Friday, March 15, 2019

Monolog Maret.


Cinta dan luka
Yang bisa kau perkirakan
menghabiskan
banyak tenaga
Sehingga nanti ketika kau menangis dalam jenggala
Kepalamu ikut tumpah
masuk pada kekabutan
Yang entah di mana
Terbit cahaya

Entah aku meneteskan untuk apa. Yang kentara, adalah pepat di dalam lubang menganga. Di kepala, dan di dada. Tidak berhenti. Tidak bisa kutemukan, aku mencari ditumpukan memori masa lampau. Ah mungkin tertumpuk di kiri, aku sejenak menggapai. Tidak ada apa-apa.

Yang kentara, adalah pepat dicampur lubang menganga. Entah apa isinya.

Aku seakan dipermainkan waktu. Kalau begini caranya, mending aku terjungkal jatuh, seluruh tubuhku pecah terburai sehingga tidak perlu bingung. Harus aku apakan ini. Tapi aku tidak lelah. Tidak sama sekali. Namun sialnya, ini tidak dapat kunikmati. Meleleh lagi, meleleh lagi.

Yang kentara adalah pepat di dalam lubang menganga. Entah apa isinya.

Setiap pagi aku selalu berdiri di teras, menunggu matahari mengenai dada. Aku berharap akan membuat setidaknya lubang ini gosong dan pepat ini menjadi melompong. Aku bercerita pada burung gereja yang sengaja selalu kuberi makan, sehingga ia datang, tentang yang kualami ini. Sepertinya Ia kasihan padaku. Perempuan umur dualima, di Jakarta, sendirian pula. Jadi sebagai balasnya, burung itu akan bersiul semenit duamenit. Mungkin Ia memberikan tanda bahwa sebenarnya Ia mendengar. Sambil membersihkan karat yang ada di teralis besi, aku ditimpa cahaya matahari. Hangat, namun gila. Ini luar biasa ajaib kosongnya.

Dan kemudian aku menjemur beberapa baju. Setelah burung gereja tadi pergi, datanglah kupu-kupu. Aku salut padanya. Dia bisa terbang hingga ketinggian lantai 19 apartemen ini. Sayap tengahnya biru, dengan alur hitam emas. Persis seperti rajah di bawah lengan kiriku. Dan dia senang diam di balik telapak tangan. Mungkin memerhatikan gambar itu dan dipikirnya bahwa rajahku adalah kekasihnya. Ia menari-nari kecil. Dan aku akan mulai berbicara pada si kupu-kupu biru. Dan ia memelankan kepakan sayapnya. Mungkin seperti burung gereja tadi, ia memberi tanda bahwa sebenarnya sedang mendengarkanku. Aku menjejerkan beberapa kaos, kali ini matahari sudah berpindah. Siut angin  membuat aku melamun. Sejuk, namun gila. Ini luar biasa ajaib kosongnya.

Yang kentara adalah pepat di dalam lubang menganga. Entah apa isinya.

Kau ingin coba mengintip?
Silakan. Beri tahu aku jika kau melihat sesuatu, aku mau masuk dulu. Air panasku mendidih.