Wednesday, January 16, 2013

Suatu Pagi

Pagi membangunkanku dengan gerimis, dengan sendu dan mendung
Mengingatkan semalam
Yang memerih merah
Gerimis dan secangkir kopi dan sekerat lampau
Jadi ngilu, sembilu
Dengan terhuyung melewati meja makan; dalam panci
Ada sayur rindu dan airmata yang jadi kuahnya
Sekotak keju di meja, peluhmu mengasinkannya
Aku ingin sarapan dengan sepotong bibirmu, mungkin
Dengan gurih dan bau harum aroma lipstik
Aku ingin menelan kedua bola matamu, sejenak setelah kau mengerling genit
Dan mencumbu
Dengan kedipan-kedipan
Aku ingin menegak perasaanku sampai habis, kepadamu
Hingga tiap pagi tak perlulah aku mencarimu,
Di sudut-sudut rumah, di ruang makan....

Saturday, January 5, 2013

Greatest Story Ever Told

Pada suatu hari, pangeran dan putri bertemu di waktu yang tidak disengaja, bahkan tidak direncanakan. Tapi yang tiba-tiba, bisa jadi selamanya...

Mamaku seorang pemimpi, kalau kubuka lemari kamarnya penuh dengan buku-buku dongeng tebal berisi kisah fantasi. Mungkin mamaku suka berfantasi, atau mungkin ingin hidupnya bahagia untuk selamanya. Seperti kebanyakan cerita. Cukup menarik, ada yang berwarna merah jambu, ungu, biru langit, hijau muda, dan abu-abu. Mama juga suka Barbie, sampai sekarang, koleksinya masih tersimpan rapi di lemari kaca sudut ruang tamu.

Dulu kamarku persis di sebelah kamarnya, dinding kamarku pun berhias gambar kastil lengkap dengan putrinya, di langit-langitnya tertempel lampu kecil-kecil yang tampak seperti bintang malam, kalau lampu dimatikan, langit kamarku kerlap kerlip. Kata mama, supaya aku selalu menggantungkan mimpi di tiap cahayanya sebelum tidur. Di pojok kamarku di belakang pintu, ada miniatur menara tempat tinggal putri rambut panjang, Rapunzel. Seleraku sedikit berbeda dengan mama, aku suka putri yang tangguh, karena Rapunzel menggambarkan perempuan yang serba ingin tahu, pemberani, dan tidak mau diam. Ia juga berani melawan musuh dan pandai bermain pedang. Berkelana di hutan pun Ia sering. Aku juga suka rambutnya yang sangat panjang. Dulu kata mama, aku suka menangis merengek minta naga, ituloh, naga ungu yang setia menemani Rapunzel dan selalu jadi sahabatnya. Tapi kata mama, naga itu tidak ada. Saat aku berhenti ngedot, saat itu juga aku percaya bahwa memang tidak ada naga ungu.

Mama juga punya putri jagoannya, mama juga suka ungu. Hanya mama suka putri yang terpintal jarum, yang punya tiga peri dan diasingkan ke tengah hutan. Yang pangerannya datang menumpas naga jahat dengan kuda coklat gagah, di tangan pangerannya selalu ada perisai dan pedang. Mama punya buku dongeng itu sampai sekarang di kamarnya. Mungkin karena mama terlalu menyukainya, dan bahkan, menurutku, mama kecil dulu sering beranggapan bahwa mama-lah putri itu. Jadi, lucunya, ada beberapa sifat putri itu yang kadang tersirat di sifat mama. Putri tidur.

Ya, putri tidur.

Putri tidur dikisahkan menunggu cinta sejatinya, dan terbaring ratusan tahun, menunggu pangerannya menyelamatkan, menurutku, itu mama sekali. Mama itu wanita yang memang tahu posisinya sebagai mamaku, sebagai perempuan. Katanya, mama anti feminisme, mama tidak suka post-modernisme, walaupun sampai sekarang aku masih belum terlalu mengerti dua kosakata itu, tapi mama bilang, hal-hal itu adalah sesuatu yang menentang kodrat wanita. Ah entahlah, yang pasti mama selalu ada untuk aku, selalu mendengarkan ceritaku, sesibuk-sibuknya mama, roti selai coklat dua tangkup dan segelas susu strawberry-ku selalu tersedia di meja makan sebelum aku berangkat ke sekolah. Mama selalu menganggapku putri kecilnya, di album kami bertiga, aku seringkali terlihat mengenakan tiara atau gaun kerajaan kuno, yang roknya merekah seperti bunga. Mama yang pesan dan mama buatkan aku banyak sekali. Ayah dan mama selalu memberi kecupan selamat malam, dan mama juga pendongeng yang hebat. Mama tak bosan-bosannya menjawab pertanyaanku. Kata ayah, aku cerewet seperti mama.

Aku ingat sekali, dulu, saat mama dan aku menunggu ayah pulang kerja, dan aku tidak bisa tidur malam itu, mama bercerita tentang kisahnya sendiri. Mama bilang, mama juga punya fairytale yang tak kalah indah dibandingkan dengan jagoan-jagoan kami. Malam semakin larut. Aku dan mama berdua satu selimut. Aku memeluk pinggang mama, dan mama mulai mendongeng.


Mungkin matamu mengendap-endap,
Ingin menikam seluruh perhatianku, 
Di sudut meja, malam itu
Kau meremaja,
Kau berkeliar liar 

Cerita mama diawali ketika sang putri berjalan-jalan pada malam hari, tanpa pengawal. Sang putri membawa satu orang temannya menuju pusat kota dan diam di suatu restoran. Malam itu malam minggu, mama menamakan restorannya Zenbu. Saat sang putri memesan makanan, datanglah lelaki yang mencuri perhatiannya, hidungnya mancung, kedua matanya sipit, badannya tinggi, pendiam dan kulitnya putih. Lelaki itu duduk di sudut meja, yang juga membawa teman-temannya. Sang putri akhirnya berkenalan, hanya berkenalan. Namun ketika itu sang putri sangat malu-malu. Kata mama, putri itu hanya menunduk dan sesekali tersenyum kecil. Mama juga bilang putri itu jatuh cinta diam-diam. Dalam sekali pertemuan. Hebat kan?

Aku menunda cerita, sambil membenarkan bantal, dan aku bertanya, mengapa bisa putri itu bisa jatuh hati. Jawaban mama sederhana, karena cinta bisa datang kapan saja. Karena cinta itu jatuh  pada belah jiwa yang walaupun tak disengaja, tak pernah salah. Itu hebatnya cinta. Entah mengapa setelah menyelesaikan kalimatnya, aku bisa lihat pipi mama memerah. Ia cantik sekali dibawah kerlip langit-langit kamar.

Mama melanjutkan ceritanya, ternyata lelaki itu adalah seorang pangeran dari negeri tetangga. nama kerajaannya Setra Duta. seperti yang sudah kutebak, pangeran itu juga menaruh hati. Bagaimana tidak, mama bilang, putri itcantiknya sempurna,  rambutnya coklat gelap panjang, kulitnya putih, suaranya merdu, bibirnya kemerahan, semampai.
Mataku mulai memberat, dan mama menyadari itu. Maka mama memutuskan untuk mempersingkat ceritanya saja, kata mama, kisah cintanya akan diceritakan ketika aku genap berusia 17 tahun nanti. Ah mama, lucu sekali. Mana ada remaja seusia itu minta diceritakan dongeng sebelum tidur. Oh ya, kembali pada dongengnya itu, tahu tahu, putri dan pangeran menikah. Mereka naik tahta menjadi Raja dan Ratu, karena setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang bayi perempuan mungil, yang kata mama, cantiknya sama persis sepertiku. Kulitnya putih salju seputih aku, rambutnya sehalus aku, dan anehnya, kata mama, cerewetnya sama juga seperti aku.

Ayahku datang saat itu, dan buatku, walaupun rautnya lelah karena habis kerja, ayah adalah pangeran paling ganteng nomor satu. Tanpa mengganti pakaian kantornya, ayah malah loncat ke kasur dan kami bertiga dalam ranjangku yang mungil. Aku sekarang berada di tengah tengah raja dan ratu  penguasa kerajaan kecil ini. Aku mencium pipi ayah dan mulai mendengarkan mama lagi.

Kata mama, dongeng ini seperti kisah-kisah putri raja sebelumnya, memang tidak ada cerita yang seratus persen tanpa rintangan. Tapi kalau kita yakin, maka halangan-halangan itu akan mudah dilalui dan terselesaikan dengan sendirinya. 
aku juga sebenarnya punya ceritaku sendiri, nanti aku akan cerita pada mereka, bahwa aku juga membangun kerajaan yang isinya hanya kita bertiga, aku; ayah dan mama. Tapi aku sangat bahagia tinggal di dalamnya, cinta dan bahagianya berlimpah. Banyak sekali. Rajaku paling tampan sedunia dan Ratuku amat sangat cantik. Lalu aku? kurang bahagia apalagi?  Aku kan, putrinya.
....

Suara mama jadi samar-samar, aku benar benar mengantuk. Yang bisa kurasakan adalah bibir halus mama yang mencium keningku, lalu kedua pipiku. Ayah juga menciumku. Membenarkan selimut, dan mereka mencium kedua pipiku bersamaan. Mataku terpejam tetapi aku meyunggingkan senyum.

"Selamat malam, Aurora. Tidur nyenyak." 

***

Oh iya, namaku Aurora. Sama seperti putri jagoan mama dulu, umurku sekarang lima tahun. Aku tinggal di kerajaan yang kata ayah telah dimantrai oleh peri-peri kebahagiaan, selamanya.


Karena kau, Hujan, dan Wanita dalam Cerita

Aku ingin mulai bercerita pada hujan,
Sebelum Ia melahirkan apa yang dikandungnya
Karena bulirnya berjanji akan seksama mendengarkan
Dan khusyuk, khidmat, senantiasa serta
Kemudian hujan duduk manis, mulutnya terkunci, di sela merah matahari
Aku mulai bercerita, berkeluh kesah
Tentang mama, tentang papa, tentang dunia, tentang pria, tentang bahaya, tentang kelakar malam, tentang anak muda, tentang buta, tentang asap asap kota tua, tentang Jakarta, tentang pantai, tentang lembah, tentang cinta, tentang udara
Sepuluh jam aku berbusa, mataku tak kunjung lelah, kuperhatikan hujan, matanya masih menyala-nyala,
Kuberi satu cangkir kopi agarnya tidak jatuh tertidur; tidak bosan dengar laju mulutku
Kubenarkan semula tempatku duduk, dan mulai berbicara; lagi
Kata hujan, jangan terlalu keras; karena malam akan segera datang dan menghukumnya jika ketahuan masih berjalan jalan di tepi horison larut senja;
Baiklah, aku mengecilkan suara, menggumam
Kemudian hujan terbahak mendengar aku berceloteh, kepalaku juga mulai penat; kunyalakan sebatang rokok dan kuhirup perlahan;
Sembari kisah kulanjutkan; aku jadi teringat tentang Ia wanita yang dahulu sempat semayam lama di tubuhku
Perasaan itu kububuhi rindu
Sehingga percakapan menjadi sedikit melankolis, sementara di luar; senja berlomba dengan malam;
Aku dan hujan hanya memerhatikan keduanya dari balik jendela;
seperti kucing dan anjing
hujan antusias dengan sekantung pahit yang dipanggul wanita ini;
tak tahukah hujan, setiap kata dalam kisah wanita ini; adalah nanar
adalah sembap yang terperangkap dalam airair mata
tak tahukah hujan, setiap kalimat yang silihlewat
adalah gusar
adalah tikam;bara
tak tahukah hujan, semakin syahdu aku berkisah tentang ini wanita
semakin melemah tubuh
semakin khusuk sakit yang teruntuk
lalu hujan lama-lama tertidur pulas; terantuk kantuk
mungkin ceritaku seperti dongengan;
meninabobokan hujan dengan deras
sementara
aku perlahan
mati
karena kau, hujan, dan wanita dalam cerita.