Friday, July 5, 2013

Bahwa Akhirnya

Aku masih ingat, betapa sakitnya berpisah dan sakitnya dipisahkan secara tiba-tiba, ketika cinta menumbuhkan kebun bunga dan seketika datang pemangkas pisau kepala dua meratakan semua, ketika waktu mengurung kita akhirnya memisahkan, atau ketika keadaan yang asalnya membuat kita bersama, malah meniadakan.
Kalau sudah kehendak dan keadaan yang bicara, kita bisa apa?
Untuk manusia seangkuh aku, merindukan seseorang dan mengenangnya adalah hal yang paling sulit dilakukan. Dan untuk manusia sesibuk aku, mengulang-ngulang ingatan dan menjadi sentimen bukanlah jadi prioritas. Seperti sekedar meluangkan waktu di ujung hari dengan sesenggukan menangisi orang. Untuk manusia sepertiku, cukuplah untuk menerima apa yang ada, bukan mengevaluasi takdir mengapa hidupku harus begini harus begitu. Bukan untuk meratapi, untuk merasakan dikecewakan.

Setelah tiga tahun kau pergi, aku rasa aku sudah mampu berdiri, lagi. Kau bisa lihat sendiri. Aku berusaha makin baik. Semakin hari aku cepat memulih. Dan kau pasti bangga padaku. Aku terjun bebas pada kesibukan-kesibukan aneh. Pulang larut malam dan setumpuk meeting jadi teman akrab. Sering juga pada Jumat malam aku berkencan dengan piano sudut restoran. Hal banyak berubah. Aku dengan susah payah menghapus manja dan cengengku. Bertekad untuk menjadi seseorang yang tak perlu lagi sandaran. Sesekali ibu dan ayah menelpon, mereka khawatir aku tak bisa mengurus diri sendiri. Adikku  juga kadang datang berkunjung. Dengan tujuan yang sama. Mengajakku mengobrol, mengamati kehidupanku dari jauh. 

Dua pekan sebelum hari besarku, masih saja otak ini terculik dan terkudeta, dirapuhi.
Aku mengerling pada cincin yang kupakai, pada isi bingkai foto ujung meja, pada rumah yang kutempati. Pada calon manusia yang sekarang tidur nyenyak di rahim.
 
Itulah mengapa aku memilih untuk pura-pura lupa, Ran. Karena memang benar-benar rapuh dan sakit. Sebab benar-benar aku tidak rela tanpa kamu. Aku harus merasakan kehilanganmu dan sakitnya berkali-kali, sampai kering airmataku meminta pada Tuhan untuk tidak melakukan itu. Untuk meringis, meronta, supaya Ia menukarkan takdir. Tapi sekeras apapun tangis, tak akan pernah bisa membawamu kembali. Aku menyelipkan doa pada malam-malam, betapa benar aku menyayangi kamu, menginginkan kamu, dan kadang menunggu Ia memberi ijinnya untuk aku ikut bersamamu, Ran. Dan ketika Ia malah mengirimkan aku pengganti, aku lebih memilih untuk menunggu kamu kembali. Menjerit-jerit lagi untuk kesekian kali. Memohon, supaya apa yang kualami tak lebih dari sekedar mimpi. Semestinya Ia tahu, cinta manusia bisa melebihi yang dikira. Dan ada yang harus Ia mengerti, 
kau jelas tak ada gantinya.

Perasaan ini kian egois Ran.

Begitulah, kadang perasaan ini pasang surut sesuai waktunya. Mungkin sekarang ombaknya sedang kencang. Pasang yang kau kirim hampir saja menghancurkan kapal yang sedang berlaju denganku sekarang.
dan menurutku, mendua denganmu adalah hal yang selalu sah-sah saja.

*** 

“De? Lagi apa kamu di kamar?  Ini mama datang.”
“Iya Mas tunggu.  Aku turun.”


2013

No comments:

Post a Comment