Tuesday, July 15, 2025

Kopi, Goni dan Senar di Halaman Belakang

Senar dan Goni duduk bersisian di taman belakang, di atas bangku besi yang dicat putih dan mulai terkelupas warnanya. Di hadapan mereka tertanam rumpun-rumpun serai dan kenikir yang tumbuh tidak teratur, seperti sedang memberontak dari desain taman yang terlalu rapi. Di ujung-ujungnya, sebatang pohon asam menua dengan anggun, dedaunannya berguguran satu demi satu, seolah tahu bahwa dunia tak lagi punya cukup tempat untuk menampung segalanya. Burung Bayan, satu-satunya makhluk yang selalu lebih cerewet dari televisi, bertengger di palang jemuran. Ia sesekali berteriak, bukan karena ada tamu atau maling, tapi karena hidup terlalu penuh informasi. Suaranya menirukan apa yang terakhir ia dengar:

"Setop uranium! 1,5 derajat! Laptop error! RDF! RDF!"


Di atas meja kayu, dua cangkir kopi robusta setengah basi mengepul lemah. Senar mencelupkan jari ke dalam cangkirnya; entah untuk mengetes panas atau menakar kesabaran. "Kadang kupikir, kita ini hidup di antara dua halaman. Satu halaman berita, satu halaman doa. Tapi tak ada yang bisa kita tulis sendiri," katanya. Goni mengangguk. Ia menyentuh tanah yang lembap berlumut, "Kau tahu, Iran sedang diancam lagi. Diminta berhenti memperkaya uranium. Disuruh manut pada yang merasa punya hak moral; dan pasukan."

Senar tersenyum kecil. "Kita semua pernah jadi Iran, dalam skala rumah tangga. Ditekan untuk berhenti memperkaya diri, karena dianggap berbahaya jika terlalu mandiri."


Burung Bayan mencicit, lalu bersuara seperti iklan layanan masyarakat:
"Digitalisasi pendidikan, generasi emas, satu siswa satu laptop."
Ia meniru suara Pak Menteri dengan begitu sempurna, hingga kopi di tangan Goni nyaris tumpah. "Dan ternyata ada anggaran yang menguap juga di sana, ya?" Goni bersuara lirih. "Laptop-laptop lebih banyak jadi tumpukan daripada digunakan. Anak-anak masih belajar di ruang kelas dengan plafon bolong dan kabel colokan yang diganjal sendok." Senar tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke langit yang kelabu. "Tapi di gurun Atacama, kabut bisa dipanen. Lima liter per meter persegi. Sehari. Air minum dari udara."

Ia terdiam, seakan sedang mengukur berapa banyak harapan bisa diperas dari udara Jakarta.

“Bayangkan. Negara di tengah kekeringan bisa mencipta kelembapan. Sementara kita; yang banjir pun tiap dua bulan, tak bisa mengelola basah tanpa tenggelam.” Angin menyusup ke sela-sela kemeja mereka. Aroma tanah lembap dan sisa bakaran plastik dari rumah tetangga menyatu, membentuk semacam kenyataan yang enggan dihindari. Goni berkata pelan, “Bantargebang katanya sekarang punya RDF. Sampah jadi bahan bakar. Katanya solusi. Tapi siapa yang tinggal di dekatnya? Siapa yang hirup udara itu?"


“Dan siapa yang ucapkan pidato sambil pakai masker N95, tapi menyuruh warga pakai saputangan bekas?” Senar menimpali.

Suasana jadi hening. Bahkan Burung Bayan pun membisu. Lanjut Goni, "Tadi pagi aku membaca, suhu bumi telah melampaui 1,5 derajat dari masa pra-industri. Kita resmi memasuki fase baru." “Mungkin bukan bumi yang berubah. Tapi kita yang lupa bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri,” jawab Senar. Ia menenggak kopinya, kini sudah dingin, seperti hasil riset yang tak lagi hangat bahkan saat dibakar berkasnya.


Bayan mengepakkan sayap. Di bawahnya, daun kenikir bergoyang. Seseorang menyalakan televisi di dalam rumah. Suara-suara ramai lagi: proyek, anggaran, investigasi, resolusi, investasi hijau, peluncuran AI, dan pertemuan tingkat tinggi. Namun di taman belakang, dua lelaki dan seekor burung tahu betul bahwa dunia tak akan diselamatkan oleh presentasi. Berdoa bahwa semua ini akan pulih, mungkin.

No comments:

Post a Comment