Tuesday, June 4, 2013

Anak Perempuan Papa

Ijinkan anakmu, Pah, untuk menceritakan sedikit rasa bangganya memiliki Papa yang romantis. Saya adalah sosok perempuan yang kekeuh bahwa keromantisan dan keindahan bisa datang dari kesederhanaan. Dan memang sebenarnya romantis itu, sederhana. Seperti hashtag di twitter #BahagiaItuSederhana. Yap bukan hanya Bahagia, tapi Romantis juga! 
Papa bukan datang dari keluarga bangsawan, atau  milyuner yang uangnya bisa datang darimana saja, papa juga bukan tipe orangtua yang gampang beliin ini itu untuk anak-anaknya. Dan saya juga setuju, romantis tidak datang dari hal-hal seperti itu. Adalah kembali, bahwa romantis bisa datang dari kesederhanaan, 

Yang selama ini papa lakukan selama 19 tahun.

Sedikit tentang Papa, papa itu tegas, perfeksionis, pekerja keras, introvert, tapi romantisnya bukan main. Ada beberapa momen yang akan selalu saya ingat, dan i'll swear, hanya Papa lah lelaki satu-satunya yang pernah melakukan hal se-sweet itu.

Ketika itu, kalau tidak salah saya masih duduk di bangku kelas 5 atau kelas 6 SD saya lupa persisnya, sepanjang jalan menuju rumah, saya merengek minta Papa untuk membelikan parfum baru, sebut merk saja ya, Anna Sui. Ya, saya masih ingat. Karena siangnya Papa dan aku jalan-jalan ke suatu pusat perbelanjaan di Jalan Gatot Subroto Bandung. Dan papa dengan kalemnya menjawab  “Nanti ajalah, minggu depan ya...” mendengar papa yang tidak berhasil saya enyuhkan hatinya, saya makin rewel dan pulang dengan muka murung. Dan papa tidak ubahnya cuek bebek, flat selurus-lurusnya rambut rebonding dari jalan sampai rumah. Beberapa hari setelahnya, entah hari keberapa, saya pulang sekolah dan terkejut melihat di atas tempat tidur saya terletak sebuah kotak kecil hijau yang tidak lain adalah parfum yang saya inginkan, dan ternyata terdapat kertas di bawahnya, bertuliskan, "Dipakai ya Teh Parfumnya. Love, Papa."
                                                                                                                
Itu adalah hal yang sangat romantis menurut saya, dan nilainya bukan terletak pada materi bahwa papa akhirnya membelikan parfum. Tetapi niat beliaulah yang menge-set, membentuk suasana, untuk tetap terlihat cuek bebek mendengar rengekan saya, padahal ternyata diam diam dibelakang beliau malah membelikan parfum, lalu dengan sengaja menyimpan parfumnya di atas kasur, bahkan menuliskan surat di bawahnya.

Atau misalkan, hal yang sebenarnya papa mungkin mengganggap saya tidak tahu (sebenarnya saya tahu betul hehe) Sampai sekarang, sampai tahun ini,  papa tidak pernah lupa untuk mencium kening saya di saat (yang mungkin papa kira) saya sudah terlelap tidur. 

Romantisnya Papa juga terlihat, ketika saya berulang tahun ke-19 kemarin, karena ada rezeki, papa menghadiahkan saya sebuah mobil. Bukan, sekali lagi yang ditekankan bukan hadiah mobilnya  Sehari setelahnya, di pagi hari papa membangunkan saya dan dengan khas-nya,  oh iya... Papa adalah orang yang sangat prosedural, bagaimana Ia mengingatkan dalam setiap hak, tentu ada kewajiban. Papa mengajak saya untuk “mengenal” mobil itu lebih banyak. Beliau menyuruh saya untuk membuka segala macam kotak yang ada di bagasi belakang, dongkrak, ban, dan segala macamnya.  Tangan kami sampai kotor pada saat itu, karena Papa juga mengajarkan saya bagaimana caranya mengganti ban (ternyata ban itu berat sekali, haha). Hingga sebagai perempuan, saya bisa mengganti air wiper, mengetahui dan memasang klakson, mencuci mobil hingga bersih sesuai dengan tata cara, hingga mengantre untuk servis onderdil. Haha lumayan lah, ya?

Saya sempat berpikir, “Apaan sih, ginian doang.”  Tapi Papa hanya ingin anaknya nanti tidak kenapa-napa di jalan, ya kan?
Kami menghabiskan waktu setengah hari hanya untuk mengotak-atik hal-hal seperti itu. Dan Papa itu detailnya minta ampun.  “Ini Teh,  obeng ini.. coba cek di operational book nya ada engga?” lalu, “Nah ini segitiga pengaman, cara pakainya gini. Kamu nanti kalau bannya kempes atau apa-apa usahakan cari yang jalannya rata... sepi, dan jangan di  pinggiran yang padat.” Atau, “Nih coba, kalau lampu ini menyala, artinya apa yang belum?”
Papa sampai segitunya, ya? Iya. Memang. Tapi menurut saya, itu keromantisan papa dengan kemasannya yang lain.

Dan yang baru-baru ini, pada saat saya mau Ujian Akhir Semester, saya sering kesulitan belajar di malam hari karena lampu belajar saya rusak. Entah apanya, karena sudah berulang kali diganti bola lampunya pun tetap tidak menyala. Saya sampai seempat rebutan lampu belajar dengan adik pertama saya, menyebalkannya lampu itu bukan pertama kalinya mati, papa sudah dua kali membetulkan lampu itu dan pasti dalam waktu sebentar akan rusak lagi. Dan hal romantis antara papa-saya-dan lampu itu adalah, papa niat membetulkan lampu belajar saya, (sampai beliau bawa keluar kota dan membetulkannya di sana lalu kembali dengan lampu yang sudah betul) Padahal kalau ingin tidak ribet, papa bisa membelikan saya lampu belajar baru ketimbang mengganggu pekerjaan beliau di sana. Rasanya, papa ingin memberikan hasil “buah-tangan”-nya kepada saya. Ah, Papa memang selalu menyimpan effort di mana saja. Saat papa pulang, papa masuk ke kamar saya, dengan sederhana papa memberitahu, "Nih Teh, lampunya udah jadi, tapi warnanya kuning, enggak apa-apa ya?"

Romantis untuk saya bisa datang dari hal sekecil apa saja, dan hal terabsurd sekalipun. Romantis bisa datang dari menyempatkannya Papa di sela kesibukannya, untuk sekedar BBM, telepon, ataupun kalau papa sudah kangennya keterlaluan, Papa menyuruh anak-anaknya untuk dadah-dadah ke CCTV (semua saluran cctv di rumah saya terkoneksi langsung ke handphone beliau) Romantis bisa datang saat Papa sama sekali tidak gengsi untuk mengekspresikan cintanya untuk keluarga, rindunya, saat Papa supersibuk. Satu waktu, papa pernah tiba-tiba BBM saya di siang hari "Teh kita serumah tapi kok belum ketemu dua hari ya? Kangen." Romantis bisa datang dari emote-emote kiss dan hug yang tak pernah lupa Papa simpan di akhir kalimat pesan singkat. Atau, konyolnya lagi, romantis bisa datang dari teganya papa yang menjeburkan saya ke kolam setinggi 1,5 meter, empat belas tahun lalu ketika saya belum bisa berenang. Walaupun pada akhirnya ternyata saya hanya tidak pede dengan kemampuan diri sendiri, dan malah renang dengan lancarnya. 
"Apa Papa bilang, kamu tuh sebenarnya bisa, tapi enggak pernah mau coba. Jadi papa sengaja jeburin."

Romantis juga bisa datang ketika Papa tidak pernah mau mengambil centong nasi ketika ada anggota keluarga yang belum turun ke meja makan, keromantisannya dilanjut ketika Papa dengan senangnya mendengarkan saya bercerita apa saja. Romantisnya juga pernah mengejutkan sekolah, Papa berniat menjemput saya pulang sekolah, dan beliau datang dengan ambulans pembawa mayat. Guru-guru panik dan menanyakan siapa yang meninggal di sekolah pada saat itu. Papa..papa...yang penting anaknya dia jemput. Takut menunggu lama, takut anaknya kenapa-napa. Lagi-lagi itu alasannya.
Romantis bisa datang ketika Papa membetulkan jendela kamar saya yang rusak, atau sekedar memasangkan jam dinding di kamar saya. Romantisnya Papa juga datang saat... beliau tidak pernah memaksa saya untuk masuk ke fakultas kedokteran. Katanya, biarlah anak perempuannya ini mengambil keputusan penuh akan kehidupannya, sehingga nanti dapat membuktikan dan bertanggungjawab atas pilihannya terebut.
Dan yang membuat saya menjadi perempuan pecinta bunga, apapun bunganya. Adalah Papa. Selama saya bisa mengingat, sepanjang ulang tahun saya, Papa tak pernah absen mengirimkan buket bunga, biasanya mawar merah, namun ketika mengetahui saya menyukai warna ungu, pada ulang tahun ke enambelas hingga sekarang, digantinyalah bunga itu, menjadi mawar atau lily, apapun, asalkan warnanya ungu,

Saya sayang papa. 

Saya jadi ingat, sekali waktu saya pernah mengobrak-abrik dompet Ibu dan menemukan sebuah foto sunset, karena bingung saya bertanya untuk apa ibu menyimpan foto sunset di dalam dompetnya, bukan foto mereka berdua,  Ibu langsung membalikkan lembar foto tersebut, dan di belakangnya terdapat tulisan tangan papa. Papa menuliskan puisi untuk ibu, dan foto sunset tersebut adalah hasil jepretan papa.
Saya jadi membayangkan, seromantis apa Papa untuk ibu, ya...


"Wujudku adalah patung terbengkalai
cinta telah mengukirnya
dan jadilah aku manusia.
 'de keinginanku hanyalah satukan cinta dan perasaan kita."

                                              Pangandaran 1990. Love
                                                                       DadanR.

No comments:

Post a Comment