Sunday, May 8, 2016

Terakhir.

Jangan pergi, sahutku. Angin mendesau seakan melolong nyaring. Luka yang menancap seakan ditakdirkan tidak mengering. Masih diam membatu aku. Bergelas-gelas arak yang kutenggak tidak menghilangkan sedu. Sedu suaramu yang menggema, menjadi kerak di sela-sela otak. Entah kemana mestinya aku berlari. Toh pepohonan tidak menaungi ingatan yang kian menyengat. Hingga melepuh ini pembuluh. Dan gelap? Gelap ini tidak menakutiku untuk pulang kembali. Malah ingin menjauhku tersesat. Untuk apa kembali mencari langit pagi? Jika tempias pipimu lebih dari sepotong matahari. Untung apa melanjutkan hidup lagi? Jika sepasang matamu bagiku adalah jiwaku yang separuhnya telah mati.

Kau membuatku tidak lagi percaya akan mujarabnya doa. Bahkan pada pemilik cerita, sering aku marah tidak terima. Mengapa skenario kita dirancang demikian sulit nan menderita? Hati tentu bukan perkara persepsi apalagi rasio otak kiri. Aku memuntahkan perasaan lewat nadi. Airmata yang juga kutopleskan ini, jadi saksi. Rindu mencungkil kulitku dan perih menyayatnya. Parau suaramu mengiang di kepalaku, getir. Hingga kuminum sendiri tangisku dalam duabelas cangkir. Tiap aku termangu, aku halu. Kudengar kau memanggil-manggil aku. Lewat angin. Sendu. Sembilu.
Keyakinan-keyakinanku rontok, seketika. Kesadaranku anjlok, cuma-cuma. Luluh lantaklah aku ketika malam mengganti magenta. Entah mengapa,  sunyi langit Bandung Utara menyedot sakitku lamat-lamat. Mungkin aku teringat akan ciuman-ciuman yang sering kau hidangkan. Dadaku gegap berlipat-lipat. Celotehan Timor-Timurmu membuatnya gempita.

Aku mencari, senantiasa. Terakhir, celah-celah langit sedikit menghibur. Kutemukan bayangmu di sana, walau sedikit blur dan meluntur. Kau bahkan melekat di urat-urat. Di tulang hasta, vena hingga aorta. Wangi tubuhmu masih jadi aroma utama. Telah seminggu ini kubawa jantungku kemana-mana. Kugenggam bergantian di tangan kiri dan kanan. Meski sedikit lemah dan kering, jantungku masih berdegup.

Mengencang detaknya, 
jika kulafalkan namamu berulang lengkap-lengkap.
Memekat merah warnanya,
jika kunyanyikan sebait lagu kesukaanmu di malam-malam gelap.
dan,
menderas arus darahnya, 
jika tahu kau akan kembali untuk menghidupiku genap.


Bolehkah aku menerobos batas waktu dan masa lalu?

Kenangan menampar pipiku hingga biru lebam. Kehilanganmu, memperparahnya. Kucari kau hingga ke langit, kucuri dan kulayarkan kau ke lautan. Karena tentangmu, adalah tentang rasa yang terperangkap realita.


Ketahuilah, engkau seindah-indahnya nyawa tempatku membenamkan usia.

Mei 2016

No comments:

Post a Comment