Friday, June 8, 2012

Secangkir Teh yang Masih Mengepul

I

Pada akhirnya aku kembali menyelinap ke dalam kondisi dimana aku merasa bahagia, aku menjadi satu-satunya. Ingin ku tutup semua media, ingin aku bongkar semua rahasia, ingin ku katakan pada dunia bahwa kita memiliki cinta, memiliki satu perasaan yang sama, tanpa harus takut pada kenyataan yang ada.

Mencintaimu, mencintaimu.
Mencintai seseorang yang hatinya juga untuk orang lain. Dan kau tidak memahami bagaimana caranya untuk menyembuhkan lukaku sendirian, saat kamu datang, kau selalu mematikan ponselmu, supaya tak ada yang mengganggu, katamu. Dan sengaja membiarkan malam menggulung kita. Kau berikan purnama sebagai mahkota, dan jiwamu adalah singgasana.

II

Aku menjadikanmu hanya,
Aku menjadikanmu satu-satunya
Setiap hari.
Tapi kau menjadikanku cukup sebelah,
Sebagian lainnya kau milikki di luar sana
Cukuplah aku menipu diriku, menjadi yang mengetahui bahwa (ceritanya) kau mencintaiku sebagai satu-satunya. Kalaupun kenyataannya tidak begitu,
Setidaknya itu yang aku rasa
Setiap hari.

III

“Kau kenapa?” Tanyamu,
Kau tanya itu di siang hari,  dan jiwaku malah ingin lari.
“Tidak apa-apa, hanya sedikit sedih.”  Mukaku sudah lebih dari carut marut.
“Kau mau kemana? Ini malam minggu.
Aku tahu, sebentar lagi aku menemukan rumahku di dalam jawabanmu
“Malam? Mau menemani yang sedih saja.”

Jika pelukanmu kau jual sebagai sofa, maka aku akan menjadi pembeli pertama, walaupun nantinya usang dan warnanya menjadi belel, aku tidak akan pernah mengganti, walaupun sudah lapuk karena usia, pelukanmu tidak ada yang menandingi.

Keesokan paginya, aku terlambat bangun. Dan kau sudah tidak ada.
Aku merasa harus mencarimu, kali ini.

Kau sekaligus merangkap rumahku, andai kau tahu.

No comments:

Post a Comment