Friday, May 4, 2012

Awal

Buat Penyemangat agar lebih rajin menulis

by Intan Riyani on Monday, March 21, 2011 at 3:58am ·

Tidak sengaja aku  menemukan tulisan yg membahas cerpenku pada tahun 2005.  Ditulis oleh Tiara Dewik.  sepertinya ditulis berkaitan dengan penulisan ilmiah "Wacana Pemanfaatan Bahasa Indonesia pada Tatataran Semi Ilmiah". Rasanya kembali ke masa lalu, saat semangatku untuk menulis begitu tinggi.  Dan sumber inspirasiku begitu dekat, yaitu murid-muridku sendiri. ... Hari ini, aku belum berhasil menulis apapun kecuali yang berkaitan dengan pekerjaanku sekarang sebagai PNS, menulis proposal untuk kelompok ataupun institusi.. aku rindu masa lalu, rindu berkumpul dengan murid-muridku... semoga aku bisa menemukan kembali "touch sastraku:

Nyanyi Sunyi Seruni
Seruni gadis cilik berusia enam tahun. Dia hidup bersama ibu dan kakak perempuannya. Sang ayah meninggal dalam kecelakaan. Kini, ibunyalah yang menanggung beban hidup keluarganya.

Seruni lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dia tidak memiliki teman. Bahkan, kakaknya juga tidak memperdulikannya. Seruni terlahir sebagai gadis cilik yang bisu dan tuli. Seruni hanya dapat bermain dengan ibu dan kawan khayalannya.

Sampai suatu hari, dia bertemu dengan Diah. Diah adalah anak yang baik hati dan dapat dipercaya. Baru kali ini, Seruni bertemu dengan orang yang mampu memahami dirinya.

Sejak kedatangan Diah, Seruni lebih riang. Dia dapat berkomunikasi dengan menggerakan jemarinya, sebagai bahasa isyarat. Diah yang mengajarkannya. Kini, jari Seruni dapat bergerak dengan lincah. Ia dapat mengungkapkan isi hatinya.

Ada satu keinginan yang disampaikan Seruni kepada Diah. Seruni ingin mendengar, walaupun hanya sehari.

Suatu hari seruni mengalami kecelakaan. Peristiwa ini menyebabkan Seruni tidak mampu lagi menggerakkan jemarinya. Dia pun kehilangan semangat hidupnya.

Kisah seruni ini banyak memberikan pelajaran berharga bagi pembaca. Cerita ini berusaha mengenalkan pelajaran arti hidup, terutama bersyukur atas sesuatu yang diberikan Tuhan. Kecacatan tubuh bukanlah segala-galanya untuk ditangisi. Rasa kasih sayang antarsesama bukan sekedar milik orang yang diciptakan sempurna keadaan badannya. Justru kitalah yang harus sadar mengasihi orangyang tidak memiliki kesempurnaan.

Sumber : Majalah Fantasi Kids, Januari 2005



Saya menemukan penggalan notes itu di salah satu guru super saya, di page facebooknya.

Napak tilas itu… Seperti mencoba masuk ke step-step yang foldernya jauh di belakang, namun penuh dengan memori indah. Yang perlahan saya coba untuk masuki kembali. Untuk direnungi, disyukuri, ditafakuri.

Sebenarnya bukan napak tilas sih,

Dulu, sewaktu saya kelas dua SD, saya bersekolah di SD Salman Al Farisi fullday school Bandung, tepatnya di kelas 2B dan terbilang saya cukup aktif di kelas (seingat saya sih gitu) walikelas saya ada tiga orang, namun saya paling ingat dengan bu Intan Riyani. Kenapa? Karena beliaulah saya bisa menulis dan menjadikan kata atau kalimat menjadi teman bermain. Cukup dini, kelas dua SD.

Seingat saya… Dulu saya sempat down karena nilai matematika saya enggak pernah bagus, kayaknya memang bakat matematika saya udah pupus dari kelas 2 SD kali ya? Ah entahlah, lalu saya dinasihati oleh Beliau, dan saya diberi rekomendasi buku. Oh iya, kegemaran membaca saya juga sudah terlihat dari SD. Buku-buku yang saya lahap pada umur 7-8 tahun adalah karangan-karangan karya Road Dahl, Mark Victor Hansen dll. Dan Bu Intan inilah yang menyodorkan saya buku tebal, buku pembuka “mata” dan imajinasi saya untuk menulis. Chicken Soup for Kids Soul. Saya ingat, buku itu tidak bisa saya bawa ke sekolah karena terlalu berat. Tebal. Tapi karena dasarnya saya suka baca, buku itu selesai dalam waktu dua hari. Ketika saya mengembalikan buku itu, beliau bertanya, apa benar buku itu telah selesai semua saya baca, dan meminta saya menginterpretasikan is buku itu dengan gaya saya sendiri. Dan cerita mana yang paling saya sukai. Saya menjelaskan dengan panjang lebar dan mendiskusikannya dalam kelas. Entahlah, beliau mampu menumbuhkan lebih dalam lagi kecintaan saya pada buku-buku dan imajinasi menulis. Saya sering berduaan dengan beliau di kelas, sambil menunggu jemputan datang, hanya untuk membahas buku-buku yang saya dan Bu Intan bawa, dan hingga kemudian hari… Ada perlombaan menulis synopsis cerita, yang saya ingat, saya disuruh menceritakan dalam selembar kertas folio yang di dalamnya sudah tersedia potongan-potongan gambar. Saya mulai menulis. Dan saya diumumkan menjadi juara pertama, masih tingkat sekolah sih, ya… Saya dipanggil oleh sekolah untuk mewakili, ternyata lomba itu adalah seleksi untuk lomba synopsis tingkat kotamadya Bandung, Puji Syukur, saya mendapatkan juara pertama. Itu piala saya, piala pertama, menulis. Dan jelas, perjalanan lomba itu membuat kedekatan saya dan Bu Intan semakin dekat. Ketika saya naik kelas tiga, bu Intan pindah. Dan saya benar-benar lost contact. Hingga sekarang. Namun beliau sempat membuat buku, kumpulan cerita pendek tepatnya, Nyanyi Sunyi Seruni, ya itu judulnya, saya masih ingat.. 

Memang kalau dipikir-pikir, itu hanyalah sekian dari “little things” yang saya alami di kehidupan saya, betapa saya, dengan masa kanak-kanak itu menjadi awal mula kesusastraan saya. Yang terus tumbuh hingga saya dewasa. Pagi ini, selesai sarapan saya membaca koran Pikiran Rakyat, melihat artikel forum guru dan penulisnya adalah Pak Asep Kusnawan. Saya masih ingat, beliau adalah guru SD Salman juga. Dari situlah memori childhood saya kembali. Selesai membaca koran, saya mencoba mencari info kemana Bu Intan sekarang. Saya menemukan page facebooknya, sepertinya beliau menetap di Yogyakarta sekarang.

Ah Ibu, mungkin ibu lupa dengan satu anakmu di kelas 2B dulu. Ya.. tahun 2001. Sebelas tahun yang lalu. Tapi little things, keakraban, kehangatan, kebersamaan, kecocokan, segala macam diskusi kita dahulu (entah diskusi seperti apa yang membuat anak 7 tahun bisa nyambung dengan orang dewasa) membuat ketertarikan yang jauh hidup lama. Sampai sekarang.

Bu Intan, apakabarnya ibu ya sekarang.. Dulu ibu bilang kan, ingin sekali melihat saya punya buku, ibu juga yang pertama kali "melihat" bakat saya. Dan menumbuhkan rasa itu. Ketika saya pindah ke Tasikmalaya, ada satu benda yang saya tinggal di ruang guru SD Salman Al Farisi. Ya, piala saya, piala pertama menulis saya. Biarlah ada bersama kenangan childhood saya di sana. Masa kreativitas dan imajinasi yang tiada habisnya.

Terimakasih Ibu. Dimanapun ibu sekarang, tak habisnya saya ucap terimakasih. Mungkin kata orang-orang itu adalah “little things” yang bisa luput dari ingatan. Tapi untuk saya… Itu adalah awal.





1 comment: