Thursday, September 1, 2022

Sore itu, Ternyata

Di garis-garis tanganmu,

ada empat tokoh

berkejaran

berlarian

memutar-mutar jalan cerita

menunggu

kapan waktunya


SI Putri berlari ke arah ujung kelingking

menunggu Pangeran 

bersepeda ke tengah

kurcaci mengikuti dari buku jari

berlompatan

dua lainnya

membaca buku di bukit 


Waktunya Pangeran masuk ke puisiku! 

2022.

Sepanjang Trotoar Jalan Hegarmanah

doa-doa kedaluwarsa

kembali terhidangkan

bersilekas menghapus 

kesedihan yang tak beradab

kenangan menuntun lampah si Perempuan


di pohon jati kesembilan

mereka berciuman

terpagut memungut sisa

yang sebetulnya mungkin bisa

dibaringkan bersama matahari

yang kabur mengungsi


2022

Kedatangan

Mereka telah mengetahui

Sejak lama

Ada laut di kepalaku

dengan rintik hujan

di kedalamannya


Mengangkat gelas risau, getir robek lampau

Angkasa tidak lagi jadi tempat memintal mimpi

Kosong terpecahkan dengan belati;

Kanan, kiri

dan 

hampa diperas jadi riuh yang asing


Kemudian hidup; serta merta

Memberiku spasi

yang menjemput jarak

untuk kembali


2022

Saturday, February 19, 2022

Pada Suatu Hari yang Hujannya Deras Sekali

Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.

Ada seloyang pizza stuffed crust yang hampir habis, kartu remi, sebotol anggur, sisa kacang tanah dalam bungkus plastik, dan televisi yang terus menyala. Dia meneriakiku dengan parau suara, mata yang menahan airnya,  dan tubuh yang menolak untuk rubuh. 


Aku cuma bisa duduk di sampingnya, mengelus rambut yang anaknya banyak sekali. Sepinggang, tidak pernah lebih pendek atau lebih panjang. Mendengar napas yang terburu-buru, menunggu hingga Ia lebih tenang, baru rencananya akan Aku mulai bicara. 

Tidak pernah mudah membuatnya membuka mulut. Harus nyaman dulu, selalu begitu.


Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.

Ada mobil yang berhenti tetiba, di kiri trotoar Jalan Pelajar Pejuang, tidak berniat menepi. Ia turun dan membiarkan dirinya basah kuyup. Aku hanya takut dia kedinginan dan nantinya meriang. Badannya langsing tinggi, sedikit kurang lemak. Semakin aneh, Ia terus berjalan, dengan tas, sepatu, rok rajut  yang kutahu merknya mahal semua.


Pada suatu hari yang hujannya deras sekali.

Ia hanya menyodorkan telapak tangannya untuk kugenggam. Wajahnya jelita, namun terlihat angkuh karena tak ada senyum sama sekali. Halus kulitnya, dan selalu hangat. Mungkin yang lahir pagi ini bukan ketenangan baginya, mungkin memang belum ketemu. Tapi kuperhatikan, Ia selalu mencari. Keping yang tidak pernah diketahui keberadaannya sama sekali. 


Aku juga jadi ikut bingung.


“Akhirnya tangismu berhenti, masih kosong?”

Tanpa jawaban.

“Ruangnya sudah diperbaiki?”

Masih, tanpa jawaban.


Tolong beritahu Aku bagaimana caranya untuk bisa menembus galaksi mini yang ada di kepalanya. Hanya senyum yang tipis keluar setelah dua pertanyaan itu terlontar. Dan Ia peluk Aku dalam-dalam. 



2022

Sunday, June 27, 2021

Percakapan

 “I love you.”

“Menurutmu kalimat tadi cukup untuk menghapus segala luka?”

Kau tidak menjawab, Aku seakan berbicara pada buih ombak yang sekarang menjadi lebih nyaring dari biasanya. 

“Tapi aku juga tidak mau perpisahan.” Katamu setengah gemetar.

“Aku bosan dengan roman yang menyakitkan. Semesta tidak menakdirkan luka melulu untuk aku alami. Aku juga berhak Bahagia. Kamu juga.”

“Tapi, bahagiaku Kamu.”

Aku menatap garis batas laut, “Oh please, katakan itu sejuta kali dengan banyak perempuanmu.”

“Kamu rumahku.”

“Rumah bukan hanya untuk melihat, mendengar dan menerima seluruh tangisan. Rumah juga perlu kau rawat. Sudah penuh dan ditumbuhi rumput liar. Hatiku sekarang padang ilalang.”

“Maaf…” 

Aku bisa dengar, dengan berat hati kau ucap satu kata itu. Aku lelah harus menerka air wajahmu untuk kesekian kali.

“Aku maafkan. Tetapi aku sudah tidak bisa bersamamu lagi.”

Please, Kamu rumahku. Sejauh apapun Aku pergi, selalu kembali mencarimu.”

“Dan kamu tahu betul, bahwa aku tidak ingin kamu pergi. Aku bukan sembarang hati yang bisa kau singgahi semaumu.”


Baru kali ini, pantai tidak membuatku lupa waktu.

Aku hanya benar-benar ingin menyudahi segala percakapan tanpa arah. 

Aku ingin membuih, pergi jauh ke tengah laut agar tidak mendengar segala perkataanmu lagi.

Tuesday, December 15, 2020

Merona dan Dilatasinya.

Merona tersesat, di hadapannya membentang lautan dan gunung pasir. Kakinya tak kunjung melangkah. Ia pikir ini mimpi yang jauh membuatnya lebih hidup. Kegelisahan demi kegelisahan menjadi raut asah. Kepalanya pening, dadanya sesak, kulitnya dilabur ruam. Ombak yang sedari dulu menjadi sahabat, kini menciptakan ruat. Ia pikir ini labirin, waktu sedang mengoloknya. Ia berlari, di tiga dini hari.

Merona membutuhkan Petang. Lelaki delapan tahunnya. Sebelum memutuskan untuk pergi, Merona titipkan beberapa kunci. Termasuk kunci ke dalam jiwanya. Kunci berwarna abu kehitaman karena karat. Celakanya, Merona tak pernah berencana untuk menduplikat. Satu tahun lalu, Petang menelan kunci itu dan menyimpannya rapat.

Senja hari ini sedikit tidak membantu, Cuaca Jakarta kadang menipu, namun lari ini tak bisa diganggu. Merona gelisah, penuh peluh. Petang masih dengan cangkir kopinya, duduk dengan tenang.

“Persinggahan memang selalu seperti itu, Petang. Ia akan menyatu dengan perpisahan. Entah berujung pilu, entah akan berakhir haru. Terkadang persinggahan juga menyelamatkan, untuk sementara waktu, hingga akhirnya bertemu dengan waktu untuk memulangkanmu.”

Di luar jendela, tidak banyak warna selain jingga, putih dan biru. Selain itu cuma ada derau. Merona kembali berapriori.

“Berhenti berpikir, Perempuanku.”

“Aku tak merasa rugi dengan masa lalu. Tidak pernah sekali pun begitu.”

Angkasa menjadi riuh bagai taman bermain. Klakson-klakson terdengar bagai klarinet, ritmis. Tanpa notasi.

Petang, kisah kita bukan kompendium. I’m afraid…” tanpa menyelesaikan kalimat, perempuan itu menenggelamkan wajahnya ke bahu lelaki. Petang mendekapnya dalam-dalam.

“Katakanlah ini pertemuan terakhir, Kau ingin apa, Merona?”

“Selembar surat, dilipat, dimasukan ke dalam amplop ungu.”

“Itu saja?”

“Saya minta sertakan satu lagi.”

Petang mengerenyitkan dahi, Ia tahu betul permintaan perempuannya kadang tak masuk akal.

“Saya minta sepotong matamu di sana, tanpa darah. Masukan ke dalam amplop yang sama

....sehingga ketika nanti waktunya saya baca surat ini, Saya akan lepas bola mata, dan akan saya ganti dengan milikmu.”

"Boleh. Apapun untukmu."

"Agar saya bisa ingat, bisa melihat, bagaimana kisah ini bahagia dari sudut pandangmu."

Di apartemen sempit ini, nasib sedang tak ingin berbagi ruang kecuali dengan kenangan. Menanti harap pertemuan di pintu kedatangan. Dan sama seperti engkau yang sedang mencari makna dalam tulisan ini;

Percayalah, Merona pun tak mengerti.


Desember 2020

Wednesday, July 22, 2020

Kembali

hatiku berkelukur, menjadi daif
ketika kita tidak berjarak
bahkan sempat mengira
ada perempuan yang mengirim airmata
dengan belati
di tangan kanan
berusaha memecah kenangan;
demi kenangan

gema yang digenggam
melesap ke lengkung langit
darah dipulas hingga merah jadi buih
ada yang tetap tak rela
menyusuri sakit

lantas,
dengan dingin Ia bertanya:
siapa yang mampu
merawat luka?

2020