintamu seluas cakrawala, 
dimanapun aku berada, rinduku menjejak dibawahnya” 


  Biarkan senyum menjadi bentuk penghayatan kita paling dalam. 
Berdua, 
di bawah bebintang dan langit yang semakin dekat jaraknya.

andai matamu, melihat aku.

Juli 2015.

Wednesday, June 3, 2015

Ia pun, Ia menjuga.

“Where have you been?”
“Jangan bertanya hal itu. Semua ada maksudnya. Kalau saya datang lebih awal, mungkin ceritanya tidak akan begini.”
“Lalu mengapa telat? Boleh aku bertanya, kemana saja kamu selama ini?”
Dia mengulang pertanyaan yang sama. Lagi-lagi.
“Jangan menyalahkan saya yang datang akhir.”
“Ya tetapi, akan…”
“Mungkin ini bukan cerita yang lurus saja. Ya, kamu diberi pilihan. Tidak adilnya, malah untuk saya, satu-satunya.”
“Tapi jadinya tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Memang tidak ada yang bisa diapa-apakan.”

“Tapi..”
“Tapi apa? Bahkan Saya….Saya melakukan semua hal ini kepada kamu tanpa sedikitpun tahu. Perasaan Saya ini akan berbalas atau tidak..
…karena Saya sudah terlanjur untuk memahami kamu sejauh ini. Kalau pertanyaan kamu melulu tentang keseriusan Saya… 
Coba tolong perhatikan dalam-dalam.”

Kadang dalam hidup, cinta dan waktu adalah dua. Dua yang bisa mewujud jadi apa saja. Bernasib sama. Adalah hal yang selalu diagungkan, membahagiakan, dinanti-nanti, namun juga ditunggu mati, disalahkan, dikambinghitamkan dan menyakitkan. Berdua lantas memusar pada pertanyaan-pertanyaan tidak berjawab. Tidak ada yang lebih rahasia dari dua itu perkara.

Kemudian berbalik.
“Saya pulang dulu. Rupanya sudah pukul satu.”
Mata yang jarang tidur itu berpendar, sebentar. Lalu meredup.

Ingin sekali si Perempuan mengutarakan, Ia melewatkan malam-demi malam dengan menahan tubuh yang berdenyar-denyar. Banyak yang ingin diucap, lama menahan sedu, bibirnya tetap terkatup.

Dengan perasaan yang campur aduk, si Perempuan tertunduk.

Diam-diam,
Ia meminta
 keberpihakan pada 

Waktu.

Karena Ia pun, Ia menjuga.

2015.

Friday, May 8, 2015

Misal, aku embun yang tak sempat menyinggahimu. Dan kau, bunga yang tertunduk menampi sedih. Mungkin kita biarkan saja, kepodang menyimpulkannya dalam lagu pagi yang sumbang.

Misal, aku hujan yang tak sempat mengunjungimu. Dan kau, kota yang diselimuti debu-debu kemarau. Mungkin kita biarkan saja, angin barat memahaminya dalam tiup paling gersang.

Misal, aku purnama yang tak sempat menemuimu. Dan kau, malam yang pekat oleh gelap. Mungkin kita biarkan saja, matahari memahaminya dalam terang yang lebih awal dari pagi.

Misal, aku adalah aku yang tak sempat berujar padamu. Dan kau adalah kau yang kurahasiakan dari ucap. Mungkin kita biarkan saja, pepuisi memahaminya dalam larik-larik yang lebih leluasa berbicara.

Misalkan aku,
dan,
kau 
adalah sesuatu.

Friday, May 1, 2015



Seperti puisi dulu aku mengenalmu
Dekat danau tenang, dekat rumput ilalang
Matahari menyalakan kita
Dalam kobaran rindu. Seperti puisi aku menyentuhmu
Dengan jemari embun
Seperti puisi
Aku memandikanmu dalam pagi yang menggenang
Seperti puisi gairah ini kupadatkan, rindu ini
Kukentalkan.


Wednesday, April 1, 2015

I'll tell you one thing, It's always better when we're together.

 Akhirnya  tiba satu waktu, lengan ini menggamit lenganmu.
Aku akan menemanimu. kubilang. Aku berjanji.

Perjalananku jauh dan lama. Nanti kamu haus kering. Sanggupkah kedua langkah kaki mungil itu terus mengiring? Ketika kau ragu, alismu naik dan mengerling.

Bagiku, menemani seseorang yang berjuang demi masa depan adalah kebanggaan.  Aku tahu persis yang aku butuhkan bukanlah bahagia instan. Aku bisa jadi kawan. Karena dengan itu, kita bisa memudahkan kekecewaan yang dihadirkan oleh kenyataan. Aku memercayakan hidupku kepadamu juga karena aku yakin akan baik berjalan. Aku ingin jadi yang menghidupkan, ketika api di matamu padam karena sandungan masa depan. Bahwa cita-citaku dan cita-citamu yang telah direncanakan tidaklah kemana-mana. Aku juga bukan pasangan yang bisa memberimu segalanya, aku jauh dari sempurna. Namun aku akan terus memberikan yang terbaik. Tapi kau tahu, ketika kau merasa lelah untuk membangun, tengoklah. Ada aku, perempuan yang kau sanding. Aku yang akan terus menguatkanmu dari samping. Aku tidak mau melihat mimpimu jatuh dari langit.

Tidak ada salah satu dari kita menawar kesempurnaan. Kita berdua didekatkan, juga satu paket dengan masing-masing kekurangan. Tidak bisa pula kuberjanji untuk terus senyum dan sabar menahan amarah nanti. Untuk terus-terusan tidak cemburu dan egois. Untuk tidak meledak dan menahan tangis. Justru disitulah kau hadir dan mencontohkan. Dewasamu jauh dibanding aku.  Bersyukur aku denganmu yang sulit naik pitam. 

Tidak ada salah satu dari kita dapat memastikan jalan mulus tanpa gangguan. Siapa yang berani jamin, jika di depan tidak akan ada pertengkaran? Bagaimana jika di tengah nanti kau uring-uringan?
Ragumu datang sesekali.  Kalau nanti akan pergi, tutup pintunya pelan. Dengan hati-hati.
 Sengaja aku buat rumah tidak berpintu. Aku nyaman di sini, lantas mengapa harus kucari tempat tinggal baru? Kamu tempat aku pulang. Kau ragu karena kau tak bisa mendengar doa yang kurapal berulang-ulang.

Mari berdoa dan sama-sama belajar. Toh merencanakan masa depan tidaklah makan waktu yang sebentar. Mari berdoa dan sama-sama belajar. Agar berdua kita melihat, ini adalah suatu yang layak diperjuangkan, adalah cinta yang menggenapkan. Semoga kamu melihat bahwa aku memberikan semua ini secara utuh. Semoga Tuhan mendekatkan, untuk tidak berkesudahan. Aku berniat dan Ia sudah pasti tahu. Aku ingin memeliharamu dengan kasih sayang. Seperti bentuk cintaNya selama duapuluh satu tahun ini untukku.


photo: @rigaaaa/rigaramadhan

Hingga akhirnya kita,
memahami kita.
 Hingga dengan hati-hati, kamu dan aku akan saling mengerti
bahwa lebih baik bersama kamu, apapun yang terjadi.
2015.

Sunday, March 8, 2015

Ketahuilah

Ketahuilah, aku sedang tidak bersiasat ketika aku benar-benar mengatakan perasaan ini tersesat.
Jatuh cinta padamu pun bukanlah sesuatu yang bisa kuprediksikan tepat
Bila aku berkata jatuh
Ya aku memang luluh
Bila aku berkata bersama
Ya aku memang cinta

Ketahuilah, aku sedang tidak bertaktik ketika aku benar-benar mengatakan, kau cukup membuat jiwaku pelik
Jatuh cinta padamu pun bukanlah suatu yang bisa kurencanakan baik-baik
Bila aku berkata bukan sekedar singgah
Ya aku memang akan menjadikanmu sebagai rumah
Bila aku berkata bukan sekedar hinggap
Ya aku memang akan lama menetap

Ketahuilah, aku tidak sedang bermain ketika aku benar-benar mengatakan, bahwa hanya ada kau saat ini dan tidak ada selain
Jatuh cinta padamu pun, bukanlah suatu yang bisa kucegah, malah makin-makin
Bila aku berkata aku ingin berjuang
Ya aku memang menjadikanmu sebagai tempat pulang
Bila aku berkata  tidak sedang mengembara
Ya, aku memang selalu diam diam berdoa
(aku ingin) kamu saja

Ketahuilah, aku tidak sedang berkilah, tidak usah kau takut mulut ini berbuih karena terlalu banyak berkisah,
aku jadi sering menghabiskan malam dengan diam, kan?
Ketahuilah
Aku tidak bisa berkilah,
Karena aku memang benar-benar  menyerah

2015


Thursday, March 5, 2015

Andai Matamu, Melihat Aku II

Untukmu, aku tidak bisa menjadi seorang pujangga. Sungguh. Tidak pernah kuperhitungkan akan lahir berpuluh lembar puisi cinta dengan kau jadi objeknya. 
Apalagi, aku tidak mengenalmu sebentar.

Andai matamu, melihat aku,
terungkap semua isi hatiku...

Terungkap? 
Kau sudah tahu semuanya. Aku anggap.

Tanpa perlu aku berkata apa-apa. Tanpa perlu aku jelaskan bagaimana. Karena memang sederhana adanya. Tanpa kau tahu, aku akan tetap sama dalam setiap suasana. 
Tidak peduli mau kau percaya atau tidak. Karena ini tentang hati yang tidak sembarang tergeletak. 

Misal, ketika kau mulai bercerita tentang apa yang akan dilakukan untuk menata hidup. Kau berbicara dengan mata yang  tidak pernah redup. Turut aku ingin menjadi seorang yang menjaga semangatmu untuk terus meletup-letup.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Lalu, sesaat setelah aku sarapan dan tidak lupa membuatkannya untukmu. Dua tangkup roti bersaus daging spaghetti. Membawa dan memastikan bahwa kau menghabiskannya hingga perutmu terisi.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Dan setelahnya, kau berjemur di bawah matahari. Angin pagi membuat rambutmu berantakan. Suatu pemandangan yang jarang sekali. Karena kau selalu memastikan bahwa sisir membuatnya rapi. Lantas aku memerhatikanmu yang seperti bayi. 
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Pun ketika malam. Kau tertidur pulas dan selimutmu sedikit lepas, aku menoleh sekilas dan membetulkannya. (Kemudian sesaat setelahnya kukecup dahimu pelan-pelan)
Karena jika tak lekas, mungkin kau akan kedinginan dan ketika esok kau terbangun, perutmu sakit dan mulas-mulas.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Ditambah, kau seorang pemerhati. Komentarmu tentang parfumku yang wanginya tak sama lagi, atau sekedar bertanya minuman apa yang kubawa karena beraroma melati, atau ketika kau mengelus pipiku dengan hati-hati ketika aku masih setengah bangun dari mimpi. Itu semua membuat aku tersanjung sendiri.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Sekalipun sekeras tenaga kucoba diam-diam menutupi, tiap kau dicemoohi dengan beberapa perempuan, lantas kemudian aku berlindung dengan malah ikut-ikutan…
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

  
“Sekacau itukah?”
Wajahmu memerah dengan mudah. Sama seperti perasaan ini, 
(yang sialnya) semakin membuat betah.

Aku kerasan menatap kedua matamu yang coklat,
lekat-lekat.



2015

Sunday, February 1, 2015

Lomba Tulis Nasional

Warta Himahi kembali menggelar Lomba Tulis Nasional 2015 dengan tema,
"Using Creative Industries as Indonesia Economic Power to Face ASEAN Economic Community 2015"!

Lomba dibuka untuk 2 kategori usia (A: 15-19, B: 20-25)
mulai 2 Februari 2015 - 6 April 2015.

Untuk informasi lebih lanjut dapat dilihat di http://goo.gl/49qWo1
Mari berkarya bersama! Keep Smart, Active, and Talkative!

Tuesday, January 20, 2015

Sekarang

Aku menemukanmu di tiga lembar pertama
Dalam sebuah buku usang
Di ujung perpustakaan tua, di desa
Tanpa ada yang menjaga
Tanpa lampu menyala

Aku menunggu tenangku datang ketika itu

Kemudian aku menemukanmu di sloki kedua
Dalam sebuah perjumpaan
Di bawah lampu-lampu gemerlapan
Tanpa aba-aba
Tanpa ada yang terjaga

Aku menunggu bingarku datang ketika itu

Pun aku menemukanmu di puncak Pangrango
Dalam sebuah perjalanan
Di bawah kaki terjal berbatu
Tanpa kabut-kabut
Tanpa sedikitpun ribut

Aku menunggu sunyiku datang ketika itu

Aku hanya takut kau ternyata maling,
Yang malah merapuhkan segalanya dalam sekerling

Aku hanya takut kau ternyata sengaja mampir
Yang malah membuat jiwaku ikut melipir

Sialan,
Aku ketar ketir


2015

Thursday, January 8, 2015

Tentang Liku yang Meluka

Ia kehilangan dia. Cukup sulit bagi Ia kehilangan dia yang telah beberapa tahun menemaninya bersama-sama. Pagi malam, tenang kelam, bahagia muram. Ia telah dijanjikan banyak oleh dia ketika cinta masih berjalan dengan mereka. Cinta seolah menjadi payung Ia dan dia kemanapun  melangkah. Sederas apapun hujan turun, sekencang apapun angin yang terbang-terbang, Ia dan dia selalu melanjutkan perjalanan.

Dia berkata kepada Ia untuk terus ada. Berjanji jika usia tidak lagi bisa berlanjut karena renta, bahkan dia akan merajut jiwa untuknya. 
Cinta seolah menjadi atasnama. 
Segala yang Ia korbankan, 
dilakukan demi cinta. 
Semua yang dirasa perih oleh dia, 
dia lakukan untuk Ia. 
Dia berkata kepada Ia untuk terus ada. Tidak perlu bertanya apa yang diingin, seolah semua disetel serba bisa dan serba mudah. Apa-apa untuk dia. Mungkin ini semacam kisah cinta 'aku rela mati karenanya'.  

Hingga suatu waktu, ada yang terjadi ketika Ia meminta dia untuk menemaninya pergi ke tempat biasa mereka berdua menonton sajak. Selalu, di tangan Ia ada eskrim vanilla yang sedikit leyur. Kuceritakan di sini, Ia adalah penyair. Maka dia juga sering meminta Ia untuk berdiri dan sedikit menyumbang membacakan bait-bait Sapardi atau Sutardji. Setelahnya, Dia tersenyum lama. Menggamit tangan Ia dan kembali pulang.

Namun kali itu, entah apa yang terjadi. Senyum dia kandas. Selama-lamanya.
Ia menjadi merasa nelangsa. Dia tak lagi bangga pada Ia.
Hingga suatu waktu, mereka menyayat jalur-jalur darah. 
Dia salah.
Ia lelah.

menyerah.

Mungkin dia berharap cinta seperti satu kalimat puisi yang tidak berima dan tidak banyak meminta. Mungkin dia menginginkan Ia menjadikannya sejiwa yang tidak harus memberikan apa-apa. Lah, namanya juga cinta, kata Ia. Pasti ada pengorbanan yang satu paket diberi. Hanya sebubuh dua bubuh. Ia tidak meminta dia memberikan sekujur tubuh, namun dia malah menciptakan api, Dia mencuram dan kemudian menikung. Tajam.

Singkat cerita Ia dan dia tidak lagi bersama. Perpisahan yang membuat Ia jerit-jerit sendiri. Kepalanya semrawut. Tingkahnya makin menjadi-jadi. Tiap malam Ia tidur dan meracau di tumpukan buku-buku tua depan perapian. Ia tendang pintu, Ia pecahkan kaca lampu. Terkadang. Matahari pagi malah mengoyak otak. Mengisinya dengan remah-remah ingatan yang merembes lewat jendela. 

Dan dia memang menghilang begitu saja. Terdengar kabar telah kawin dengan wanita kampung sebelah, bahagia.

Ia meminta pada siapapun yang bisa, untuk membersihkan luka yang kiranya meranggas. Pada tiap celah-celahnya, ada lecet-lecet kecil yang minta obat. Sayatannya meggurat-gurat, jika kau bisa lihat. Pada napas yang telah berbunyi raung, pada malam yang goyah dan terus gelisah, Ia masuk ke relung. Bersembunyi dari tamu-tamu yang mencoba datang dan menawarkan hidup yang berbinar-binar. 

Bahkan beberapa temannya akhirnya datang menghampiri. Masuk ke rumahnya pun susah sekali. Mengetuk tubuhnya agar bibir itu nampak sesungging senyum. Kerjaan Ia menjadi keluar masuk pesta. Ia mencoba memintal sendiri robeknya jelujur demi jelujur. 

Malam berganti beberapa windu, Bunga-bunga dari musim salju telah berperdu.

Angin berjalan-jalan, berpapasanlah dengan Ia yang masih menyangkar. Ia hanya melengos ke atas. Mukanya mendongak ke cakrawala. Angit melihat jiwa Ia yang nanar. Karena enggan bertanya, Angin penasaran dan tidak bisa lelap. Angin  menghampiri Langit Senja dan Hujan Malam yang sedang pacaran di atas kuburan.

"Masih betah Ia. mengapa tidak kunjung keluar saja? Kerjaannya hanya melamun. Lama-lama bisa tidak waras. Kasihan, cantik itu paras. Apalagi jika lukanya mengekal. Kalian tahu, tadi saat kubertemu, dari matanya masih juga keluar air yang tak kunjung henti. Merembes ke bajunya, ke lipatan-lipatan rok. ke tanah, ke rumput... kemudian menggenangi jalanan. Bahaya, bisa banjir satu kota. Di tangannya, memegang hati yang ia peras sendiri. Kemudian darahnya masuk ke cawan yang Ia pegang di tangan kiri. Jika aku berani iseng menggoda bertanya, apakah manusia memang payah soal ditinggalkan?"

Mendengar cerita, senja dan hujan berhenti berpojokan. Mereka seksama. Sayup-sayup menjawab, bersamaan.

Dia mengeruk perihnya keterlaluan, begitu yang kami dengar.
"Mungkin terlalu dalam"


Beberapa jam setelahnya, Ia lewat. Melihat Langit Senja dan Hujan Malam bercumbu mesra. Angin menatap mata Ia nanar. Sampailah ke telinga Ia beberapa kalimat rayu yang Langit Senja dan Hujan Malam lontar.
Tubuhnya seketika limbung, badannya bilur-bilur.
Beberapa detik setelahnya,
Ia muntah.
Anggurdarah.
Januari 2014