Monday, August 15, 2011

Penghujung

"Selamat jalan."
"Iya"
"Hati-hati"
"Iya"
"Titip satu"
"Iya"
"Setia"
...

Sebulan lalu, di balkon lantai dua rumahku. Kamu berpamitan untuk yang pertama kali, sekaligus mengucapkan selamat datang pada masa depanmu.

Malam itu, tidak beranjak kamu dari samping aku, dini hari menyelimut, tidur kita beralas kabut, aku dan kamu melahap bintang yang menyemut. Milyaran. Seperti takutku.
- Banyak.
Sekali.

"Aku pergi ya, besok pagi. Mau ikut antar?"
"Iya."
"Nanti kamu menyusul. Makanya, cepat lulus. Ikut aku kesana."
"Iya"
"Terus aku lamar kamu."
"Iya"
"Emang mau? Daritadi Iya-iya melulu. Kenapa? Senang ya aku pergi?"
"Mau."
"Senang aku pergi?"
"Tidak."
"Kenapa? Kamu mematung begitu. Sengaja malam aku kontrak jadi ekstra panjang. Cuma buat kita."
"Terimakasih."
"Ah kamu. Selalu saja."

Kamu melingkarkan tangan, memeluk pinggangku. Betapa yang aku inginkan hanya itu. Bukan percakapan panjang, bukan angan-angan kacangan. Aku hanya perlu membungkus malam ini dengan diam, dan memastikan kamu selalu mendekap. Selalu dengan aku. Ingin aku kalilipatkan waktu, bukan duapuluhempat jam. Bukan hari biasanya. Hari yang mampu melumatkan semuanya. Yang bisa membuat mulutku tidak terkunci seperti kali ini. Benci rasanya jika tenggorokan sudah tercekat seperti ini, ingin menangis, ingin berucap juga. Ingin memeluk, ingin mengutarakan juga.
Mulutku terkunci dengan rasa memiliki.
Jangan pergi.

Lalu kamu tersenyum. Ah! Senyum itu.
Senyum yang sudah pasti hanya aku yang berhak mendapati. Senyum yang jadinya matamu menyipit seperti kelinci.
Ku telusuri tiap jengkal wajahmu.
Roman mukamu.
Seri di pipimu.
Kumis tipismu.
Hidung mancungmu.
(Semua milikku)

Matamu menjumpai mataku.
Terasa panaslah kanan kiri milikku. -
Aku mulai menangis, aku lupa,
kamu adalah seorang pemerhati.
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat airmataku berangsur naik, menjadikan wajahku sungai yang bermuara.

Aku mengenggam tanganmu.
Erat.
Sekali.

Kamu memelukku, tanganmu mengusap rambutku dan membiarkan aku di dalam lenganmu. Membiarkan aku mendengar jelas degup jantungmu, aku ingin degup itupun milikku.
Selalu.

"Aku mengerti."
Bisikmu.

Tangisku pecah seketika. Tanganku semakin erat memeluk punggung lelaki di depanku ini.
Jangan pergi.

Sungguh aku takut, bila kuterjemahkan tangisku. Aku takut, aku tidak ingin kamu pergi, apalagi jauh dari aku. Aku tidak ingin ragamu hilang dari hari-hari, tidak ingin senyummu menjadi abstain tiap pagi, dan tidak kutemukan matamu yang penuh binar dan muatan emosi.
Aku takut.
Takut.

Aku tidak ingin kehilangan, walau makna bukan sebenarnya. Hatiku tetap memiliki kamu, hatimu pun juga. Aku menunggumu disini. Kamu disana juga ingat aku. Aku percayakan kamu sebagai masa depanku, kamu juga dengan tegas berkata ingin menjadi Imamku. Matamu dan mataku berucap satu. Dengan tujuan yang sama,
tentu.
Aku tidak ingin bermain dengan kerinduan, tidak ingin diam dan hanya bercanda dengan airmata, nanti, jika aku terpaksa memendam keinginan untuk sekedar melihat kamu, mengacak-acak rambutmu, pergi ke kedai pancake di akhir pekan denganmu, atau lari pagi tiap sabtu.
Aku tidak ingin.
Tidak mau.

Masih dalam pelukan,
Kamu memelukku lama sekali, sunyi menjadi tepi, dan napasmu berkejaran, aku mendengar itu. Aku ingin menculik napasku, dan memaksa dia juga disini bersama aku.
Kau kecup keningku.
Tidak bisa berkata banyak. Aku tersenyum dalam roman telaga.

"Aku sayang kamu. Aku, cinta."

Ku balas pelukanmu. Lama sekali.
Aku,
kamu,
satu.

Matamu menenggelamkanku, ke dalam derasnya sungai yang tercipta dari makna-makna. Bibirmu membuat aku tidak bisa mendengar. Yang secara tiba-tiba terpagut, bibirmu dalam mulutku.

Aku lebih dari tiga kalimat tadi, aku lebih dari itu, lebih dari ribuan senja yang kulewati, lebih dari jutaan melankoli yang pernah diakui.

"Aku.. Masih di sini.. Untuk setia.."

No comments:

Post a Comment