Wednesday, June 3, 2015

Ia pun, Ia menjuga.

“Where have you been?”
“Jangan bertanya hal itu. Semua ada maksudnya. Kalau saya datang lebih awal, mungkin ceritanya tidak akan begini.”
“Lalu mengapa telat? Boleh aku bertanya, kemana saja kamu selama ini?”
Dia mengulang pertanyaan yang sama. Lagi-lagi.
“Jangan menyalahkan saya yang datang akhir.”
“Ya tetapi, akan…”
“Mungkin ini bukan cerita yang lurus saja. Ya, kamu diberi pilihan. Tidak adilnya, malah untuk saya, satu-satunya.”
“Tapi jadinya tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Memang tidak ada yang bisa diapa-apakan.”

“Tapi..”
“Tapi apa? Bahkan Saya….Saya melakukan semua hal ini kepada kamu tanpa sedikitpun tahu. Perasaan Saya ini akan berbalas atau tidak..
…karena Saya sudah terlanjur untuk memahami kamu sejauh ini. Kalau pertanyaan kamu melulu tentang keseriusan Saya… 
Coba tolong perhatikan dalam-dalam.”

Kadang dalam hidup, cinta dan waktu adalah dua. Dua yang bisa mewujud jadi apa saja. Bernasib sama. Adalah hal yang selalu diagungkan, membahagiakan, dinanti-nanti, namun juga ditunggu mati, disalahkan, dikambinghitamkan dan menyakitkan. Berdua lantas memusar pada pertanyaan-pertanyaan tidak berjawab. Tidak ada yang lebih rahasia dari dua itu perkara.

Kemudian berbalik.
“Saya pulang dulu. Rupanya sudah pukul satu.”
Mata yang jarang tidur itu berpendar, sebentar. Lalu meredup.

Ingin sekali si Perempuan mengutarakan, Ia melewatkan malam-demi malam dengan menahan tubuh yang berdenyar-denyar. Banyak yang ingin diucap, lama menahan sedu, bibirnya tetap terkatup.

Dengan perasaan yang campur aduk, si Perempuan tertunduk.

Diam-diam,
Ia meminta
 keberpihakan pada 

Waktu.

Karena Ia pun, Ia menjuga.

2015.