Sunday, March 8, 2015

Ketahuilah

Ketahuilah, aku sedang tidak bersiasat ketika aku benar-benar mengatakan perasaan ini tersesat.
Jatuh cinta padamu pun bukanlah sesuatu yang bisa kuprediksikan tepat
Bila aku berkata jatuh
Ya aku memang luluh
Bila aku berkata bersama
Ya aku memang cinta

Ketahuilah, aku sedang tidak bertaktik ketika aku benar-benar mengatakan, kau cukup membuat jiwaku pelik
Jatuh cinta padamu pun bukanlah suatu yang bisa kurencanakan baik-baik
Bila aku berkata bukan sekedar singgah
Ya aku memang akan menjadikanmu sebagai rumah
Bila aku berkata bukan sekedar hinggap
Ya aku memang akan lama menetap

Ketahuilah, aku tidak sedang bermain ketika aku benar-benar mengatakan, bahwa hanya ada kau saat ini dan tidak ada selain
Jatuh cinta padamu pun, bukanlah suatu yang bisa kucegah, malah makin-makin
Bila aku berkata aku ingin berjuang
Ya aku memang menjadikanmu sebagai tempat pulang
Bila aku berkata  tidak sedang mengembara
Ya, aku memang selalu diam diam berdoa
(aku ingin) kamu saja

Ketahuilah, aku tidak sedang berkilah, tidak usah kau takut mulut ini berbuih karena terlalu banyak berkisah,
aku jadi sering menghabiskan malam dengan diam, kan?
Ketahuilah
Aku tidak bisa berkilah,
Karena aku memang benar-benar  menyerah

2015


Thursday, March 5, 2015

Andai Matamu, Melihat Aku II

Untukmu, aku tidak bisa menjadi seorang pujangga. Sungguh. Tidak pernah kuperhitungkan akan lahir berpuluh lembar puisi cinta dengan kau jadi objeknya. 
Apalagi, aku tidak mengenalmu sebentar.

Andai matamu, melihat aku,
terungkap semua isi hatiku...

Terungkap? 
Kau sudah tahu semuanya. Aku anggap.

Tanpa perlu aku berkata apa-apa. Tanpa perlu aku jelaskan bagaimana. Karena memang sederhana adanya. Tanpa kau tahu, aku akan tetap sama dalam setiap suasana. 
Tidak peduli mau kau percaya atau tidak. Karena ini tentang hati yang tidak sembarang tergeletak. 

Misal, ketika kau mulai bercerita tentang apa yang akan dilakukan untuk menata hidup. Kau berbicara dengan mata yang  tidak pernah redup. Turut aku ingin menjadi seorang yang menjaga semangatmu untuk terus meletup-letup.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Lalu, sesaat setelah aku sarapan dan tidak lupa membuatkannya untukmu. Dua tangkup roti bersaus daging spaghetti. Membawa dan memastikan bahwa kau menghabiskannya hingga perutmu terisi.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Dan setelahnya, kau berjemur di bawah matahari. Angin pagi membuat rambutmu berantakan. Suatu pemandangan yang jarang sekali. Karena kau selalu memastikan bahwa sisir membuatnya rapi. Lantas aku memerhatikanmu yang seperti bayi. 
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Pun ketika malam. Kau tertidur pulas dan selimutmu sedikit lepas, aku menoleh sekilas dan membetulkannya. (Kemudian sesaat setelahnya kukecup dahimu pelan-pelan)
Karena jika tak lekas, mungkin kau akan kedinginan dan ketika esok kau terbangun, perutmu sakit dan mulas-mulas.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Ditambah, kau seorang pemerhati. Komentarmu tentang parfumku yang wanginya tak sama lagi, atau sekedar bertanya minuman apa yang kubawa karena beraroma melati, atau ketika kau mengelus pipiku dengan hati-hati ketika aku masih setengah bangun dari mimpi. Itu semua membuat aku tersanjung sendiri.
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

Sekalipun sekeras tenaga kucoba diam-diam menutupi, tiap kau dicemoohi dengan beberapa perempuan, lantas kemudian aku berlindung dengan malah ikut-ikutan…
Kau seharusnya sadar, aku cukup bernyali.

  
“Sekacau itukah?”
Wajahmu memerah dengan mudah. Sama seperti perasaan ini, 
(yang sialnya) semakin membuat betah.

Aku kerasan menatap kedua matamu yang coklat,
lekat-lekat.



2015