Monday, September 30, 2013

Sebelum Kau Pulang

Kau bilang duniaku ada di sana. Di sampingmu. Lalu biarkanlah aku menetap, di tepi. Pusing aku, semakin hari semakin bising. sama seperti hari-hari yang makin padat, kau tenggelam dalam kesibukan jam kerja yang jadi ketat.

Sama seperti hari ini, malam minggu yang mestinya kita makan berdua di restoran langganan tengah kota, aku malah jadi tertumpah kuyup hujan. Lagi-lagi menunggumu. Kulihat sekeliling, halte tempat meneduh, sudah penuh. Salahku tidak pakai jas hujan sedari tadi, karena memang saat berangkat awan masih bermain teka-teki.

Mulai jengkel aku, kuketiklah pesan singkat bertuju nomormu. Kutanya berapa lama lagi kau selesai. Tiga puluh menit tak juga kunjung ponselku bergetar. Jemariku makin dingin. Hujannya makin besar. Cuaca benar-benar mengusik. Kalau saja aku tega meninggalkanmu, kalau saja aku lebih memilih untuk tidur lelap dibalik selimut, kalau saja aku lebih memilih membiarkanmu dijemput taksi seperti biasanya, kalau saja aku tidak pernah merasa khawatir akan kau, kalau saja wanita  yang larut malam pulang sendirian di tengah ibu kota itu bukan istriku.  Kesalku akan hujan malah jadi makin tercurah. Kau yang membuatku jadi kehujanan, seolah-olah.

Andai saja kau tahu, di balik gedung tinggi kantormu itu, adalah aku yang setia menunggu kau pulang. Badanku semakin ringkih badan karena basah air dari mana-mana, dari langit, dari selokan tumpah, dari cipratan bus, dari mikrolet lewat, dari mobil-mobil mewah yang jalan cepat.

Sepatu  yang kupakai juga sudah tak jelas bentuknya, sudah kumel dan bulukan, kaus kakinya kebasahan. Jempol kakiku sudah pasti bau tak karuan. Kalau sudah begini, semua terasa tidak mengenakkan. Giliran perutku minta dikasih makan. Mataku kesana kemari mencari warung nasi yang mungkin buka, atau warteg ibu Mus yang biasa ada di bawah itu jembatan. Memang sedang tak beruntung aku, di jalan malam ini tidak ada lagi lampu menyala selain berasal dari bohlam penerangan.

Kumasukkan kedua telapak tanganku ke dalam jaket. Sesaat sebelum biji mata melirik arloji. Satu jam aku menunggu, pesan singkatku mungkin tertutup berkas-berkas dari bosmu yang sedang bernyanyian di atas gedung sana. Jalan sepi memaksa aku untuk termenung. Jika trotoar-trotoar dapat berujar, mungkin mereka sedang memaki dan menyindirku dengan nyiyir.

Aku lembur, maaf baru bilang. Kau di mana? Lumayan dapat uang tambah, bos sedang ada proyek sampingan. Teleponku berdering. Layarnya kedip-kedip.
Di rumah. Menunggu kau minta jemput. Ini malam minggu. Padahal mau kuajak kau makan di tempat biasa. Ingatku.
Renyah suaramu dari sebrang tak pernah berubah. Ah maaf aku lupa! Makannya nanti lagi saja. Baru kemarin kau belikan aku vas bunga baru
Aku menghela. Ya sudah, nanti kuhubungi lagi.

Kalau begitu aku pulang dari tadi. Menunggu di hujan yang menderas malah bikin penyakit, mau marah padamu pun percuma. Kau akan membalas dengan argumen yang memang tak akan pernah bisa aku bantah. Kasihan kau jika tahu aku sudah sampai tepat di bawah kantormu sejak satu jam yang lalu. Jika seperti itu kau selalu dirundung rasa bersalah. Aku tak makan malam ini dari hujan yang juga turun dari matamu.

Maaf jika aku belum bisa memberikan apa-apa, hanya sebuah kontrakan kecil sederhana yang tak berpendingin ruangan. Maaf jika setiap malam setelah lembur kau harus kedinginan karena kujemput dengan motor tua yang mudah mogok. Maaf juga jika sudah dua hari ini kau terus saja kubohongi; bosku memecatku karena aku ketahuan mengambil guci kesayangannya yang ternyata harganya jutaan.

Kau bilang duniaku ada di sana. Di sampingmu. Lalu biarkanlah aku menetap, di tepi. Pusing aku, semakin hari semakin bising.

Maafkan aku membawamu dalam duniaku. Lalu terpaksa jadi semuamu. Jikalau kau tak kuat, tinggalah saja untuk sesaat. Memusingkan kamu, membisingkan hidup dan sejiwamu.


2013


No comments:

Post a Comment