Tuesday, July 22, 2025

Bersemi, Aster.

Kau tahu, Aster, langit pernah membuka dadanya di suatu malam yang ganjil—bintang-bintangnya jatuh bukan karena gravitasimu, melainkan karena cinta yang tak tahu harus tinggal di mana. Dan sejak saat itu, setiap kali aku menyebut namamu dalam hati, sesuatu dari dalam tubuhku pecah perlahan. Tapi anehnya, dari retakan itu, tumbuh bunga. Mungkin itu kau.

Kau, yang kusebut-sebut dalam doa tanpa bentuk. Kau, yang wajahnya tidak pernah sama dalam setiap mimpiku, kadang berambut hujan, kadang bermata laut, kadang berpunggung bukit senja yang jauh.

Aku melihatmu, Aster. Dalam tubuhmu yang menggigil oleh angin kehilangan, dalam senyummu yang seperti matahari yang dipaksa bersinar di ladang salju. Aku melihatmu, dan sesuatu dari dalam tubuhku bersemi. Tapi bukan semai yang jinak, bukan kelopak yang tahu waktu. Yang tumbuh dariku adalah mawar-mawar liar yang menusuk daging, seolah kehadiranmu terlalu agung untuk diterima dengan tenang.

Apakah kau pernah melihat bunga yang mekar di tanah kuburan? Apakah kau tahu rasanya mencintai seseorang yang hadir seperti musim?

Kau mekar, Aster. Tapi tidak di taman, bukan di tempat yang bisa kulindungi dengan pagar atau semprotan air pagi. Kau mekar di semestaku yang paling sunyi, di ruang di mana tak ada orang lain yang kupersilakan masuk. Dan di sanalah, dengan tangan gemetar, aku menyaksikanmu tumbuh. Perlahan. Penuh getir. Indah.

Seseorang berkata padaku berulang, cinta sejati itu seperti hujan jatuh ke bumi. Tak pernah memilih padang mana yang akan hijau. Tapi aku tahu, kau tak hanya menjadikan tanahku hijau. Kau menjadikannya hidup. Kau menjadikannya surga dan neraka dalam waktu bersamaan.

Setiap kali aku menatapmu, rasanya seperti menatap api yang berbahasa bunga. Ada bara di balik kelopakmu. Ada musim gugur dalam matamu yang menyamar sebagai musim semi. Dan meskipun aku tahu waktu kita akan usai—sebagaimana semua yang mekar akhirnya layu. Aku tetap berdiri di sini, merelakan diriku jadi tanah bagi akar-akar cintamu yang dalam dan rakus.

Kau, Aster, bukan sekadar bunga. Kau adalah seluruh musim yang berjalan dalam satu tubuh perempuan. Dan mencintaimu bukan hanya soal memiliki, tapi mengizinkan diriku dihancurkan oleh keindahanmu; pelan-pelan, tanpa perlawanan.

Kadang aku membayangkan kita di dunia yang tak mengenal waktu. Di dunia itu, aku tidak harus kehilanganmu. Tidak harus membencimu dalam kesunyian. Tidak harus menulis surat-surat panjang yang tak pernah kukirim karena tak ada alamat untuk cinta yang tak ditakdirkan.

Aku ingin kau tahu, melihatmu bersemi dan bermekaran dalam hidupku adalah anugerah yang juga kutuk. Aku menangis bukan karena kau menyakitiku, tapi karena kau terlalu indah untuk dijelaskan dengan bahasa manusia. Kau lebih seperti nyanyian, atau lukisan, atau mungkin gema dari bintang yang meledak jauh sebelum aku lahir. Aku mencintaimu dalam cara yang tak sehat, dalam cara yang membuatku ingin tidur di dasar laut hanya untuk bermimpi tentangmu. Dalam cara yang membuatku menulis namamu di bayangan, bukan di dinding. Aku mencintaimu seperti waktu mencintai kenangan. 

Dan kau tahu, Aster? Cinta sejati bukan tentang bersama. Cinta sejati adalah tentang melihat seseorang mekar, meski bukan di tamanmu. Cinta sejati adalah tentang tersenyum sambil terluka, karena orang yang kau cintai akhirnya bahagia—meski bukan karena kau.

Hari ini, saat kau melangkah dengan gaun putihmu dan senyum yang tak lagi mengenalku, aku tetap berdiri. Di kejauhan. Dalam diam. Dalam hujan. Dalam tubuh yang penuh luka-luka bunga.

Aku tersenyum. Airmataku pahit.

Karena melihatmu bersemi dan bermekaran, Aster, adalah bukti bahwa semesta tidaklah buta. Kelak, jika dunia bertanya mengapa tanah ini tetap harum, mungkin mereka tak akan tahu. Tapi angin tahu. Hujan tahu. Dan akar yang diam-diam masih menggeliat di bawah ini pun tahu: ada yang pernah tumbuh sesuatu di sini, begitu indah hingga tak sempat disebutkan oleh bahasa manapun.

Dan itu cukup.

Sunday, July 20, 2025

Ibuku Lahir dari Teko

 Jam dinding tak pernah terdengar di rumah itu. Barangkali sudah rusak sejak ibunya pergi. Atau memang tiada sejak awal, seperti hal-hal lain yang absen tapi terlalu lama dianggap nyata: rasa hangat di tangan, ciuman di kening, pertanyaan remeh seperti "sudah makan?" atau "kau mimpi apa tadi malam?"

Mereka bertiga tinggal di rumah bertembok kelabu pucat yang dibangun terlalu dekat dengan rel kereta api. Setiap pukul empat pagi, suara gerbong melintas seperti gergaji yang menyeret dunia. Raga bangkit, tapi mata tetap beku. Berli menyapu lantai tanpa sepatah kata. Damar memeriksa meteran air, memastikan tak ada pemborosan. Adik bungsu mereka, Galang, diam-diam sudah merokok sejak umur dua belas.

Ibunya tak pernah benar-benar disebut. Ia menghilang ketika Galang masih menyusu. Sebuah foto buram dalam album tua; perempuan bergaun krem di antara batang jagung. Kadang diselipkan ke dalam buku catatan Damar, lalu ditinggalkan lagi di lemari. Tak ada yang membakar atau menyembunyikannya. Foto itu hanya mengendap, bersama debu.

Mereka hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak ramah. Piring hanya dicuci jika sudah menumpuk. Seprai diganti setahun sekali, biasanya saat tiang ranjang mulai berdecit tak senonoh. Berlin, yang sulung, bekerja sebagai pengarsip dokumen di kantor notaris. Rapi, dingin, seperti bangunan beton. Ia mencukur rambutnya pendek dan mengenakan jas pria, bukan karena ia marah pada dunia, tapi karena kain lembut membuatnya merasa lemah. Damar bekerja serabutan: kadang di bengkel, kadang menjaga warnet tengah malam. Uangnya ditumpuk dalam kaleng susu kental manis yang dikubur di bawah pohon mangga mati. Galang, murid kelas dua SMA yang tak pernah bertanya pulang jam berapa. Mereka bukan keluarga, hanya orang-orang yang kebetulan tinggal bersama dan tahu cara memadamkan api kompor dengan benar.

Tapi sesuatu mulai berubah ketika teko itu muncul.

Ia membelinya di pasar loak. Sebuah teko porselen tua berwarna pualam dengan lukisan tangan berwarna biru kelam. Berlin menyukainya bukan karena bentuknya, melainkan karena teko itu retak di satu sisi, seperti bekas sayatan yang gagal sembuh. Ia meletakkannya di meja makan, tepat di tengah, menggantikan toples roti yang selalu kosong. Dan setiap pagi, teko itu seperti menyembunyikan sesuatu. Uapnya harum, bukan dari teh atau kopi, tapi seperti baju yang baru dijemur matahari. Bau tubuh yang tidak pernah mereka ingat, tapi langsung disadari: ibu.

Tak ada yang mengatakan itu. Tapi mereka mulai datang ke meja lebih awal. Damar membawa koran usang dari warung dan duduk diam di sana. Berlin membuat dua cangkir, satu untuk dirinya, satu diletakkan di seberang. Galang berhenti mencuri rokok dan mulai menulis sesuatu di buku bekas. Seperti sedang menghafal bahasa yang pernah mereka tahu.

Lalu, pagi itu, sesuatu tumbuh dari teko.

Awalnya hanya seperti benang akar, menjulur pelan dan menggantung di udara. Mereka enggan menyingkirkan atau menyentuhnya. Akar itu tumbuh menjadi batang, lalu ranting, lalu sebuah tangan kecil yang memegang saputangan renda. Setelah seminggu, muncul bahu, dada, dan pelan-pelan, wajah yang tak asing tapi juga tidak jelas. Ia duduk di kursi kosong, tak berbicara, tak berkedip, hanya menatap mereka satu-satu. Tubuhnya seperti terbuat dari uap, porselein, dan kenangan yang terlupakan. Mereka tidak lari. Tidak berteriak. Sebab rasa kehilangan terlalu lama mengakar, dan ketika ia tumbuh kembali, mereka tahu, diam adalah cara paling ringan untuk menghadapinya.

Mereka tak bertanya ke mana saja ia pergi. Tak satu pun dari mereka menyentuhnya. Tapi pagi-pagi mereka jadi lebih lambat. Berlin mulai menyisihkan gaji untuk membeli taplak. Damar mengganti bohlam di dapur yang sudah mati tiga tahun. Galang menghapus semua musik dari ponselnya dan merekam suara denting sendok di cangkir.

Suatu sore, ia tidak ada di kursi. Teko juga menghilang. Tapi aroma baju yang dijemur matahari masih tertinggal di dalam rumah, dan mereka tetap duduk di meja, seolah masih ada satu orang yang akan datang terlambat dan berkata: “Maaf, anak-anak. Ibu pulang agak lama.” Tapi mereka tidak menunggu kata-kata itu. Mereka hanya menyeduh air dan membaginya ke dalam tiga cangkir, seperti biasa. Tidak lengkap.

Bapak tinggal di rumah lain, hanya tujuh halte dari mereka, namun seperti tujuh musim yang tak pernah bersisian. Ia tak pernah membawa oleh-oleh atau alasan. Hanya sesekali transfer tanpa nama, nominal bulat, seperti sedekah sunyi yang dilemparkan. Ia tidak diusir, tidak juga menghilang sepenuhnya; hanya terdepak perlahan dari ruang makan, dari pembicaraan, dari foto keluarga yang dicetak tanpa dirinya.

Ia tak pernah bercerita tentang ibu. Bahkan kepada dirinya sendiri.

Di rumah kontrakannya yang sempit, berisi kulkas kosong, sarung terlipat rapi, dan piring tinggal satu, ia mengisi hari-hari dengan diam. Tidak membaca koran. Tidak menonton televisi. Kadang duduk di teras melihat cucian tetangga. Ada satu teko di dapurnya juga—bukan teko warisan, bukan benda simbolik; hanya teko plastik biasa yang tutupnya sudah lepas. Tapi tiap malam, tanpa ia sadari, ia akan membasuh teko itu perlahan, seolah takut membuatnya retak.

Ada hari-hari ketika ia berdiri terlalu lama di depan cermin, menatap matanya sendiri, mencoba menemukan sisa-sisa wajah perempuan yang dulu mencuci rambutnya dengan air jeruk purut. Tapi matanya sendiri terlalu kering. Ia menyalahkan waktu. Atau dirinya sendiri. Tidak ada yang berubah.

Ia pernah ke rumah mereka satu kali. Tengah malam. Tidak masuk. Hanya berdiri di luar pagar, melihat lampu temaram dari dapur. Dilihatnya bayangan anak-anaknya di meja makan, tiga kepala membungkuk tanpa suara, dan sebuah teko tua di tengah meja, mengeluarkan uap tipis seperti napas yang tertahan terlalu lama.

Ia tahu mereka tidak menunggu dirinya. Mereka menunggu sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa tumbuh, mengisi rongga di dada, dan tidak memudar ketika fajar datang. Ia bukan itu.

Maka ia melangkah mundur, menolak mengetuk. Ia kembali ke rumah kontrakannya, membuka kulkas kosong, dan menyeduh air hangat dari teko plastiknya. Disruputnya pelan, dan untuk pertama kalinya, ia rasa air itu agak asin. Seperti air laut. Atau air mata. Tapi ia tidak tahu lagi cara membedakannya.

Merona dan Petang: Tahun-tahun yang Tidak Ditetapkan

Petang bangun lebih awal dari biasanya. Jam biologisnya sudah tidak kenal kota asal. Di Kuba, jam lima pagi seperti napas pertama sesudah menahan sesak terlalu lama. Ia menyeduh air garam hangat, menimbang dirinya, mencatat cuaca, menyapu lantai toko yang berderit pelan, seolah lantai pun ikut menyusutkan suara. La Biblioteca del Sabor berdiri tegak seperti dada yang baru selesai menelan luka. Rempah-rempah digantung seperti azimat. Daun salam, kunyit akar, kulit manis, cengkeh, dan biji adas terbungkus rapi seperti kesabaran yang sudah tidak ingin tampil anggun.Petang sudah tidak lagi merokok. Ia berhenti bersiul. Ia menyimpan puisi-puisi pendek di balik etalase: potongan kalimat yang dulu Merona tinggalkan di antara lembaran novel Gabriel García Márquez.

“Tubuh adalah rumah dari segala yang kita abaikan.”

Kini ia menjaga tubuhnya. Punggung yang dulu bengkok karena duduk terlalu lama di depan layar kini belajar melurus. Tangannya tidak secepat dulu menanggapi notifikasi, namun lebih cekatan menimbang ketumbar dan menakar gula kelapa. Ia belum mengganti ponsel. Tak perlu. Tidak ada nama yang dinanti, tak ada suara yang ingin direkam. Ia sudah cukup akrab dengan keabsenan semua.

Merona tinggal di Tumenggung, di antara suara keloneng sapi dan jarak tempuh yang sulit diukur. Rumahnya memeluk lereng, dibangun dari kayu tua yang diselamatkan dari gudang pasar. Tidak ada pagar. Ia percaya, sesuatu yang ditanam dengan cinta tidak perlu dikunci dari dunia. Setiap pagi, Merona mengumpulkan telur ayam, memanen cabai rawit dan menulis jurnal. Ia tidak menandai hari, hanya mencatat aroma tanah, intensitas angin, dan mimpi-mimpi yang kadang datang tanpa suara. Kadang mengecek portofolio, mengecek warna hijau biru merah di layar laptopnya.

Merona punya kebiasaan baru: mencatat keheningan. Ia menamai jenis-jenisnya.

Hening pertama: ketika burung belum bangun, tapi gelap sudah tidak utuh, langit mewarnai dirinya.
Hening kedua: saat menanak nasi, dan air mulai berbuih tanpa suara.
Hening ketiga: ketika seseorang hampir menyebut nama yang seharusnya sudah ia kubur dalam.

Ia tidak menanam bunga di kebunnya. Katanya, “Aku tidak tahan jika keindahan harus dikabarkan dengan cara mekar, lalu mati."

Di malam hari, Merona mendengarkan siaran-siaran: youtube, siniar, apapun. Kadang siaran agama. Kadang berita dari seluruh dunia. Mungkin membantunya jika sedang merindukan suara bising stasiun yang tidak sempat dijinakkan. Ia merebus daun mint dan menyisir rambut panjangnya, yang sudah sedikit beruban di belakang.

Suatu malam, di kanal siniar yang tak ia kenal asalnya, terdengar suara lelaki membaca puisi.

“Jika cinta adalah musim, aku ingin menjadi pohon
yang tidak pernah pindah tanah
meski kehilangan dedaunan.”

Ia mencatat bait itu. Lalu membakarnya.

Sementara di Kuba, Petang menempelkan peta Indonesia di belakang pintu. Bukan karena rindu, tapi karena ia sedang menamai titik-titik yang pernah ia tinggali, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang pernah ada di sana.

Di satu titik, ia mencoret nama “Jakarta” dan menggantinya dengan:

“Tempat saya ditinggalkan oleh orang yang tetap saya jaga di dalam tubuh.”

Ia kini gemar memasak untuk orang asing. Ia tak lagi menjelaskan bahan-bahannya, hanya menyajikan, menatap, dan melihat apakah orang itu mengerti rasa yang tidak umum. Seperti cinta: kadang asin, kadang rempahnya terlalu pekat, kadang terlalu jujur. Orang-orang Kuba mengenalnya sebagai lelaki yang pendiam tapi bersih. Mereka tidak tahu, tubuh itu pernah menjadi tempat pesta luka. Tidak semua luka sembuh, tapi semua luka bisa dibereskan. Begitu katanya dalam catatan yang tidak dikirim.

Satu kali, Merona dikirimi benih dari luar negeri. Tidak ada pengirim. Tidak ada cap pos. Hanya satu kantong kecil berlabel tangan:

“Benih yang hanya akan tumbuh jika ditanam oleh seseorang yang pernah patah, tapi tidak jadi mati.”

Ia tertawa. Ringan. Lalu menanamnya di belakang dapur, di antara serai dan daun bawang. Setiap sore, ia menyiraminya sambil menyenandungkan lagu yang ia ciptakan sendiri, tanpa irama, tanpa kata. Hanya gumaman. Tumbuhlah benih itu. Tidak seperti sayur, tidak seperti bunga. Ia tumbuh seperti sesuatu yang tidak ingin disebut.

Petang punya satu kebiasaan kecil yang tak ia buang: menyimpan benda-benda yang tidak punya fungsi. Kancing baju dari kemeja terakhir yang ia kenakan di Jakarta. Klip kertas dari surat terakhir Merona. Sepotong amplop ungu yang robek di ujung.

Ia belum mengirim surat. Tapi sudah menulis banyak.

Salah satunya:

“Merona, Jika hidup adalah jalan pulang, aku tidak ingin rumah. Aku hanya ingin kau tetap sehat, dan tidak membenci hujan. Kita tak harus kembali. Tapi jika suatu saat ada musim tak dikenal, dan kita berpapasan sebagai orang asing, izinkan aku bertanya, ‘Apakah kau masih menyukai rempah dalam supmu?’”

Suatu sore, hujan turun lambat di Tumenggung. Merona menyalakan api di tungku, menyeduh teh adas, lalu duduk di lantai. Ia tidak menunggu apa-apa, tapi tidak pula menutup pintu. Angin membawa bau tanah yang berat, dan suara seperti langkah kaki di luar. Bukan Petang. Tapi ia sempat berharap. Lalu menertawai harapannya sendiri. Tidak semua yang kita doakan harus datang dalam bentuk manusia.

Merona berkata pada anjing coklatnya: "Aku mencintainya, mungkin, tapi bukan untuk kembali.”

Dan Petang, yang sedang menakar bubuk kayu manis untuk pelanggan terakhirnya hari itu, menengadah ke langit Kuba yang masih merah muda, di dadanya ada keheningan jenis keempat: Keheningan yang muncul saat seseorang yang kau cintai tetap hidup, tapi di luar jangkauan suara.

Ia mencium aroma tanah dari secangkir teh yang tak sengaja ia jatuhkan ke lantai. Dan dalam sesaat, ia tahu: mereka sudah sampai pada takdirnya masing-masing.

Tidak sempurna. Tidak bersatu.

Tapi tidak sia-sia.



Tuesday, July 15, 2025

Mata Palu

Seseorang mengetuk dahiku, berkata tentang angka-angka yang berdansa dalam berkas

Ada jari gemetar menekuk pasal, seperti payung yang lupa cara membuka dirinya saat hujan. Lalu aku dipukul lagi, seperti pintu hotel murah yang tidak pernah dikunci dengan benar


Aku pernah jatuh cinta pada meja, tapi ia hanya diam, menyimpan rahasia dalam urat kayunya Seorang hakim tua menggenggamku dengan tangan yang bau tinta sisa perjamuan
Ia memukulku, tapi suara yang keluar bukan suaraku, melainkan desah kursi yang dipaksa setuju


Aku ingin tidur di dasar sungai, bersama ikan-ikan yang membaca koran pagi
Seseorang mengeringkan dahinya dengan selembar kalimat yang sudah mati sebelum diucapkan Aku diketuk sekali lagi, kali ini lebih keras, seperti kepala yang menabrak dinding di ruangan interogasi


2025


Perihal Membaca Kehidupan

Membaca kehidupan, bagi saya, adalah membaca sebuah naskah agung;  sebuah teks eksistensial yang ditulis oleh Tuhan dengan tinta waktu dan kertas realitas. Ia tidak terdiri dari huruf-huruf alfabet, melainkan dari kejadian, pertemuan, kehilangan, dan pencarian. Dalam perenungan atas Seni Membaca dan Memahami karya Mortimer Adler dan Charles Van Doren, saya menemukan analogi yang sangat kuat antara tingkatan membaca dalam literasi dan tingkat kedalaman kita dalam memahami hidup. Membaca secara sintopikal:tingkatan membaca tertinggi yang paling aktif dan menuntut usaha, mencerminkan bagaimana kita seharusnya mendekati hidup: tidak hanya sebagai rangkaian peristiwa, tapi sebagai sistem makna yang saling terhubung dan harus dibaca melampaui permukaan.



Tuhan telah memberikan kepada manusia tiga alat utama untuk membaca naskah ini: ruh, akal, dan fisik. Fisik adalah pembuka layar panggung. Ia mengalami: berjalan, jatuh, bangkit, mencinta, kehilangan. Ia seperti mata yang membaca huruf, tapi belum memahami kalimat. Akal adalah pembaca analitis: ia mengurai makna, mempertanyakan motif, menghubungkan bab demi bab dalam hidup kita. Tapi pada titik tertentu, akal pun terbatas. Ia bisa menemukan mengapa, tapi tidak selalu bisa menjawab untuk apa. Di sinilah ruh mengambil peran sebagai pembaca sintopikal; ia tidak hanya memahami isi hidup, tetapi juga menarik benang merah lintas dimensi dan lintas waktu, membandingkan nilai-nilai, dan menyimpulkan hikmah yang mungkin tak disebutkan dalam “teks kehidupan” secara eksplisit. Ruh mengarahkan kita untuk mencipta makna, bukan sekadar menemukan makna yang sudah ada.

Secara simbolik, membaca kehidupan dengan ketiga alat ini adalah seperti membaca wahyu dalam dua bentuk: qauliyah (teks tertulis: kitab) dan kauniyah (alam semesta dan peristiwa hidup). Keduanya harus dibaca bersamaan, dengan akal untuk menalar, fisik untuk mengalami, dan ruh untuk menafsirkan secara spiritual. Al-Ghazali menyebut ruh sebagai jauhar, inti hakiki dari diri manusia, yang hanya bisa disentuh melalui perenungan, kejujuran batin, dan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar data atau fakta.

Saya percaya, membaca hidup secara sintopikal berarti juga membaca Tuhan di balik kehidupan. Bukan sebagai objek, tapi sebagai Makna itu sendiri. Dalam hidup yang penuh paradoks ini; antara kebahagiaan dan duka, kejelasan dan kebingungan, kita diundang untuk tidak sekadar menjalani, tapi menafsirkan. Dan dalam penafsiran itulah, hidup menjadi kitab yang hidup, naskah yang tak pernah selesai, dan bacaan yang membawa kita, perlahan tapi pasti, dari ketidaktahuan menuju pemahaman.

Maka, jika kita bertanya, apa arti membaca dalam makna terdalamnya? Mungkin saya menjawabnya membaca adalah ziarah batin ke dalam teks kehidupan yang ditulis oleh Tuhan, dengan membawa seluruh instrumen kemanusiaan kita: akal, ruh, dan tubuh; agar tak hanya tahu, tapi juga mengerti dan menjadi.


2025




Kopi, Goni dan Senar di Halaman Belakang

Senar dan Goni duduk bersisian di taman belakang, di atas bangku besi yang dicat putih dan mulai terkelupas warnanya. Di hadapan mereka tertanam rumpun-rumpun serai dan kenikir yang tumbuh tidak teratur, seperti sedang memberontak dari desain taman yang terlalu rapi. Di ujung-ujungnya, sebatang pohon asam menua dengan anggun, dedaunannya berguguran satu demi satu, seolah tahu bahwa dunia tak lagi punya cukup tempat untuk menampung segalanya. Burung Bayan, satu-satunya makhluk yang selalu lebih cerewet dari televisi, bertengger di palang jemuran. Ia sesekali berteriak, bukan karena ada tamu atau maling, tapi karena hidup terlalu penuh informasi. Suaranya menirukan apa yang terakhir ia dengar:

"Setop uranium! 1,5 derajat! Laptop error! RDF! RDF!"


Di atas meja kayu, dua cangkir kopi robusta setengah basi mengepul lemah. Senar mencelupkan jari ke dalam cangkirnya; entah untuk mengetes panas atau menakar kesabaran. "Kadang kupikir, kita ini hidup di antara dua halaman. Satu halaman berita, satu halaman doa. Tapi tak ada yang bisa kita tulis sendiri," katanya. Goni mengangguk. Ia menyentuh tanah yang lembap berlumut, "Kau tahu, Iran sedang diancam lagi. Diminta berhenti memperkaya uranium. Disuruh manut pada yang merasa punya hak moral; dan pasukan."

Senar tersenyum kecil. "Kita semua pernah jadi Iran, dalam skala rumah tangga. Ditekan untuk berhenti memperkaya diri, karena dianggap berbahaya jika terlalu mandiri."


Burung Bayan mencicit, lalu bersuara seperti iklan layanan masyarakat:
"Digitalisasi pendidikan, generasi emas, satu siswa satu laptop."
Ia meniru suara Pak Menteri dengan begitu sempurna, hingga kopi di tangan Goni nyaris tumpah. "Dan ternyata ada anggaran yang menguap juga di sana, ya?" Goni bersuara lirih. "Laptop-laptop lebih banyak jadi tumpukan daripada digunakan. Anak-anak masih belajar di ruang kelas dengan plafon bolong dan kabel colokan yang diganjal sendok." Senar tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke langit yang kelabu. "Tapi di gurun Atacama, kabut bisa dipanen. Lima liter per meter persegi. Sehari. Air minum dari udara."

Ia terdiam, seakan sedang mengukur berapa banyak harapan bisa diperas dari udara Jakarta.

“Bayangkan. Negara di tengah kekeringan bisa mencipta kelembapan. Sementara kita; yang banjir pun tiap dua bulan, tak bisa mengelola basah tanpa tenggelam.” Angin menyusup ke sela-sela kemeja mereka. Aroma tanah lembap dan sisa bakaran plastik dari rumah tetangga menyatu, membentuk semacam kenyataan yang enggan dihindari. Goni berkata pelan, “Bantargebang katanya sekarang punya RDF. Sampah jadi bahan bakar. Katanya solusi. Tapi siapa yang tinggal di dekatnya? Siapa yang hirup udara itu?"


“Dan siapa yang ucapkan pidato sambil pakai masker N95, tapi menyuruh warga pakai saputangan bekas?” Senar menimpali.

Suasana jadi hening. Bahkan Burung Bayan pun membisu. Lanjut Goni, "Tadi pagi aku membaca, suhu bumi telah melampaui 1,5 derajat dari masa pra-industri. Kita resmi memasuki fase baru." “Mungkin bukan bumi yang berubah. Tapi kita yang lupa bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri,” jawab Senar. Ia menenggak kopinya, kini sudah dingin, seperti hasil riset yang tak lagi hangat bahkan saat dibakar berkasnya.


Bayan mengepakkan sayap. Di bawahnya, daun kenikir bergoyang. Seseorang menyalakan televisi di dalam rumah. Suara-suara ramai lagi: proyek, anggaran, investigasi, resolusi, investasi hijau, peluncuran AI, dan pertemuan tingkat tinggi. Namun di taman belakang, dua lelaki dan seekor burung tahu betul bahwa dunia tak akan diselamatkan oleh presentasi. Berdoa bahwa semua ini akan pulih, mungkin.

Thursday, July 10, 2025

Celoteh Ikan Sapu-Sapu

Aku ini ikan sapu-sapu. Iya, yang biasa kamu sebut "ikan jorok", "ikan pembersih kaca", padahal yang paling kotor itu bukan aku...tapi kebijakan kalian yang setengah matang, setengah matang tapi ditaruh di piring mewah, seolah bisa dicerna. Huh. 

Sudah dua jam aku ngendon di pojok kolam taman kota, mendengarkan dua bocah ribut minta dibeliin es krim. Ibunya menolak, katanya, “itu bukan makanan sehat, sayang.” Tapi lima menit kemudian dia beli corn dog, yang di luarnya keju mozzarella, di dalamnya sosis ayam impor. Katanya makanan sehat mahal. Aku ngeludah gelembung sarkas. 

Di Portugal, sekolah ngajarin anak-anak masak sendiri dari kebun sekolah. Di Swiss, pasar mingguan penuh makanan organik, dari nenek-nenek petani yang lebih segar dari influencer skincare lokal. Di sini? Organik mahal, UPF murah, anak-anak dicekokin keju bubuk dan bon cabe dari usia balita. Dunia terbalik, dan aku nyeret lumut sambil mikir, mungkin Tuhan iseng waktu bikin negeri ini. 

Denger-denger tetangga kolam sebelah baru melahirkan. Operasi sesar, katanya 24 juta, diskon kalau pakai BPJS, itu pun kalau dokternya nggak mudik. Di Swiss? Semua perempuan melahirkan ditangani tenaga medis yang tidak sempat jadi selebgram. Di sini? Dokter spesialis harus buka TikTok dulu biar dipercaya pasien. BPJS? Antriannya bisa bikin ikan cupang stres. Ngomong-ngomong stres, anak-anak zaman sekarang nggak bisa main di lapangan tanah kayak dulu. Mau les basket, harus bayar 1,5 juta per bulan. Baru dapet kaus dan panggilan "adik-adik" dari pelatih. 

Di Portugal, anak-anak main bola di trotoar, nggak usah daftar, nggak usah bayar. Di sini, trotoar dijajah pedagang, motor, dan kadang tuyul. Eh serius, ada tuyul nyebrang tadi pagi. Mau naik angkot katanya, tapi bingung rutenya. Aku ketawa. Transportasi umum? Halah. KRL sering mogok, MRT cuma bisa buat selfie, dan bis kota... ya, jangan tanya deh. Bahkan aku, ikan, lebih ngerti jalur sungai dari pada supir Trans.

"Kenapa kamu bawel banget, Sapu?" tanya si lele putih yang baru pindah dari empang belakang kampus negeri. "Karena kita hidup di negeri yang lebih suka ngecat tembok rumah sakit daripada nambah ventilasinya," jawabku. "Apa hubungannya?" "Nggak ada. Sama kayak kamu daftar subsidi tapi nggak pernah dapat.. nggak ada hubungannya sama logika." 

Di dasar air ini, aku lihat segalanya. Pemerintah yang pamer kebijakan kayak pamer aquascape: cantik, tapi nggak fungsional. Ikan-ikan makin lelah berenang melawan arus. Dan aku? Aku sapu-sapu. Tugasku membersihkan. Tapi kalau limbahnya terus datang dari atas, percuma aku diam. Maka aku ngomel. Kalau kalian malas mendengarkan, jangan salahkan nanti kalau aku naik ke permukaan dan minta KTP. Siapa tahu, bisa nyalon jadi menteri.


Indomie, Doa dan Drone-Drone di Langit Makmur

Di warung pojok antara masjid dan pom bensin, seorang bapak memutar berita tentang serangan udara. Di layar televisi 14 inci, kita lihat misil terbang seperti ayat-ayat yang kehilangan tafsir. Tetapi di sini, ibu-ibu masih menawar harga cabai, seolah-olah inflasi dan invasi adalah jenis bumbu dapur yang sama. 

“Kita harus netral,” kata pejabat dengan dasi motif batik dan suara seperti pendingin ruangan di kantor desa. Tapi netral kita selalu miring ke arah yang sedang viral, tergantung siapa yang sedang kasih proyek pembangunan jalan tol.

Malam ini, kita makan mi instan rasa "Kari Dunia Ketiga", sambil membaca komentar di Instagram: #PrayForPeace—dan #PromoRamadhan. Apakah kemanusiaan bisa dibayar dengan pulsa? Atau cukup dengan unggahan karikatur anak kecil yang berdarah tapi tetap artistik?

Sementara itu, perusahaan tambang diam-diam membuka cabang di gurun orang lain, dan kita ekspor doa dalam kemasan sachet. Murah. Praktis. Ada stiker bendera kecil di pojok kanan bawah.

Tetapi kenapa, di tengah semua ini, kita masih bangga menjadi negara dengan “posisi strategis”? Apakah kita berarti berada di tengah peta, atau di tengah kebingungan yang tidak pernah usai?

Ini bukan soal siapa yang menang.

Nikel dari perut Sulawesi mengalir ke pabrik-pabrik kendaraan listrik yang katanya menyelamatkan dunia, tapi tak pernah menyelamatkan buruh di sekitar tambang. Debu mengendap di paru-paru mereka, sementara CEO-nya berpidato tentang "green future" sambil menyeruput kopi Toraja. Barangkali dunia ini memang dibangun dari kontradiksi yang diminyaki, dan kita diminta ikut tepuk tangan dalam seminar berjudul Kolaborasi Menuju Masa Depan Berkelanjutan. Tapi sampai hari ini, anak-anak di kampung tambang masih menghafal abjad di tengah gemuruh alat berat.

Dan di antara semua itu, langit tetap cerah di aplikasi cuaca, meskipun dunia retak-retak di bawahnya.

Wednesday, July 9, 2025

Hanya Celoteh Saja

Petak-petak cemas, petok-petok ayam

Deret-deret bambu, wenang-wenang cabut

 

Tuding-menuding abrasi restorasi

Nelayan melipir, membongkar, hampir

 

Kan Saya sudah bilang, segala bentuk instruksi, tidak sama lagi

Kan Saya sudah bilang, semakin kesini, semakin susah berhenti

Kan Saya sudah bilang, aktivitas ini sama dengan pengelolaan energi

Kan Saya sudah bilang, puisi-puisi ini, nol arti

 

Kamu masih mau,

   mencintai negara ini?

Tanya bocah berkepala gundul dengan kaus garis-garis

 kepada teman di samping kirinya

 

Kamu masih mau,

   melihat matahari tenggelam,

dan dimakan habis olehnya?

Aku tidak. 

Dilma, Pieng dan Merbou - Lonceng yang Menolak Berdenting

Di lembah yang bentuknya seperti cangkir raksasa, terkurung kabut putih dan pepohonan kurus, berdiri sebuah sekolah kayu yang warnanya telah lama menyerah pada musim. Mereka menyebutnya Madrasah Sendu, meskipun tidak ada pelajaran agama di dalamnya. Di sanalah tiga nama tumbuh dari akar yang berbeda; Dilma, si pendengar gema, Pieng, penebar tanda tanya,  dan Merbou, penjaga pintu yang tidak pernah terkunci. Sekolah itu enggan memiliki jam. Waktu diatur oleh bayangan burung yang terbang melewati jendela, atau suara daun yang jatuh pada lantai bambu. Para guru? Mereka tidak punya mulut; hanya papan-papan kayu yang memutar kalimat-kalimat usang lewat lidah kapur yang gemetar.

I. Dilma dan Telinga Ketiganya

Dilma lahir dari sebuah perahu. Ibunya seorang pembuat jaring, ayahnya tenggelam sebelum sempat memberi nama. Ia memiliki telinga ketiga di balik rambutnya yang selalu basah, dan katanya ia bisa mendengar suara-suara yang tidak pernah diucapkan. Di Madrasah Sendu, Dilma duduk paling belakang. Ia tidak mencatat, tidak bertanya. Tapi ia mendengar. Ia tahu saat huruf “A” mulai merasa malu, atau ketika angka “7” menyimpan dendam pada perkalian.

“Ilmu itu seperti angin,” katanya sekali, pada Pieng. “Kalau kau paksa masuk botol, ia akan jadi bisu.” Orang-orang menyebutnya aneh. Tapi Dilma tahu: pelajaran tidak selalu datang dari papan tulis. Kadang dari bunyi serangga, atau detak jari guru yang mengetuk meja tanpa sadar.

II. Pieng, Sang Pemelihara Koma

Pieng punya keinginan untuk memecah semua kalimat. Ia membenci titik, menyukai koma. “Titik adalah kematian,” ujarnya. “Koma masih memberi harapan.”

Ia membawa buku catatan dengan garis-garis diagonal. Di dalamnya, ia menulis ulang pelajaran hari itu—tapi selalu ia ubah. Jika pelajaran tentang segitiga, ia akan menggambar rumah berkaki tiga. Jika soal sejarah, ia menulis ulang masa lalu sebagai kemungkinan, bukan kepastian. Guru-guru kayu di Madrasah Sendu nampak tidak menyukai Pieng. Mereka lebih menyukai anak-anak yang meniru, bukan menyoal.

 “Kenapa sejarah hanya dihafal, bukan ditanyai?” tanya Pieng suatu hari, dan papan tulispun retak. Dilma mendengar sesuatu pecah dalam diam hari itu. Ia menoleh ke Pieng dan melihat: ada seekor burung bertengger di bahunya. Burung itu terbuat dari kata-kata yang ditolak.

 

III. Merbou, dan Pintu yang Selalu Terbuka

Merbou tak banyak bicara. Ia tidak pandai membaca. Tapi ia tahu segalanya tentang pintu. Setiap pagi, ia datang lebih dulu dan membuka semua pintu sekolah. Tapi anehnya, tidak pernah ada yang tahu pintu mana yang sebenarnya dia buka.

“Aku hanya ingin semua punya jalan keluar,” katanya lirih. Ia percaya bahwa tidak semua orang harus masuk ke ruang yang sama untuk belajar. Ia membuka pintu menuju lapangan, kamar mandi kosong, loteng berdebu, bahkan ke bawah lantai tempat rayap bersidang. Orang dewasa menyebut Merbou bodoh. Tapi Dilma mendengar angin berbisik saat Merbou lewat. Dan Pieng selalu menulis namanya dalam huruf kecil, seolah Merbou adalah jeda yang menyelamatkan kalimat dari kebuntuan.

IV. Lonjakan di Hari Tanpa Angka

Pada suatu hari, angka-angka hilang dari buku matematika. Semua halaman berubah putih. Para guru berdiri beku. Suara papan kayu pun lenyap. “Hari ini kita tak punya angka,” ujar Dilma. “Mungkin kita sedang dilupakan.” Pieng tersenyum. Ia menulis: Jika tak ada angka, mungkin kita akhirnya belajar menghitung makna. Merbou membuka pintu.

Di luar, kabut seperti perca kain menggantung dari langit. Ia mengangguk pada Dilma dan Pieng. Mereka bertiga melangkah keluar. Di tengah lapangan, mereka menggambar lingkaran dengan ranting. Dilma menaruh daun, Pieng menaruh kata, Merbou menaruh kunci yang patah. Lingkaran itu bersinar samar. Dan dari dalam tanah, muncul lonceng tua;karatan, retak, tapi hidup.

“Ini lonceng yang tak pernah berdenting,” ujar Dilma.

“Karena tak ada yang mau mendengarnya,” sahut Pieng.

Merbou mendekat, dan meniupnya.

Nihil suara. Tapi udara berubah. Seekor kelinci melompati buku pelajaran. Huruf-huruf keluar dari jendela. Salah satu guru kayu ambruk, berubah menjadi tanaman. Dan para murid menari. Tidak seperti tarian perpisahan. Tapi seperti tarian anak-anak yang baru saja mengingat: belajar bukan meniru, tapi menggali diri sendiri yang terus tumbuh dan berubah.

V. Satu Tahun Tanpa Kurikulum

Sejak hari itu, Madrasah Sendu berubah. Tidak ada jadwal. Tapi semua datang tepat waktu. Tidak ada ujian, tapi setiap anak menemukan pertanyaan yang mustahil dapat dijawab orang lain. Para guru pun mulai tumbuh mulut. Tapi bukan untuk memberi tahu, melainkan untuk mendengar. Dilma mengajar dengan mendengarkan. Pieng menjadi penjaga perpustakaan yang hanya berisi buku kosong, tempat anak-anak menulis sendiri. Merbou tidak pernah masuk kelas, tapi membuka lebih banyak pintu, bahkan ke rumah-rumah di desa. Mereka menyebut ini tahun tanpa kurikulum. Tapi di seberang lembah, orang-orang mulai resah, berulang kali bertanya: Apa gunanya sekolah jika tak ada ranking? Apa gunanya belajar jika tak bisa dilombakan?

Maka datanglah Orang-Orang Bertopi Angka.

Mereka membawa meteran, grafik, nilai, dan peraturan yang bisa dibingkai. Mereka bicara dengan bahasa yang tak punya metafora. Lonceng dipaksa berdenting kembali. Pintu-pintu dikunci. Madrasah Sendu disterilkan. Dilma dipecat. Pieng dikirim ke kota. Merbou menghilang.

VI. Batu yang Berbicara Setelah Hujan

Beberapa tahun kemudian, seorang anak berjalan di lereng lembah. Ia menemukan batu kecil dengan ukiran aneh: “Kadang, belajar adalah melupakan pelajaran yang tidak lagi berguna.” Ia mendongak. Di sana, di balik ilalang dan lumut, terlihat kerangka bangunan tua. Ada pintu yang terbuka. Ada suara daun yang jatuh. Ada bunyi burung dari dalam papan tulis yang retak. Dan mungkin, jika kau diam cukup lama, kau bisa mendengar suara telinga ketiga Dilma, jejak tanda koma Pieng, dan pintu Merbou yang terus terbuka—di mana pelajaran tidak pernah selesai ditulis.

Batang Buluh

Delapan batang buluh membentuk sangkar tanpa hybris,

mereka berdansa saat embun pagi menyentuh ujungnya

Setiap darinya bergumam, “Aku aku, tapi aku milik banyak tanah,”

ketika matahari mengulurkan jari, mereka bersahut dan bersambut

 

Kupandangi dedaunan; adakah yang menuntut daun sebelah menjadi putik?

Angin hanya membelai, dan bunga-bunga memilih untuk bertepuk bergilir

Di dalam tanah, akar-akar menaut tanpa tumpang tindih;

di atas panggung ini, kekayaan suara tumbuh tanpa saling meredup

 

Ketika malam merambat, jangkrik membuka pertemuan rahasia

bundel napas dan rintik mereka membentuk simfoni tak terlihat

Tidak ada paduan suara utama; melainkan sembilan puluh detik diam

menyusun ruang di antara nada, memberi tempat untuk nyali-nyali


2025

Ayam Yang Tak Mau Mati

Di sebuah desa yang tak lagi disebut dalam peta, tinggal seekor ayam jantan bernama Sora. Ia bukan ayam sembarang, bukan pula ayam aduan atau ayam cemani. Ia ayam biasa, bulu cokelat kusam, jenggernya menggelantung lemas seperti bendera setengah tiang. Yang luar biasa darinya cuma satu: ia bisa berpikir.

Sora tinggal di tengah sawah yang dulu subur, kini mengering. Rumput menguning seperti mulut orang tua yang lupa minum. Lalat pun ogah mampir. Pernah suatu waktu Sora bicara sendiri, “Kalau sawah sudah mati, apa gunanya hidup?” Tapi ia tak mati juga. Ia terlanjur terikat pada dunia ini seperti tali tambang pada tiang jemuran. Setiap pagi ia berkokok, bukan karena fajar, tapi karena kebiasaan. Tak ada lagi yang mendengar selain angin dan seonggok karung pupuk yang tertiup pelan.

Dulu, sebelum matahari seperti bola lampu yang korslet, desa ini hidup dengan irama musim. Ada perempuan bernama Ima, gadis desa yang setiap sore mencuci kaki di selokan, menanak nasi dari beras yang ia tanam sendiri, dan memelihara Sora sejak masih anak ayam. Ima bersahaja. Ia percaya pada pepatah, pada langit, pada angin. Tapi itu dulu.

Ketika perusahaan-perusahaan mulai membeli tanah sawah dengan harga dua kali lipat nilai moral, banyak yang menjual. Ima marah, tapi ayahnya justru tertawa, “Lebih baik sawah kering dibeli orang, daripada kering tanpa guna,” katanya, sambil mengunyah sirih. Ima menangis diam-diam, sambil menggendong Sora.

Lalu ia pindah ke kota.

Di kota, Ima bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah seorang pejabat kementerian lingkungan hidup. Ironis, ya? Tapi hidup memang suka bercanda. Majikannya, Bu Lestari, selalu berbicara soal ‘sustainability’ dengan artikulasi seperti presentasi PowerPoint: Green economy, carbon offset, eco-lifestyle. Di meja makan, Bu Lestari memarahi Ima karena plastik pembungkus tempe tidak digulung rapi. Tapi di pesta ulang tahun anaknya, mereka menyewa dekorasi balon satu truk penuh.

“Sampah itu masalah rakyat, bukan elite,” kata Pak Raka, suaminya, seorang pejabat yang suka sekali menyebut kata ‘konservasi’ sembari menyiram rumput sintetis di taman mereka. Ima mengangguk saja. Dalam hatinya, ia rindu tanah yang basah, suara kodok, dan ayam jantannya.

Sora tetap tinggal di desa. Ia melihat traktor datang, menggusur pohon pisang dan rumpun bambu. Ia menyaksikan ladang menjadi kompleks vila.  Sawah berubah jadi lapangan parkir. Tapi ia tak bisa lari. Ia sudah tua. Sayapnya lemah. Ia cuma bisa menatap langit sambil mengingat Ima.Suatu malam, seorang guru ngaji tua lewat depan sawah, membawa kitab dan lentera. Ia melihat Sora dan berhenti.

“Kau masih hidup, ayam?” katanya.

Sora memiringkan kepala. Ia tidak bicara, tentu saja. Ia ayam. Tapi ia mengerti.

“Kau tahu,” lanjut guru itu, “dulu Nabi Sulaiman bisa bicara pada binatang. Tapi sekarang manusia bahkan tak bisa mendengar bumi sendiri menangis.”

Guru itu tertawa pendek. Lalu bersabda entah kepada siapa, “Keseimbangan alam itu amanah. Tapi kita mengkhianatinya demi pendingin ruangan dan gengsi perkotaan.”

Lalu ia pergi, ditelan kabut malam yang membawa bau plastik terbakar.

Suatu hari, Ima pulang kampung. Bukan karena rindu. Tapi karena ayahnya meninggal dan tanah rumah hendak dijual. Ia berjalan melewati jalan desa yang kini berdebu seperti roti basi. Truk-truk proyek lewat membawa batu dan semen. Ia melihat Sora duduk di bawah bayangan bangunan setengah jadi. Ayam tua itu tampak kurus, tapi masih hidup. Ima terisak. Ia mengangkat Sora, memeluknya.

“Kau tidak mati?”

Sora mematuk pelan tangannya, seolah berkata: “Kau juga belum.”

Malam itu, Ima tidak tidur. Ia duduk di beranda rumah peninggalan ayahnya, menatap bulan yang tampak seperti lampion murung. Ia berpikir tentang semua: tentang sawah, tentang kota, tentang plastik yang tak pernah hancur, dan tentang anak-anak pejabat yang membeli air dalam botol kaca demi konten Instagram. Bumi adalah rumah, tapi mereka mendekornya seperti tempat pesta lalu pergi meninggalkan sampah.

Esoknya, Ima membuat keputusan aneh. Ia tidak kembali ke kota. Ia membeli bibit, menggali tanah dengan tangan. Ia menanam padi di sawah yang setengah mati. Orang-orang menganggapnya gila. Beberapa bulan berlalu. Ima tetap menanam, sendiri. Tak ada yang membantunya, kecuali Sora yang sesekali mencakar tanah lalu tidur di bawah bayangan caping. Sawahnya mulai menghijau, meskipun tipis. Orang-orang yang tadinya mencibir kini hanya diam dari jauh, menonton seperti menonton ayam sabung—penasaran siapa yang kalah duluan: Ima atau tanah.

Suatu pagi, datang mobil mewah ke desa. Platnya seperti kode rahasia dari langit ibu kota. Turunlah sekeluarga pejabat lengkap: sang ayah pejabat kementerian, sang ibu aktivis lingkungan sekaligus influencer, dan anak gadis mereka yang tampak seperti hasil digitalisasi estetika. Ima mengenali mereka, keluarga tempatnya dulu bekerja.

“Ima? Ini kamu?” kata Bu Lestari, mengenakan kacamata hitam besar yang memantulkan wajah sawah. Ima mengangguk. Tangannya penuh lumpur. Di belakangnya, Sora mengamati dari jauh, seperti seorang satpam spiritual.

 

Pak Raka turun sambil menutupi hidung. “Masih bau lumpur ya tempat ini. Tapi… kami tertarik. Kementerian ingin mengembangkan Eco-Tourism. Sawah kamu bisa jadi pilot project. Kami bangun homestay. Wisata edukatif. Sesi panen selfie. Kamu tinggal bagi hasil.”

Ima hanya menatap mereka. Lama.

“Tanah ini bukan tempat selfie,” katanya, “Ini tempat sembuh.”

Akar Tubuh

Semua tangan meraba tombol, dan bunyi ketukan serentak mencipta ruang mendengar

Seperti gendang, gong, kecapi bertaut tanpa dominasi

Perjalanan suara-suara yang bertemu di luar hierarki

Di situ; sastra, nada, dan pengalaman perempuan bergelora setara

Cahaya merambat di atas dahan,

bercabang lebat, menopang daun tanpa cemburu

Begitu pula pemikiran kita, tumbuh dalam simpul yang saling memanggul

Tidak ada batang tunggal yang berdiri sendiri

hanya hutan lintas suara dan tubuh

Napas masuk dan keluar bersamaan, seperti kurasi pengalaman;

yang bergulir tanpa jeda

Di sanalah Ia tumbuh;

menjadi akar

yang sama menghidupi ragam kata

 


2025

 

Laut di Telingaku

 

Ibu, ibu, ibu, mengapa di kupingku selalu ada suara gemuruh air bergulung?”

“Gemuruh? Gemuruh seperti apa, Nak?”

“Seperti pertama kali Ibu membawaku ke Wohkudu.”

“Maksudmu seperti suara ombak?”

“Nah iya, seperti itu.”

“Kapan pertama kali kamu menyadarinya?”

“Beberapa minggu lalu. Aku bermimpi juga dihujani pasir-pasir, berwarna merah muda, coklat kemudaan. Malam setelahnya aku juga bermimpi tuts-tuts piano kamarku beterbangan mengelilingi wajahku.”

“Hmm.. mimpimu absurd sekali..”

“Ibu mengerti?”

“Tidak. Tapi kakekmu pernah bermimpi seperti itu juga. Diceritakannya berulang-ulang kepada kami, anak-anaknya, dan cucu-cucunya. Ibu lupa cerita kepadamu karena Ibu rasa ini tidak penting.”

 

***

 

Lima tahun sejak percakapan petang di hari Kamis itu. Telingaku tidak sama lagi. Setiap hari aku harus hidup dengan telinga yang bergemuruh, aku tinggal di kota besar, tetapi seakan-akan kamarku langsung menghadap samudera. Ibu juga telah membawaku ke dokter—dokter umum, dokter spesialis, cenayang, tabib, usada. Sebutlah semua penjuru pengobatan, namun semua tidak punya jawabannya. Jika kalian membayangkan seperti white noise yang berdampak pada menurunnya kepekaan pendengaranku, bukan. Bukan seperti itu. Aku mencoba mendefinisikan sedetail mungkin kepada orang-orang. Sederhananya, Aku seperti membawa laut kemanapun. Di dalam busway, ketika lari di GBK, ketika gereja, bahkan ketika mandi. Seolah-olah jalur busway, running track GBK, barisan kursi ibadah jemaat dan shower kamar mandiku terletak sejajar dengan bibir pantai.

 

Maka sejak saat itupula, ketika aku sudah bisa berdamai dengan suara gemuruh, Aku kerap mendatangi bibir-bibir laut. Tidak pernah ada jam pasti untuk mengunjungi. Mau tengah malam sekalipun, laut selalu menerimaku dengan senyum dan tentu saja, nasihat. 



(Aku selalu merawat pertemuanku dengan laut walau telingaku hampir berdarah,  karena Ia tak pernah menutup mulutnya ketika Aku datang menjenguk. Ada saja nasihatnya, dari penampilan, finansial, percintaan, bahkan spiritual. Kupikir, ketika Laut sedang sibuk, dan Aku menyempatkan berkunjung, Ia akan dalam kondisi tidak mood dan menemaniku dalam hening saja. Oh ternyata tidak, lewat angin, burung, atau perahu-perahu nelayan, Ia menyampaikan nasihat-nasihatnya. Tidak peduli Aku datang dalam kondisi bahagia, patah, gamang atau sumringah. Selalu saja ada celoteh.)