Tuesday, July 15, 2025

Perihal Membaca Kehidupan

Membaca kehidupan, bagi saya, adalah membaca sebuah naskah agung;  sebuah teks eksistensial yang ditulis oleh Tuhan dengan tinta waktu dan kertas realitas. Ia tidak terdiri dari huruf-huruf alfabet, melainkan dari kejadian, pertemuan, kehilangan, dan pencarian. Dalam perenungan atas Seni Membaca dan Memahami karya Mortimer Adler dan Charles Van Doren, saya menemukan analogi yang sangat kuat antara tingkatan membaca dalam literasi dan tingkat kedalaman kita dalam memahami hidup. Membaca secara sintopikal:tingkatan membaca tertinggi yang paling aktif dan menuntut usaha, mencerminkan bagaimana kita seharusnya mendekati hidup: tidak hanya sebagai rangkaian peristiwa, tapi sebagai sistem makna yang saling terhubung dan harus dibaca melampaui permukaan.



Tuhan telah memberikan kepada manusia tiga alat utama untuk membaca naskah ini: ruh, akal, dan fisik. Fisik adalah pembuka layar panggung. Ia mengalami: berjalan, jatuh, bangkit, mencinta, kehilangan. Ia seperti mata yang membaca huruf, tapi belum memahami kalimat. Akal adalah pembaca analitis: ia mengurai makna, mempertanyakan motif, menghubungkan bab demi bab dalam hidup kita. Tapi pada titik tertentu, akal pun terbatas. Ia bisa menemukan mengapa, tapi tidak selalu bisa menjawab untuk apa. Di sinilah ruh mengambil peran sebagai pembaca sintopikal; ia tidak hanya memahami isi hidup, tetapi juga menarik benang merah lintas dimensi dan lintas waktu, membandingkan nilai-nilai, dan menyimpulkan hikmah yang mungkin tak disebutkan dalam “teks kehidupan” secara eksplisit. Ruh mengarahkan kita untuk mencipta makna, bukan sekadar menemukan makna yang sudah ada.

Secara simbolik, membaca kehidupan dengan ketiga alat ini adalah seperti membaca wahyu dalam dua bentuk: qauliyah (teks tertulis: kitab) dan kauniyah (alam semesta dan peristiwa hidup). Keduanya harus dibaca bersamaan, dengan akal untuk menalar, fisik untuk mengalami, dan ruh untuk menafsirkan secara spiritual. Al-Ghazali menyebut ruh sebagai jauhar, inti hakiki dari diri manusia, yang hanya bisa disentuh melalui perenungan, kejujuran batin, dan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar data atau fakta.

Saya percaya, membaca hidup secara sintopikal berarti juga membaca Tuhan di balik kehidupan. Bukan sebagai objek, tapi sebagai Makna itu sendiri. Dalam hidup yang penuh paradoks ini; antara kebahagiaan dan duka, kejelasan dan kebingungan, kita diundang untuk tidak sekadar menjalani, tapi menafsirkan. Dan dalam penafsiran itulah, hidup menjadi kitab yang hidup, naskah yang tak pernah selesai, dan bacaan yang membawa kita, perlahan tapi pasti, dari ketidaktahuan menuju pemahaman.

Maka, jika kita bertanya, apa arti membaca dalam makna terdalamnya? Mungkin saya menjawabnya membaca adalah ziarah batin ke dalam teks kehidupan yang ditulis oleh Tuhan, dengan membawa seluruh instrumen kemanusiaan kita: akal, ruh, dan tubuh; agar tak hanya tahu, tapi juga mengerti dan menjadi.


2025




No comments:

Post a Comment