Friday, November 27, 2015

Semoga Rindu Membawamu Lagi Padaku

Kabut belum turun sore itu. Hutan belakang rumahnya menyejuk. Beberapa jam yang lalu, hujan mengguyur kota. Si perempuan lantas berlari keluar kamar. Sedari kecil, Ia memang menyenangi hujan. Rambut panjangnya kuyup mengikal. Bertelanjang kaki kemudian menari memutar-mutar. Melepas jaket, Si Perempuan anteng berloncatan, di antara kubangan-kubangan. Menunggu jadi gerimis, lantas Ia duduk di tepian.

Perempuan itu mengubah posisi tubuh. Ia menyilang dan memasukkan kedua kaki ke air. Sungai di depannya beriak-riak. Bebatuan memecah arusnya menjadi kecil-kecil.


Ingatan si Perempuan memilah satu kenangan.

***

Aku jangan ditunggu. Kembaliku mungkin masih cukup lama.
Ingat kata Ayahmu, cari laki-laki itu  yang mapan, yang bisa beri kamu kesenangan. Jangan lihat aku terus. Malu-maluin kamu dan keluargamu..., Si Lelaki merunduk, melanjutkan,
...lagipula aku belum bisa kasih kamu apa-apa. Mungkin iya setahun ini kamu tidak bakal uring-uringan melulu aku ajak jalan-jalan naik motor. Tiga atau empat tahun nanti? Siapa yang tahu kamu membatin? Siapa tahu kamu mengharap bisa duduk di jok empuk mobil besar yang bisa terbuka atapnya? Untuk sekarang, aku tidak bisa kasih itu, Mar. Uangku habis untuk biaya daftar ulang universitas. Jauh dari bisa memberimu hadiah semisal gincu, atau tas.
Lelaki itu seolah-olah berpidato. 
Si Perempuan, Ia tidak menjawab barang satu patah. 

Mara, kamu dengarkan aku, tidak? Realistis saja lah. Kamu itu cantik. Di sini, siapa yang tidak mau sama kamu, sih? Sering aku ditanya, pakai pelet apa lah, kenapa kamu bisa sebegitu kepincutnya lah, sampai dukun mana yang aku gunakan untuk bisa mendapatkan kamu...

Padahal yang ada malah aku. Aku yang ingin sekali dilamar kamu... Perempuan dalam hati.

Ia memainkan ujung rambutnya dengan tertunduk. Si Perempuan menahan kekata di ujung lidah, membiarkannya tak terucap. Bingung dan kecewa cukup membuat hatinya megap-megap. Dipeluknya Si Lelaki. Tangannya lantas mengerat di bongkah kedua bahu. Pun tidak ada tetes mata yang jatuh, padahal ini adalah perpisahan. Entah sementara atau selamanya, ternyata.

Mar, saya cinta sama kamu. Tapi keadaan sekarang buat saya jadi kecil hati. Kamu tak usah khawatir, kalau memang Gusti beri izin untuk saya dan kamu. Nanti juga diberi, direstui.

Si Perempuan menjinjit, jempol kakinya menekan tanah basah. Diciumnya kening si Lelaki. Lama, Ia menumpahkan semua. Rela melepas pergi Lelaki demi mimpi-mimpi. Rentetan kalimat yang telah dirapikan malah hilang menguap.Si Perempuan tersenyum, walau rasanya pahit. Ia tahu, sulit bagi Lelaki untuk mengutarakan, mengambil keputusan yang jauh dari membahagiakan.


 ***

Seekor burung gereja kecil yang hinggap tepat di ujung tangan, menyadarkan Si Perempuan dari lamunan. Ia memandang jauh ke arah senja yang cepat menggelap. Mengapa perasaan ini tidak pernah sampai hingga tepinya. Mengapa semua yang datang meminang, Ia tolak dan kembali pulang. Mengapa hiruk pikuk kota tempatnya melanjutkan pendidikan, tidak menghilangkan Si Lelaki dari ingatan. Mengapa memori-memori yang kian mengusang, tidak juga membuyar.

Masih,
Pada lelaki itu, Ia besar harap.

Aku menunggu kau pulang. Aku menunggu rindu membawamu datang.
Dan semoga, waktu menjadi restu.
Aku menunggu takdir mengikat,
kamu dan aku.

November 2015.
weheartit.com