Sunday, July 20, 2025

Merona dan Petang: Tahun-tahun yang Tidak Ditetapkan

Petang bangun lebih awal dari biasanya. Jam biologisnya sudah tidak kenal kota asal. Di Kuba, jam lima pagi seperti napas pertama sesudah menahan sesak terlalu lama. Ia menyeduh air garam hangat, menimbang dirinya, mencatat cuaca, menyapu lantai toko yang berderit pelan, seolah lantai pun ikut menyusutkan suara. La Biblioteca del Sabor berdiri tegak seperti dada yang baru selesai menelan luka. Rempah-rempah digantung seperti azimat. Daun salam, kunyit akar, kulit manis, cengkeh, dan biji adas terbungkus rapi seperti kesabaran yang sudah tidak ingin tampil anggun.Petang sudah tidak lagi merokok. Ia berhenti bersiul. Ia menyimpan puisi-puisi pendek di balik etalase: potongan kalimat yang dulu Merona tinggalkan di antara lembaran novel Gabriel García Márquez.

“Tubuh adalah rumah dari segala yang kita abaikan.”

Kini ia menjaga tubuhnya. Punggung yang dulu bengkok karena duduk terlalu lama di depan layar kini belajar melurus. Tangannya tidak secepat dulu menanggapi notifikasi, namun lebih cekatan menimbang ketumbar dan menakar gula kelapa. Ia belum mengganti ponsel. Tak perlu. Tidak ada nama yang dinanti, tak ada suara yang ingin direkam. Ia sudah cukup akrab dengan keabsenan semua.

Merona tinggal di Tumenggung, di antara suara keloneng sapi dan jarak tempuh yang sulit diukur. Rumahnya memeluk lereng, dibangun dari kayu tua yang diselamatkan dari gudang pasar. Tidak ada pagar. Ia percaya, sesuatu yang ditanam dengan cinta tidak perlu dikunci dari dunia. Setiap pagi, Merona mengumpulkan telur ayam, memanen cabai rawit dan menulis jurnal. Ia tidak menandai hari, hanya mencatat aroma tanah, intensitas angin, dan mimpi-mimpi yang kadang datang tanpa suara. Kadang mengecek portofolio, mengecek warna hijau biru merah di layar laptopnya.

Merona punya kebiasaan baru: mencatat keheningan. Ia menamai jenis-jenisnya.

Hening pertama: ketika burung belum bangun, tapi gelap sudah tidak utuh, langit mewarnai dirinya.
Hening kedua: saat menanak nasi, dan air mulai berbuih tanpa suara.
Hening ketiga: ketika seseorang hampir menyebut nama yang seharusnya sudah ia kubur dalam.

Ia tidak menanam bunga di kebunnya. Katanya, “Aku tidak tahan jika keindahan harus dikabarkan dengan cara mekar, lalu mati."

Di malam hari, Merona mendengarkan siaran-siaran: youtube, siniar, apapun. Kadang siaran agama. Kadang berita dari seluruh dunia. Mungkin membantunya jika sedang merindukan suara bising stasiun yang tidak sempat dijinakkan. Ia merebus daun mint dan menyisir rambut panjangnya, yang sudah sedikit beruban di belakang.

Suatu malam, di kanal siniar yang tak ia kenal asalnya, terdengar suara lelaki membaca puisi.

“Jika cinta adalah musim, aku ingin menjadi pohon
yang tidak pernah pindah tanah
meski kehilangan dedaunan.”

Ia mencatat bait itu. Lalu membakarnya.

Sementara di Kuba, Petang menempelkan peta Indonesia di belakang pintu. Bukan karena rindu, tapi karena ia sedang menamai titik-titik yang pernah ia tinggali, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang pernah ada di sana.

Di satu titik, ia mencoret nama “Jakarta” dan menggantinya dengan:

“Tempat saya ditinggalkan oleh orang yang tetap saya jaga di dalam tubuh.”

Ia kini gemar memasak untuk orang asing. Ia tak lagi menjelaskan bahan-bahannya, hanya menyajikan, menatap, dan melihat apakah orang itu mengerti rasa yang tidak umum. Seperti cinta: kadang asin, kadang rempahnya terlalu pekat, kadang terlalu jujur. Orang-orang Kuba mengenalnya sebagai lelaki yang pendiam tapi bersih. Mereka tidak tahu, tubuh itu pernah menjadi tempat pesta luka. Tidak semua luka sembuh, tapi semua luka bisa dibereskan. Begitu katanya dalam catatan yang tidak dikirim.

Satu kali, Merona dikirimi benih dari luar negeri. Tidak ada pengirim. Tidak ada cap pos. Hanya satu kantong kecil berlabel tangan:

“Benih yang hanya akan tumbuh jika ditanam oleh seseorang yang pernah patah, tapi tidak jadi mati.”

Ia tertawa. Ringan. Lalu menanamnya di belakang dapur, di antara serai dan daun bawang. Setiap sore, ia menyiraminya sambil menyenandungkan lagu yang ia ciptakan sendiri, tanpa irama, tanpa kata. Hanya gumaman. Tumbuhlah benih itu. Tidak seperti sayur, tidak seperti bunga. Ia tumbuh seperti sesuatu yang tidak ingin disebut.

Petang punya satu kebiasaan kecil yang tak ia buang: menyimpan benda-benda yang tidak punya fungsi. Kancing baju dari kemeja terakhir yang ia kenakan di Jakarta. Klip kertas dari surat terakhir Merona. Sepotong amplop ungu yang robek di ujung.

Ia belum mengirim surat. Tapi sudah menulis banyak.

Salah satunya:

“Merona, Jika hidup adalah jalan pulang, aku tidak ingin rumah. Aku hanya ingin kau tetap sehat, dan tidak membenci hujan. Kita tak harus kembali. Tapi jika suatu saat ada musim tak dikenal, dan kita berpapasan sebagai orang asing, izinkan aku bertanya, ‘Apakah kau masih menyukai rempah dalam supmu?’”

Suatu sore, hujan turun lambat di Tumenggung. Merona menyalakan api di tungku, menyeduh teh adas, lalu duduk di lantai. Ia tidak menunggu apa-apa, tapi tidak pula menutup pintu. Angin membawa bau tanah yang berat, dan suara seperti langkah kaki di luar. Bukan Petang. Tapi ia sempat berharap. Lalu menertawai harapannya sendiri. Tidak semua yang kita doakan harus datang dalam bentuk manusia.

Merona berkata pada anjing coklatnya: "Aku mencintainya, mungkin, tapi bukan untuk kembali.”

Dan Petang, yang sedang menakar bubuk kayu manis untuk pelanggan terakhirnya hari itu, menengadah ke langit Kuba yang masih merah muda, di dadanya ada keheningan jenis keempat: Keheningan yang muncul saat seseorang yang kau cintai tetap hidup, tapi di luar jangkauan suara.

Ia mencium aroma tanah dari secangkir teh yang tak sengaja ia jatuhkan ke lantai. Dan dalam sesaat, ia tahu: mereka sudah sampai pada takdirnya masing-masing.

Tidak sempurna. Tidak bersatu.

Tapi tidak sia-sia.



No comments:

Post a Comment