Jam dinding tak pernah terdengar di rumah itu. Barangkali sudah rusak sejak ibunya pergi. Atau memang tiada sejak awal, seperti hal-hal lain yang absen tapi terlalu lama dianggap nyata: rasa hangat di tangan, ciuman di kening, pertanyaan remeh seperti "sudah makan?" atau "kau mimpi apa tadi malam?"
Mereka bertiga tinggal di rumah bertembok kelabu pucat yang dibangun terlalu dekat dengan rel kereta api. Setiap pukul empat pagi, suara gerbong melintas seperti gergaji yang menyeret dunia. Raga bangkit, tapi mata tetap beku. Berli menyapu lantai tanpa sepatah kata. Damar memeriksa meteran air, memastikan tak ada pemborosan. Adik bungsu mereka, Galang, diam-diam sudah merokok sejak umur dua belas.
Ibunya tak pernah benar-benar disebut. Ia menghilang ketika Galang masih menyusu. Sebuah foto buram dalam album tua; perempuan bergaun krem di antara batang jagung. Kadang diselipkan ke dalam buku catatan Damar, lalu ditinggalkan lagi di lemari. Tak ada yang membakar atau menyembunyikannya. Foto itu hanya mengendap, bersama debu.
Mereka hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak ramah. Piring hanya dicuci jika sudah menumpuk. Seprai diganti setahun sekali, biasanya saat tiang ranjang mulai berdecit tak senonoh. Berlin, yang sulung, bekerja sebagai pengarsip dokumen di kantor notaris. Rapi, dingin, seperti bangunan beton. Ia mencukur rambutnya pendek dan mengenakan jas pria, bukan karena ia marah pada dunia, tapi karena kain lembut membuatnya merasa lemah. Damar bekerja serabutan: kadang di bengkel, kadang menjaga warnet tengah malam. Uangnya ditumpuk dalam kaleng susu kental manis yang dikubur di bawah pohon mangga mati. Galang, murid kelas dua SMA yang tak pernah bertanya pulang jam berapa. Mereka bukan keluarga, hanya orang-orang yang kebetulan tinggal bersama dan tahu cara memadamkan api kompor dengan benar.
Tapi sesuatu mulai berubah ketika teko itu muncul.
Ia membelinya di pasar loak. Sebuah teko porselen tua berwarna pualam dengan lukisan tangan berwarna biru kelam. Berlin menyukainya bukan karena bentuknya, melainkan karena teko itu retak di satu sisi, seperti bekas sayatan yang gagal sembuh. Ia meletakkannya di meja makan, tepat di tengah, menggantikan toples roti yang selalu kosong. Dan setiap pagi, teko itu seperti menyembunyikan sesuatu. Uapnya harum, bukan dari teh atau kopi, tapi seperti baju yang baru dijemur matahari. Bau tubuh yang tidak pernah mereka ingat, tapi langsung disadari: ibu.
Tak ada yang mengatakan itu. Tapi mereka mulai datang ke meja lebih awal. Damar membawa koran usang dari warung dan duduk diam di sana. Berlin membuat dua cangkir, satu untuk dirinya, satu diletakkan di seberang. Galang berhenti mencuri rokok dan mulai menulis sesuatu di buku bekas. Seperti sedang menghafal bahasa yang pernah mereka tahu.
Lalu, pagi itu, sesuatu tumbuh dari teko.
Awalnya hanya seperti benang akar, menjulur pelan dan menggantung di udara. Mereka enggan menyingkirkan atau menyentuhnya. Akar itu tumbuh menjadi batang, lalu ranting, lalu sebuah tangan kecil yang memegang saputangan renda. Setelah seminggu, muncul bahu, dada, dan pelan-pelan, wajah yang tak asing tapi juga tidak jelas. Ia duduk di kursi kosong, tak berbicara, tak berkedip, hanya menatap mereka satu-satu. Tubuhnya seperti terbuat dari uap, porselein, dan kenangan yang terlupakan. Mereka tidak lari. Tidak berteriak. Sebab rasa kehilangan terlalu lama mengakar, dan ketika ia tumbuh kembali, mereka tahu, diam adalah cara paling ringan untuk menghadapinya.
Mereka tak bertanya ke mana saja ia pergi. Tak satu pun dari mereka menyentuhnya. Tapi pagi-pagi mereka jadi lebih lambat. Berlin mulai menyisihkan gaji untuk membeli taplak. Damar mengganti bohlam di dapur yang sudah mati tiga tahun. Galang menghapus semua musik dari ponselnya dan merekam suara denting sendok di cangkir.
Suatu sore, ia tidak ada di kursi. Teko juga menghilang. Tapi aroma baju yang dijemur matahari masih tertinggal di dalam rumah, dan mereka tetap duduk di meja, seolah masih ada satu orang yang akan datang terlambat dan berkata: “Maaf, anak-anak. Ibu pulang agak lama.” Tapi mereka tidak menunggu kata-kata itu. Mereka hanya menyeduh air dan membaginya ke dalam tiga cangkir, seperti biasa. Tidak lengkap.
Bapak tinggal di rumah lain, hanya tujuh halte dari mereka, namun seperti tujuh musim yang tak pernah bersisian. Ia tak pernah membawa oleh-oleh atau alasan. Hanya sesekali transfer tanpa nama, nominal bulat, seperti sedekah sunyi yang dilemparkan. Ia tidak diusir, tidak juga menghilang sepenuhnya; hanya terdepak perlahan dari ruang makan, dari pembicaraan, dari foto keluarga yang dicetak tanpa dirinya.
Ia tak pernah bercerita tentang ibu. Bahkan kepada dirinya sendiri.
Di rumah kontrakannya yang sempit, berisi kulkas kosong, sarung terlipat rapi, dan piring tinggal satu, ia mengisi hari-hari dengan diam. Tidak membaca koran. Tidak menonton televisi. Kadang duduk di teras melihat cucian tetangga. Ada satu teko di dapurnya juga—bukan teko warisan, bukan benda simbolik; hanya teko plastik biasa yang tutupnya sudah lepas. Tapi tiap malam, tanpa ia sadari, ia akan membasuh teko itu perlahan, seolah takut membuatnya retak.
Ada hari-hari ketika ia berdiri terlalu lama di depan cermin, menatap matanya sendiri, mencoba menemukan sisa-sisa wajah perempuan yang dulu mencuci rambutnya dengan air jeruk purut. Tapi matanya sendiri terlalu kering. Ia menyalahkan waktu. Atau dirinya sendiri. Tidak ada yang berubah.
Ia pernah ke rumah mereka satu kali. Tengah malam. Tidak masuk. Hanya berdiri di luar pagar, melihat lampu temaram dari dapur. Dilihatnya bayangan anak-anaknya di meja makan, tiga kepala membungkuk tanpa suara, dan sebuah teko tua di tengah meja, mengeluarkan uap tipis seperti napas yang tertahan terlalu lama.
Ia tahu mereka tidak menunggu dirinya. Mereka menunggu sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa tumbuh, mengisi rongga di dada, dan tidak memudar ketika fajar datang. Ia bukan itu.
Maka ia melangkah mundur, menolak mengetuk. Ia kembali ke rumah kontrakannya, membuka kulkas kosong, dan menyeduh air hangat dari teko plastiknya. Disruputnya pelan, dan untuk pertama kalinya, ia rasa air itu agak asin. Seperti air laut. Atau air mata. Tapi ia tidak tahu lagi cara membedakannya.
No comments:
Post a Comment