Tuesday, July 22, 2025

Bersemi, Aster.

Kau tahu, Aster, langit pernah membuka dadanya di suatu malam yang ganjil—bintang-bintangnya jatuh bukan karena gravitasimu, melainkan karena cinta yang tak tahu harus tinggal di mana. Dan sejak saat itu, setiap kali aku menyebut namamu dalam hati, sesuatu dari dalam tubuhku pecah perlahan. Tapi anehnya, dari retakan itu, tumbuh bunga. Mungkin itu kau.

Kau, yang kusebut-sebut dalam doa tanpa bentuk. Kau, yang wajahnya tidak pernah sama dalam setiap mimpiku, kadang berambut hujan, kadang bermata laut, kadang berpunggung bukit senja yang jauh.

Aku melihatmu, Aster. Dalam tubuhmu yang menggigil oleh angin kehilangan, dalam senyummu yang seperti matahari yang dipaksa bersinar di ladang salju. Aku melihatmu, dan sesuatu dari dalam tubuhku bersemi. Tapi bukan semai yang jinak, bukan kelopak yang tahu waktu. Yang tumbuh dariku adalah mawar-mawar liar yang menusuk daging, seolah kehadiranmu terlalu agung untuk diterima dengan tenang.

Apakah kau pernah melihat bunga yang mekar di tanah kuburan? Apakah kau tahu rasanya mencintai seseorang yang hadir seperti musim?

Kau mekar, Aster. Tapi tidak di taman, bukan di tempat yang bisa kulindungi dengan pagar atau semprotan air pagi. Kau mekar di semestaku yang paling sunyi, di ruang di mana tak ada orang lain yang kupersilakan masuk. Dan di sanalah, dengan tangan gemetar, aku menyaksikanmu tumbuh. Perlahan. Penuh getir. Indah.

Seseorang berkata padaku berulang, cinta sejati itu seperti hujan jatuh ke bumi. Tak pernah memilih padang mana yang akan hijau. Tapi aku tahu, kau tak hanya menjadikan tanahku hijau. Kau menjadikannya hidup. Kau menjadikannya surga dan neraka dalam waktu bersamaan.

Setiap kali aku menatapmu, rasanya seperti menatap api yang berbahasa bunga. Ada bara di balik kelopakmu. Ada musim gugur dalam matamu yang menyamar sebagai musim semi. Dan meskipun aku tahu waktu kita akan usai—sebagaimana semua yang mekar akhirnya layu. Aku tetap berdiri di sini, merelakan diriku jadi tanah bagi akar-akar cintamu yang dalam dan rakus.

Kau, Aster, bukan sekadar bunga. Kau adalah seluruh musim yang berjalan dalam satu tubuh perempuan. Dan mencintaimu bukan hanya soal memiliki, tapi mengizinkan diriku dihancurkan oleh keindahanmu; pelan-pelan, tanpa perlawanan.

Kadang aku membayangkan kita di dunia yang tak mengenal waktu. Di dunia itu, aku tidak harus kehilanganmu. Tidak harus membencimu dalam kesunyian. Tidak harus menulis surat-surat panjang yang tak pernah kukirim karena tak ada alamat untuk cinta yang tak ditakdirkan.

Aku ingin kau tahu, melihatmu bersemi dan bermekaran dalam hidupku adalah anugerah yang juga kutuk. Aku menangis bukan karena kau menyakitiku, tapi karena kau terlalu indah untuk dijelaskan dengan bahasa manusia. Kau lebih seperti nyanyian, atau lukisan, atau mungkin gema dari bintang yang meledak jauh sebelum aku lahir. Aku mencintaimu dalam cara yang tak sehat, dalam cara yang membuatku ingin tidur di dasar laut hanya untuk bermimpi tentangmu. Dalam cara yang membuatku menulis namamu di bayangan, bukan di dinding. Aku mencintaimu seperti waktu mencintai kenangan. 

Dan kau tahu, Aster? Cinta sejati bukan tentang bersama. Cinta sejati adalah tentang melihat seseorang mekar, meski bukan di tamanmu. Cinta sejati adalah tentang tersenyum sambil terluka, karena orang yang kau cintai akhirnya bahagia—meski bukan karena kau.

Hari ini, saat kau melangkah dengan gaun putihmu dan senyum yang tak lagi mengenalku, aku tetap berdiri. Di kejauhan. Dalam diam. Dalam hujan. Dalam tubuh yang penuh luka-luka bunga.

Aku tersenyum. Airmataku pahit.

Karena melihatmu bersemi dan bermekaran, Aster, adalah bukti bahwa semesta tidaklah buta. Kelak, jika dunia bertanya mengapa tanah ini tetap harum, mungkin mereka tak akan tahu. Tapi angin tahu. Hujan tahu. Dan akar yang diam-diam masih menggeliat di bawah ini pun tahu: ada yang pernah tumbuh sesuatu di sini, begitu indah hingga tak sempat disebutkan oleh bahasa manapun.

Dan itu cukup.

No comments:

Post a Comment