Tuesday, July 22, 2025

Bersemi, Aster.

Kau tahu, Aster, langit pernah membuka dadanya di suatu malam yang ganjil—bintang-bintangnya jatuh bukan karena gravitasimu, melainkan karena cinta yang tak tahu harus tinggal di mana. Dan sejak saat itu, setiap kali aku menyebut namamu dalam hati, sesuatu dari dalam tubuhku pecah perlahan. Tapi anehnya, dari retakan itu, tumbuh bunga. Mungkin itu kau.

Kau, yang kusebut-sebut dalam doa tanpa bentuk. Kau, yang wajahnya tidak pernah sama dalam setiap mimpiku, kadang berambut hujan, kadang bermata laut, kadang berpunggung bukit senja yang jauh.

Aku melihatmu, Aster. Dalam tubuhmu yang menggigil oleh angin kehilangan, dalam senyummu yang seperti matahari yang dipaksa bersinar di ladang salju. Aku melihatmu, dan sesuatu dari dalam tubuhku bersemi. Tapi bukan semai yang jinak, bukan kelopak yang tahu waktu. Yang tumbuh dariku adalah mawar-mawar liar yang menusuk daging, seolah kehadiranmu terlalu agung untuk diterima dengan tenang.

Apakah kau pernah melihat bunga yang mekar di tanah kuburan? Apakah kau tahu rasanya mencintai seseorang yang hadir seperti musim?

Kau mekar, Aster. Tapi tidak di taman, bukan di tempat yang bisa kulindungi dengan pagar atau semprotan air pagi. Kau mekar di semestaku yang paling sunyi, di ruang di mana tak ada orang lain yang kupersilakan masuk. Dan di sanalah, dengan tangan gemetar, aku menyaksikanmu tumbuh. Perlahan. Penuh getir. Indah.

Seseorang berkata padaku berulang, cinta sejati itu seperti hujan jatuh ke bumi. Tak pernah memilih padang mana yang akan hijau. Tapi aku tahu, kau tak hanya menjadikan tanahku hijau. Kau menjadikannya hidup. Kau menjadikannya surga dan neraka dalam waktu bersamaan.

Setiap kali aku menatapmu, rasanya seperti menatap api yang berbahasa bunga. Ada bara di balik kelopakmu. Ada musim gugur dalam matamu yang menyamar sebagai musim semi. Dan meskipun aku tahu waktu kita akan usai—sebagaimana semua yang mekar akhirnya layu. Aku tetap berdiri di sini, merelakan diriku jadi tanah bagi akar-akar cintamu yang dalam dan rakus.

Kau, Aster, bukan sekadar bunga. Kau adalah seluruh musim yang berjalan dalam satu tubuh perempuan. Dan mencintaimu bukan hanya soal memiliki, tapi mengizinkan diriku dihancurkan oleh keindahanmu; pelan-pelan, tanpa perlawanan.

Kadang aku membayangkan kita di dunia yang tak mengenal waktu. Di dunia itu, aku tidak harus kehilanganmu. Tidak harus membencimu dalam kesunyian. Tidak harus menulis surat-surat panjang yang tak pernah kukirim karena tak ada alamat untuk cinta yang tak ditakdirkan.

Aku ingin kau tahu, melihatmu bersemi dan bermekaran dalam hidupku adalah anugerah yang juga kutuk. Aku menangis bukan karena kau menyakitiku, tapi karena kau terlalu indah untuk dijelaskan dengan bahasa manusia. Kau lebih seperti nyanyian, atau lukisan, atau mungkin gema dari bintang yang meledak jauh sebelum aku lahir. Aku mencintaimu dalam cara yang tak sehat, dalam cara yang membuatku ingin tidur di dasar laut hanya untuk bermimpi tentangmu. Dalam cara yang membuatku menulis namamu di bayangan, bukan di dinding. Aku mencintaimu seperti waktu mencintai kenangan. 

Dan kau tahu, Aster? Cinta sejati bukan tentang bersama. Cinta sejati adalah tentang melihat seseorang mekar, meski bukan di tamanmu. Cinta sejati adalah tentang tersenyum sambil terluka, karena orang yang kau cintai akhirnya bahagia—meski bukan karena kau.

Hari ini, saat kau melangkah dengan gaun putihmu dan senyum yang tak lagi mengenalku, aku tetap berdiri. Di kejauhan. Dalam diam. Dalam hujan. Dalam tubuh yang penuh luka-luka bunga.

Aku tersenyum. Airmataku pahit.

Karena melihatmu bersemi dan bermekaran, Aster, adalah bukti bahwa semesta tidaklah buta. Kelak, jika dunia bertanya mengapa tanah ini tetap harum, mungkin mereka tak akan tahu. Tapi angin tahu. Hujan tahu. Dan akar yang diam-diam masih menggeliat di bawah ini pun tahu: ada yang pernah tumbuh sesuatu di sini, begitu indah hingga tak sempat disebutkan oleh bahasa manapun.

Dan itu cukup.

Sunday, July 20, 2025

Ibuku Lahir dari Teko

 Jam dinding tak pernah terdengar di rumah itu. Barangkali sudah rusak sejak ibunya pergi. Atau memang tiada sejak awal, seperti hal-hal lain yang absen tapi terlalu lama dianggap nyata: rasa hangat di tangan, ciuman di kening, pertanyaan remeh seperti "sudah makan?" atau "kau mimpi apa tadi malam?"

Mereka bertiga tinggal di rumah bertembok kelabu pucat yang dibangun terlalu dekat dengan rel kereta api. Setiap pukul empat pagi, suara gerbong melintas seperti gergaji yang menyeret dunia. Raga bangkit, tapi mata tetap beku. Berli menyapu lantai tanpa sepatah kata. Damar memeriksa meteran air, memastikan tak ada pemborosan. Adik bungsu mereka, Galang, diam-diam sudah merokok sejak umur dua belas.

Ibunya tak pernah benar-benar disebut. Ia menghilang ketika Galang masih menyusu. Sebuah foto buram dalam album tua; perempuan bergaun krem di antara batang jagung. Kadang diselipkan ke dalam buku catatan Damar, lalu ditinggalkan lagi di lemari. Tak ada yang membakar atau menyembunyikannya. Foto itu hanya mengendap, bersama debu.

Mereka hidup dalam kebiasaan-kebiasaan yang tidak ramah. Piring hanya dicuci jika sudah menumpuk. Seprai diganti setahun sekali, biasanya saat tiang ranjang mulai berdecit tak senonoh. Berlin, yang sulung, bekerja sebagai pengarsip dokumen di kantor notaris. Rapi, dingin, seperti bangunan beton. Ia mencukur rambutnya pendek dan mengenakan jas pria, bukan karena ia marah pada dunia, tapi karena kain lembut membuatnya merasa lemah. Damar bekerja serabutan: kadang di bengkel, kadang menjaga warnet tengah malam. Uangnya ditumpuk dalam kaleng susu kental manis yang dikubur di bawah pohon mangga mati. Galang, murid kelas dua SMA yang tak pernah bertanya pulang jam berapa. Mereka bukan keluarga, hanya orang-orang yang kebetulan tinggal bersama dan tahu cara memadamkan api kompor dengan benar.

Tapi sesuatu mulai berubah ketika teko itu muncul.

Ia membelinya di pasar loak. Sebuah teko porselen tua berwarna pualam dengan lukisan tangan berwarna biru kelam. Berlin menyukainya bukan karena bentuknya, melainkan karena teko itu retak di satu sisi, seperti bekas sayatan yang gagal sembuh. Ia meletakkannya di meja makan, tepat di tengah, menggantikan toples roti yang selalu kosong. Dan setiap pagi, teko itu seperti menyembunyikan sesuatu. Uapnya harum, bukan dari teh atau kopi, tapi seperti baju yang baru dijemur matahari. Bau tubuh yang tidak pernah mereka ingat, tapi langsung disadari: ibu.

Tak ada yang mengatakan itu. Tapi mereka mulai datang ke meja lebih awal. Damar membawa koran usang dari warung dan duduk diam di sana. Berlin membuat dua cangkir, satu untuk dirinya, satu diletakkan di seberang. Galang berhenti mencuri rokok dan mulai menulis sesuatu di buku bekas. Seperti sedang menghafal bahasa yang pernah mereka tahu.

Lalu, pagi itu, sesuatu tumbuh dari teko.

Awalnya hanya seperti benang akar, menjulur pelan dan menggantung di udara. Mereka enggan menyingkirkan atau menyentuhnya. Akar itu tumbuh menjadi batang, lalu ranting, lalu sebuah tangan kecil yang memegang saputangan renda. Setelah seminggu, muncul bahu, dada, dan pelan-pelan, wajah yang tak asing tapi juga tidak jelas. Ia duduk di kursi kosong, tak berbicara, tak berkedip, hanya menatap mereka satu-satu. Tubuhnya seperti terbuat dari uap, porselein, dan kenangan yang terlupakan. Mereka tidak lari. Tidak berteriak. Sebab rasa kehilangan terlalu lama mengakar, dan ketika ia tumbuh kembali, mereka tahu, diam adalah cara paling ringan untuk menghadapinya.

Mereka tak bertanya ke mana saja ia pergi. Tak satu pun dari mereka menyentuhnya. Tapi pagi-pagi mereka jadi lebih lambat. Berlin mulai menyisihkan gaji untuk membeli taplak. Damar mengganti bohlam di dapur yang sudah mati tiga tahun. Galang menghapus semua musik dari ponselnya dan merekam suara denting sendok di cangkir.

Suatu sore, ia tidak ada di kursi. Teko juga menghilang. Tapi aroma baju yang dijemur matahari masih tertinggal di dalam rumah, dan mereka tetap duduk di meja, seolah masih ada satu orang yang akan datang terlambat dan berkata: “Maaf, anak-anak. Ibu pulang agak lama.” Tapi mereka tidak menunggu kata-kata itu. Mereka hanya menyeduh air dan membaginya ke dalam tiga cangkir, seperti biasa. Tidak lengkap.

Bapak tinggal di rumah lain, hanya tujuh halte dari mereka, namun seperti tujuh musim yang tak pernah bersisian. Ia tak pernah membawa oleh-oleh atau alasan. Hanya sesekali transfer tanpa nama, nominal bulat, seperti sedekah sunyi yang dilemparkan. Ia tidak diusir, tidak juga menghilang sepenuhnya; hanya terdepak perlahan dari ruang makan, dari pembicaraan, dari foto keluarga yang dicetak tanpa dirinya.

Ia tak pernah bercerita tentang ibu. Bahkan kepada dirinya sendiri.

Di rumah kontrakannya yang sempit, berisi kulkas kosong, sarung terlipat rapi, dan piring tinggal satu, ia mengisi hari-hari dengan diam. Tidak membaca koran. Tidak menonton televisi. Kadang duduk di teras melihat cucian tetangga. Ada satu teko di dapurnya juga—bukan teko warisan, bukan benda simbolik; hanya teko plastik biasa yang tutupnya sudah lepas. Tapi tiap malam, tanpa ia sadari, ia akan membasuh teko itu perlahan, seolah takut membuatnya retak.

Ada hari-hari ketika ia berdiri terlalu lama di depan cermin, menatap matanya sendiri, mencoba menemukan sisa-sisa wajah perempuan yang dulu mencuci rambutnya dengan air jeruk purut. Tapi matanya sendiri terlalu kering. Ia menyalahkan waktu. Atau dirinya sendiri. Tidak ada yang berubah.

Ia pernah ke rumah mereka satu kali. Tengah malam. Tidak masuk. Hanya berdiri di luar pagar, melihat lampu temaram dari dapur. Dilihatnya bayangan anak-anaknya di meja makan, tiga kepala membungkuk tanpa suara, dan sebuah teko tua di tengah meja, mengeluarkan uap tipis seperti napas yang tertahan terlalu lama.

Ia tahu mereka tidak menunggu dirinya. Mereka menunggu sesuatu yang lain. Sesuatu yang bisa tumbuh, mengisi rongga di dada, dan tidak memudar ketika fajar datang. Ia bukan itu.

Maka ia melangkah mundur, menolak mengetuk. Ia kembali ke rumah kontrakannya, membuka kulkas kosong, dan menyeduh air hangat dari teko plastiknya. Disruputnya pelan, dan untuk pertama kalinya, ia rasa air itu agak asin. Seperti air laut. Atau air mata. Tapi ia tidak tahu lagi cara membedakannya.

Merona dan Petang: Tahun-tahun yang Tidak Ditetapkan

Petang bangun lebih awal dari biasanya. Jam biologisnya sudah tidak kenal kota asal. Di Kuba, jam lima pagi seperti napas pertama sesudah menahan sesak terlalu lama. Ia menyeduh air garam hangat, menimbang dirinya, mencatat cuaca, menyapu lantai toko yang berderit pelan, seolah lantai pun ikut menyusutkan suara. La Biblioteca del Sabor berdiri tegak seperti dada yang baru selesai menelan luka. Rempah-rempah digantung seperti azimat. Daun salam, kunyit akar, kulit manis, cengkeh, dan biji adas terbungkus rapi seperti kesabaran yang sudah tidak ingin tampil anggun.Petang sudah tidak lagi merokok. Ia berhenti bersiul. Ia menyimpan puisi-puisi pendek di balik etalase: potongan kalimat yang dulu Merona tinggalkan di antara lembaran novel Gabriel García Márquez.

“Tubuh adalah rumah dari segala yang kita abaikan.”

Kini ia menjaga tubuhnya. Punggung yang dulu bengkok karena duduk terlalu lama di depan layar kini belajar melurus. Tangannya tidak secepat dulu menanggapi notifikasi, namun lebih cekatan menimbang ketumbar dan menakar gula kelapa. Ia belum mengganti ponsel. Tak perlu. Tidak ada nama yang dinanti, tak ada suara yang ingin direkam. Ia sudah cukup akrab dengan keabsenan semua.

Merona tinggal di Tumenggung, di antara suara keloneng sapi dan jarak tempuh yang sulit diukur. Rumahnya memeluk lereng, dibangun dari kayu tua yang diselamatkan dari gudang pasar. Tidak ada pagar. Ia percaya, sesuatu yang ditanam dengan cinta tidak perlu dikunci dari dunia. Setiap pagi, Merona mengumpulkan telur ayam, memanen cabai rawit dan menulis jurnal. Ia tidak menandai hari, hanya mencatat aroma tanah, intensitas angin, dan mimpi-mimpi yang kadang datang tanpa suara. Kadang mengecek portofolio, mengecek warna hijau biru merah di layar laptopnya.

Merona punya kebiasaan baru: mencatat keheningan. Ia menamai jenis-jenisnya.

Hening pertama: ketika burung belum bangun, tapi gelap sudah tidak utuh, langit mewarnai dirinya.
Hening kedua: saat menanak nasi, dan air mulai berbuih tanpa suara.
Hening ketiga: ketika seseorang hampir menyebut nama yang seharusnya sudah ia kubur dalam.

Ia tidak menanam bunga di kebunnya. Katanya, “Aku tidak tahan jika keindahan harus dikabarkan dengan cara mekar, lalu mati."

Di malam hari, Merona mendengarkan siaran-siaran: youtube, siniar, apapun. Kadang siaran agama. Kadang berita dari seluruh dunia. Mungkin membantunya jika sedang merindukan suara bising stasiun yang tidak sempat dijinakkan. Ia merebus daun mint dan menyisir rambut panjangnya, yang sudah sedikit beruban di belakang.

Suatu malam, di kanal siniar yang tak ia kenal asalnya, terdengar suara lelaki membaca puisi.

“Jika cinta adalah musim, aku ingin menjadi pohon
yang tidak pernah pindah tanah
meski kehilangan dedaunan.”

Ia mencatat bait itu. Lalu membakarnya.

Sementara di Kuba, Petang menempelkan peta Indonesia di belakang pintu. Bukan karena rindu, tapi karena ia sedang menamai titik-titik yang pernah ia tinggali, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia memang pernah ada di sana.

Di satu titik, ia mencoret nama “Jakarta” dan menggantinya dengan:

“Tempat saya ditinggalkan oleh orang yang tetap saya jaga di dalam tubuh.”

Ia kini gemar memasak untuk orang asing. Ia tak lagi menjelaskan bahan-bahannya, hanya menyajikan, menatap, dan melihat apakah orang itu mengerti rasa yang tidak umum. Seperti cinta: kadang asin, kadang rempahnya terlalu pekat, kadang terlalu jujur. Orang-orang Kuba mengenalnya sebagai lelaki yang pendiam tapi bersih. Mereka tidak tahu, tubuh itu pernah menjadi tempat pesta luka. Tidak semua luka sembuh, tapi semua luka bisa dibereskan. Begitu katanya dalam catatan yang tidak dikirim.

Satu kali, Merona dikirimi benih dari luar negeri. Tidak ada pengirim. Tidak ada cap pos. Hanya satu kantong kecil berlabel tangan:

“Benih yang hanya akan tumbuh jika ditanam oleh seseorang yang pernah patah, tapi tidak jadi mati.”

Ia tertawa. Ringan. Lalu menanamnya di belakang dapur, di antara serai dan daun bawang. Setiap sore, ia menyiraminya sambil menyenandungkan lagu yang ia ciptakan sendiri, tanpa irama, tanpa kata. Hanya gumaman. Tumbuhlah benih itu. Tidak seperti sayur, tidak seperti bunga. Ia tumbuh seperti sesuatu yang tidak ingin disebut.

Petang punya satu kebiasaan kecil yang tak ia buang: menyimpan benda-benda yang tidak punya fungsi. Kancing baju dari kemeja terakhir yang ia kenakan di Jakarta. Klip kertas dari surat terakhir Merona. Sepotong amplop ungu yang robek di ujung.

Ia belum mengirim surat. Tapi sudah menulis banyak.

Salah satunya:

“Merona, Jika hidup adalah jalan pulang, aku tidak ingin rumah. Aku hanya ingin kau tetap sehat, dan tidak membenci hujan. Kita tak harus kembali. Tapi jika suatu saat ada musim tak dikenal, dan kita berpapasan sebagai orang asing, izinkan aku bertanya, ‘Apakah kau masih menyukai rempah dalam supmu?’”

Suatu sore, hujan turun lambat di Tumenggung. Merona menyalakan api di tungku, menyeduh teh adas, lalu duduk di lantai. Ia tidak menunggu apa-apa, tapi tidak pula menutup pintu. Angin membawa bau tanah yang berat, dan suara seperti langkah kaki di luar. Bukan Petang. Tapi ia sempat berharap. Lalu menertawai harapannya sendiri. Tidak semua yang kita doakan harus datang dalam bentuk manusia.

Merona berkata pada anjing coklatnya: "Aku mencintainya, mungkin, tapi bukan untuk kembali.”

Dan Petang, yang sedang menakar bubuk kayu manis untuk pelanggan terakhirnya hari itu, menengadah ke langit Kuba yang masih merah muda, di dadanya ada keheningan jenis keempat: Keheningan yang muncul saat seseorang yang kau cintai tetap hidup, tapi di luar jangkauan suara.

Ia mencium aroma tanah dari secangkir teh yang tak sengaja ia jatuhkan ke lantai. Dan dalam sesaat, ia tahu: mereka sudah sampai pada takdirnya masing-masing.

Tidak sempurna. Tidak bersatu.

Tapi tidak sia-sia.



Tuesday, July 15, 2025

Mata Palu

Seseorang mengetuk dahiku, berkata tentang angka-angka yang berdansa dalam berkas

Ada jari gemetar menekuk pasal, seperti payung yang lupa cara membuka dirinya saat hujan. Lalu aku dipukul lagi, seperti pintu hotel murah yang tidak pernah dikunci dengan benar


Aku pernah jatuh cinta pada meja, tapi ia hanya diam, menyimpan rahasia dalam urat kayunya Seorang hakim tua menggenggamku dengan tangan yang bau tinta sisa perjamuan
Ia memukulku, tapi suara yang keluar bukan suaraku, melainkan desah kursi yang dipaksa setuju


Aku ingin tidur di dasar sungai, bersama ikan-ikan yang membaca koran pagi
Seseorang mengeringkan dahinya dengan selembar kalimat yang sudah mati sebelum diucapkan Aku diketuk sekali lagi, kali ini lebih keras, seperti kepala yang menabrak dinding di ruangan interogasi


2025


Perihal Membaca Kehidupan

Membaca kehidupan, bagi saya, adalah membaca sebuah naskah agung;  sebuah teks eksistensial yang ditulis oleh Tuhan dengan tinta waktu dan kertas realitas. Ia tidak terdiri dari huruf-huruf alfabet, melainkan dari kejadian, pertemuan, kehilangan, dan pencarian. Dalam perenungan atas Seni Membaca dan Memahami karya Mortimer Adler dan Charles Van Doren, saya menemukan analogi yang sangat kuat antara tingkatan membaca dalam literasi dan tingkat kedalaman kita dalam memahami hidup. Membaca secara sintopikal:tingkatan membaca tertinggi yang paling aktif dan menuntut usaha, mencerminkan bagaimana kita seharusnya mendekati hidup: tidak hanya sebagai rangkaian peristiwa, tapi sebagai sistem makna yang saling terhubung dan harus dibaca melampaui permukaan.



Tuhan telah memberikan kepada manusia tiga alat utama untuk membaca naskah ini: ruh, akal, dan fisik. Fisik adalah pembuka layar panggung. Ia mengalami: berjalan, jatuh, bangkit, mencinta, kehilangan. Ia seperti mata yang membaca huruf, tapi belum memahami kalimat. Akal adalah pembaca analitis: ia mengurai makna, mempertanyakan motif, menghubungkan bab demi bab dalam hidup kita. Tapi pada titik tertentu, akal pun terbatas. Ia bisa menemukan mengapa, tapi tidak selalu bisa menjawab untuk apa. Di sinilah ruh mengambil peran sebagai pembaca sintopikal; ia tidak hanya memahami isi hidup, tetapi juga menarik benang merah lintas dimensi dan lintas waktu, membandingkan nilai-nilai, dan menyimpulkan hikmah yang mungkin tak disebutkan dalam “teks kehidupan” secara eksplisit. Ruh mengarahkan kita untuk mencipta makna, bukan sekadar menemukan makna yang sudah ada.

Secara simbolik, membaca kehidupan dengan ketiga alat ini adalah seperti membaca wahyu dalam dua bentuk: qauliyah (teks tertulis: kitab) dan kauniyah (alam semesta dan peristiwa hidup). Keduanya harus dibaca bersamaan, dengan akal untuk menalar, fisik untuk mengalami, dan ruh untuk menafsirkan secara spiritual. Al-Ghazali menyebut ruh sebagai jauhar, inti hakiki dari diri manusia, yang hanya bisa disentuh melalui perenungan, kejujuran batin, dan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi dari sekadar data atau fakta.

Saya percaya, membaca hidup secara sintopikal berarti juga membaca Tuhan di balik kehidupan. Bukan sebagai objek, tapi sebagai Makna itu sendiri. Dalam hidup yang penuh paradoks ini; antara kebahagiaan dan duka, kejelasan dan kebingungan, kita diundang untuk tidak sekadar menjalani, tapi menafsirkan. Dan dalam penafsiran itulah, hidup menjadi kitab yang hidup, naskah yang tak pernah selesai, dan bacaan yang membawa kita, perlahan tapi pasti, dari ketidaktahuan menuju pemahaman.

Maka, jika kita bertanya, apa arti membaca dalam makna terdalamnya? Mungkin saya menjawabnya membaca adalah ziarah batin ke dalam teks kehidupan yang ditulis oleh Tuhan, dengan membawa seluruh instrumen kemanusiaan kita: akal, ruh, dan tubuh; agar tak hanya tahu, tapi juga mengerti dan menjadi.


2025




Kopi, Goni dan Senar di Halaman Belakang

Senar dan Goni duduk bersisian di taman belakang, di atas bangku besi yang dicat putih dan mulai terkelupas warnanya. Di hadapan mereka tertanam rumpun-rumpun serai dan kenikir yang tumbuh tidak teratur, seperti sedang memberontak dari desain taman yang terlalu rapi. Di ujung-ujungnya, sebatang pohon asam menua dengan anggun, dedaunannya berguguran satu demi satu, seolah tahu bahwa dunia tak lagi punya cukup tempat untuk menampung segalanya. Burung Bayan, satu-satunya makhluk yang selalu lebih cerewet dari televisi, bertengger di palang jemuran. Ia sesekali berteriak, bukan karena ada tamu atau maling, tapi karena hidup terlalu penuh informasi. Suaranya menirukan apa yang terakhir ia dengar:

"Setop uranium! 1,5 derajat! Laptop error! RDF! RDF!"


Di atas meja kayu, dua cangkir kopi robusta setengah basi mengepul lemah. Senar mencelupkan jari ke dalam cangkirnya; entah untuk mengetes panas atau menakar kesabaran. "Kadang kupikir, kita ini hidup di antara dua halaman. Satu halaman berita, satu halaman doa. Tapi tak ada yang bisa kita tulis sendiri," katanya. Goni mengangguk. Ia menyentuh tanah yang lembap berlumut, "Kau tahu, Iran sedang diancam lagi. Diminta berhenti memperkaya uranium. Disuruh manut pada yang merasa punya hak moral; dan pasukan."

Senar tersenyum kecil. "Kita semua pernah jadi Iran, dalam skala rumah tangga. Ditekan untuk berhenti memperkaya diri, karena dianggap berbahaya jika terlalu mandiri."


Burung Bayan mencicit, lalu bersuara seperti iklan layanan masyarakat:
"Digitalisasi pendidikan, generasi emas, satu siswa satu laptop."
Ia meniru suara Pak Menteri dengan begitu sempurna, hingga kopi di tangan Goni nyaris tumpah. "Dan ternyata ada anggaran yang menguap juga di sana, ya?" Goni bersuara lirih. "Laptop-laptop lebih banyak jadi tumpukan daripada digunakan. Anak-anak masih belajar di ruang kelas dengan plafon bolong dan kabel colokan yang diganjal sendok." Senar tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke langit yang kelabu. "Tapi di gurun Atacama, kabut bisa dipanen. Lima liter per meter persegi. Sehari. Air minum dari udara."

Ia terdiam, seakan sedang mengukur berapa banyak harapan bisa diperas dari udara Jakarta.

“Bayangkan. Negara di tengah kekeringan bisa mencipta kelembapan. Sementara kita; yang banjir pun tiap dua bulan, tak bisa mengelola basah tanpa tenggelam.” Angin menyusup ke sela-sela kemeja mereka. Aroma tanah lembap dan sisa bakaran plastik dari rumah tetangga menyatu, membentuk semacam kenyataan yang enggan dihindari. Goni berkata pelan, “Bantargebang katanya sekarang punya RDF. Sampah jadi bahan bakar. Katanya solusi. Tapi siapa yang tinggal di dekatnya? Siapa yang hirup udara itu?"


“Dan siapa yang ucapkan pidato sambil pakai masker N95, tapi menyuruh warga pakai saputangan bekas?” Senar menimpali.

Suasana jadi hening. Bahkan Burung Bayan pun membisu. Lanjut Goni, "Tadi pagi aku membaca, suhu bumi telah melampaui 1,5 derajat dari masa pra-industri. Kita resmi memasuki fase baru." “Mungkin bukan bumi yang berubah. Tapi kita yang lupa bagaimana rasanya tinggal di rumah sendiri,” jawab Senar. Ia menenggak kopinya, kini sudah dingin, seperti hasil riset yang tak lagi hangat bahkan saat dibakar berkasnya.


Bayan mengepakkan sayap. Di bawahnya, daun kenikir bergoyang. Seseorang menyalakan televisi di dalam rumah. Suara-suara ramai lagi: proyek, anggaran, investigasi, resolusi, investasi hijau, peluncuran AI, dan pertemuan tingkat tinggi. Namun di taman belakang, dua lelaki dan seekor burung tahu betul bahwa dunia tak akan diselamatkan oleh presentasi. Berdoa bahwa semua ini akan pulih, mungkin.

Thursday, July 10, 2025

Celoteh Ikan Sapu-Sapu

Aku ini ikan sapu-sapu. Iya, yang biasa kamu sebut "ikan jorok", "ikan pembersih kaca", padahal yang paling kotor itu bukan aku...tapi kebijakan kalian yang setengah matang, setengah matang tapi ditaruh di piring mewah, seolah bisa dicerna. Huh. 

Sudah dua jam aku ngendon di pojok kolam taman kota, mendengarkan dua bocah ribut minta dibeliin es krim. Ibunya menolak, katanya, “itu bukan makanan sehat, sayang.” Tapi lima menit kemudian dia beli corn dog, yang di luarnya keju mozzarella, di dalamnya sosis ayam impor. Katanya makanan sehat mahal. Aku ngeludah gelembung sarkas. 

Di Portugal, sekolah ngajarin anak-anak masak sendiri dari kebun sekolah. Di Swiss, pasar mingguan penuh makanan organik, dari nenek-nenek petani yang lebih segar dari influencer skincare lokal. Di sini? Organik mahal, UPF murah, anak-anak dicekokin keju bubuk dan bon cabe dari usia balita. Dunia terbalik, dan aku nyeret lumut sambil mikir, mungkin Tuhan iseng waktu bikin negeri ini. 

Denger-denger tetangga kolam sebelah baru melahirkan. Operasi sesar, katanya 24 juta, diskon kalau pakai BPJS, itu pun kalau dokternya nggak mudik. Di Swiss? Semua perempuan melahirkan ditangani tenaga medis yang tidak sempat jadi selebgram. Di sini? Dokter spesialis harus buka TikTok dulu biar dipercaya pasien. BPJS? Antriannya bisa bikin ikan cupang stres. Ngomong-ngomong stres, anak-anak zaman sekarang nggak bisa main di lapangan tanah kayak dulu. Mau les basket, harus bayar 1,5 juta per bulan. Baru dapet kaus dan panggilan "adik-adik" dari pelatih. 

Di Portugal, anak-anak main bola di trotoar, nggak usah daftar, nggak usah bayar. Di sini, trotoar dijajah pedagang, motor, dan kadang tuyul. Eh serius, ada tuyul nyebrang tadi pagi. Mau naik angkot katanya, tapi bingung rutenya. Aku ketawa. Transportasi umum? Halah. KRL sering mogok, MRT cuma bisa buat selfie, dan bis kota... ya, jangan tanya deh. Bahkan aku, ikan, lebih ngerti jalur sungai dari pada supir Trans.

"Kenapa kamu bawel banget, Sapu?" tanya si lele putih yang baru pindah dari empang belakang kampus negeri. "Karena kita hidup di negeri yang lebih suka ngecat tembok rumah sakit daripada nambah ventilasinya," jawabku. "Apa hubungannya?" "Nggak ada. Sama kayak kamu daftar subsidi tapi nggak pernah dapat.. nggak ada hubungannya sama logika." 

Di dasar air ini, aku lihat segalanya. Pemerintah yang pamer kebijakan kayak pamer aquascape: cantik, tapi nggak fungsional. Ikan-ikan makin lelah berenang melawan arus. Dan aku? Aku sapu-sapu. Tugasku membersihkan. Tapi kalau limbahnya terus datang dari atas, percuma aku diam. Maka aku ngomel. Kalau kalian malas mendengarkan, jangan salahkan nanti kalau aku naik ke permukaan dan minta KTP. Siapa tahu, bisa nyalon jadi menteri.