Saturday, May 18, 2013

Namaku Cinta I

Namaku Cinta. Di dunia, keberadaanku bisa kau temukan di mana saja, tetapi sekarang, aku tepat berada di antara kedua nama. Fabiana dan Kalhan, dan mereka telah hidup denganku selama delapan tahun,

Aku tengah mengamati mereka dari pojok kopi yang cukup sepi. Tempat Fabiana berlama-lama diam, dan berjarak 30 meter dari kantor Kalhan. Untuk pertemuan yang kali ini, mereka tidak menyertakan aku. Karena penasaran, diam diam aku mengikuti mereka hingga sampailah di sini.

“Kenapa baru bilang Mas? Kan rencananya dua tahun lagi?”
“Dipercepat Na, saya ternyata disuruh kesana. Ibu enggak ada yang nemenin.”
“Loh? Terus bagaimana? Aku ngikut baiknya saja. Nanggung Mas, sekolahku sebentar lagi juga selesai.”
“Inilah kenapa saya ingin ketemu dan bicara, Na. Saya juga bingung. Enggak bermaksud untuk nyuruh kamu berhenti kuliah... Tapi...”
“Kan rencananya setelah aku beresin ini, aku ikut Mas dan doktoralku dilanjutkan di sana.”
“Kalau pernikahan kita dipercepat? Atau kalau bisa di sana saja. Saya tahu ini serba mendadak dan pasti kamu kaget, Na. Cuma ibu bilang begitu. Ibu kemarin sakit lagi dan ingin saya segera boyong Nana ke sana, sama ibu. Ibu yang minta, Na.”

Ternyata aku menguping percakapan yang cukup rumit. Muka mereka berdua lebih semrawut daripada jalanan macet ibukota jam pulang kantor. Sambil menyeruput frappucino ukuran ekstra, aku kembali mendengarkan.

Semoga mereka tidak melupakan bahwa mereka telah hidup dan menghadirkanku selama delapan tahun.  Fabiana dan Kalhan membangunku dan selalu menyertakan sebagai perekat mereka berdua. Aku juga jadi saksi atas pertengkaran, debat, tangis, tawa terbahak, cemburu, setia, rindu,  senang, pelukan, ciuman, kebahagiaan mereka. Bahkan aku akan diagungkan oleh mereka di atas altar dua tahun lagi, hidup bersama dengan mengikatku selamanya. Kadang permasalahan datang untuk menguji manusia, untuk tetap memilih bersamaku, atau malah meniadakanku.

Namaku Cinta, dan aku tidak mau dihilangkan.

***


Lagi-lagi di taman ini, kau lelaki yang selalu mengikuti dan hapal betul jam makan siangku, dan di mana tempatku membuka bekal. Kau lelaki yang entah secara kebetulan, selalu tepat berada di kursi depan. Kemarin wajahmu kau tutupi oleh majalah otomotif, dan sekarang? Kau terlihat serius membaca dan membolak-balikkan koran.
Entah aku yang geer, atau memang seperti itu keadaannya, tapi di saat aku  mulai membuka kotak bekal dan mengambil sendok, mengiris-ngiris daging ayam, lalu menyuapnya, aku suka merasa kau suka memperhatikanku. Dan di saat aku penasaran ingin melihat kamu, kau memalingkan muka. Tidak terhitung sudah berapa kali seperti itu. Namun bukannya risih, aku malah senang diperhatikan kamu seperti itu.

Nah, lima menit lagi dia pasti datang. Bawa menu bekal apa ya dia hari ini? Kenapa kamu lucu sekali sih? Tuhan beranikan lah aku untuk sekedar pindah tempat duduk dan bertanya siapa namanya, pada sore hari ini saja. Sudah lima hari saya hanya duduk diam dan memperhatikan wajahnya yang manis itu.  Apa dia merasa, ya? Okay, dia datang. Mana? Mana koran yang barusan saya bawa? Saya terlihat rapi kan? Lebih baik saya berpura-pura membaca saja, barang sepuluh menit, mungkin saya tahan untuk bersikap biasa saja dan tidak jadi salah tingkah Ah! Kenapa dia lucu sekali sih? Caranya menyuap dan pipinya yang nanti menggembung itu membuat saya ingin mencubitnya. Jangan ketinggian, namanya saja saya belum tahu. Apalagi mencubit pipinya...Sial! Sepertinya dia sadar aku perhatikan, pipinya memerah walau dia berpura-pura sibuk dengan makan siangnya. Dia tersenyum!!! Serius Duh, bodoh! Lebih baik saya baca koran lagi. Dan tetap bersikap tenang.

Lelaki itu kenapa sih? Ada yang aneh denganku ya siang ini? Apa ada yang salah dengan bajuku? Atau... ada nasi yang menempel di pipiku? Atau aku bau badan dan tercium sampai sana? Kenapa aku sering merasa matanya terus mengamatiku, ya? Tapi di lihat-lihat dia lumayan juga sih,
Ah! Bodoh! Kenapa aku tersenyum barusan? Aduh! Pasti pipiku memerah dan aku disangka kegeeran... Ah Bagaimana ini? Tenang Ra, tenang... Habiskan makananmu ini...

Mungkin saatnya sekarang,

Kenapa dia jalan mendekat?

Bismillah. Tuhan, saya cuma ingin berkenalan. Berikan keberanian..

“Siang, saya Rama. Boleh duduk di sini?”

“Eh... mmm... Saya Arla, silakan. Kosong di sini.”

“.....”

Namaku Cinta. Di dunia, keberadaanku bisa kau temukan di mana saja, tetapi sekarang, aku tepat berada di antara kedua nama. Rama dan Arla. Sepertinya mereka memang menunggu kedatanganku, dan sekarang, dirasa pas waktunya. Hallo Arla, Rama, selamat datang. Selamat bertemu denganku.

Namaku Cinta. Dan aku bisa datang kapanpun semauku.

1 comment:

  1. ini bangetlah kalo seandainya cinta itu hadir sebagai manusia dan bisa baca pikiran dan suara hati para pengagumnya hahaha :D

    ReplyDelete